*Kolaborasi Arther Panther Olii, kang Arief, Rangga Umara, Fran HY, Noval Jubbek, Lina Kelana, Enno Salsa II, Black Roseheart, Reski Handani & Yazid Musyafa*
Sepi. Ruang dadaku semakin senyap, saat kau putus tak lagi mewarna pelangi yang pernah kita rakit, bersama senyum dan munajat. Ronanya membumbung langit , membuaiku dalam akut imaji, melupa waktu berdentang. Hingga dunia luruh ketika kau kata: ” Sayang, kita bukan menakar waktu, pun mengikat benang asmara. Kita bukan sedang merombak tatanan langit, pun bukan menyeret bintang tuk sinari wajahku untukmu. Mengertilah sayang, aku adalah bayangan”. Aku hanya diam, membungkam semua kata yang lahir dari rahim bahasaku. Kau sang mahkota hati, tega menyekap rasaku. Memasungnya dalam lingkaran asa semu. O mata air dari airmata, sekuat lentik tanganmu menaliku, sekuat itupun aku akan menjelma, menjadi sinar yang biasnya terangi jalan anak masa depanku.
O luka! Kukulum nikmat pedih selepasmu, bersama tempias potongan hujan di hati; kian sendu. “Lihatlah.., satu-satu menguning dedaun pada tumbuhan yang dulu kau tanam, lalu berguguran, berkulai diluluhlantakkan perpisahan kita.” Hanya menyisa dedaunan bayangmu yang tak jua retas di secawan waktu.
Terselip di bibirmu kelembutan dan bisa yang serupa hujan: Hujan tak lagi menampakan ceria, ketika embun dengan langkah pelan mencoba menggantikan matahari. "Setiap lembar daun yang jatuh dari mataku, itulah keindahan." katamu. sementara aku terdiam, membiarkanmu memutuskan benang yang mengikat angin asmara itu, kau hanya berkata "Waktu, waktu, waktu.". "Maka minumlah airmataku, wahai waktu. dan jelaskan pada waktumu, bahwa kau adalah waktu. dan aku anak waktu, sendiri" dalam balutan sepi."
Aku ingin memeluk wajahmu di pelupuk bulan. Setubuhi kembali bayang-bayang yang lama hilang. Aku mencoba mengenang seberapa banyak angka bulir airmata mengalir, dari sudut-sudut mata. Setelah perpisahan adalah satu-satunya pilihan. Aku ingin kembali singgahi peraduan bintang, mengais pilinan mimpi-mimpi kita yang belum usai.
Lengang mengendap malam malam. Ada nama itu berdetak di degup jantung. Serupa baru belajar berhitung, kueja sebegitu lembut. Kekasih, aku tak faham isyarat desir, aku tak mengerti ini usik risau. Yang aku tahu, mestinya engkau datang kali ini. Siangi rerumputan yang menjalar diam diam. Mestinya engkau benar benar di sini. ”Kekasih, di ruang mana engkau berpuisi. Masihkah padaku? Atau apa masih tentangku?” Di sini udara menjelma tuba. Menyobek rongga dada. Retaknya kian menganga. Rutuk merembes dari celahnya. Menekuk runtuh tegak tungkaiku. Mestinya engkau datang kali ini, kekasih.
Kelopak matak senjaku memerah, terbakar api yang kau tiup hari ini. Tahukah kau, bila matahari dan bulan memiliki sinar dan ruangnya sendiri? Dan rasanya itulah sebuah alasan mengapa kita tak bisa bersama. ”Terlukakah aku?” Itu tanyamu. Dan kini kuajak kau menatap matahari di atas sana. Lihatlah tubuhnya memerah panas tak menyisa teduh, seperti halnya dulu lagi. Dan itulah perih yang tak perlu panjang kuceritakan padamu. Aku masih bersama malam di mana dulu sarat kudengar tawamu,sambil mendekap tilas bibir yang kau lukis di dinding hatiku, yang di atas merahnya kutulis rindu. Aku masih di gelung bening bening embun, yang berlarian di dedaun talas talas hutan. Mengeja sebaris dan seulas wajah diatas kanvas yang telah carut. Meletak gatra pada gurit yang malam itu pernah kau tulis dengan air mata kita.
Ah… kau masih saja asyik merimba kata menyamak riduku. Tak sadarkah seburat luka selalu kau lukis; Menganga kala puja-puji kau jahit untuknya. Hatimu…, duri dan akar rasaku kau hujam meneracapi bumi. Semipun tiba namun kau hempas aku di sudut biru nan beku.
Lihatlah…, ini tanganku. Bertepuk sebelah lagi. Sekali lagi. Entah, mungkin aku tak sebanding dengan imaji yang kau hampar di separuh malammu. Atau bisa saja, kau memendam sosok lain yang tersimpan di sebalik foto yang kau taruh di bawah bantal tidurmu. Ah! Kini aku kembali menjemput sisa sisa malam sambil sesekali menghujat pagi. Berharap bayangmu memburam. Lalu hilang tanpa ada yang terkenang; Mati!
Kian asing kumaknai diri ini. Luka hati semakin menubir. Bicaraku adalah igauan abjad beku. Tiada laku pun tak berharga di pasar sepi. Selasar jiwa tak lagi berwarna tanpa hadirmu, yang senantiasa menjelma pelangi di tiap petak tanah kerinduan. Kepunahan asmara ini adalah kisah paling lara yang akan abadi, terpelihara di sisa jejak hidupku. Mungkin, esok akan kembali bersua senyum hangat mentari baru. Akan kembali bersitatap dengan sorotan teduh rembulan baru. Tapi, tidakkah ini tetap saja fatamorgana? Karena bintang yang seharusnya menemani tetap saja datang dari langit silam ; dirimu . O, airmata dari mata air lembah kepedihan. Sungkanlah mengalir tuk nyatakan rasa kehilangan ini.
Di ujung pintu waktu dulu, ketika aku mulai mengenal cinta, para Arif mengajariku tentang pahit bencana cinta dan kehilangan. Namun aku berpaling dari mereka. Hingga di ujung pintu waktu kini, Aku seperti burung kecil dari suram lembah jiwa, terbangun di pagi hari, meledak dalam lagu setelah pagi tua, dibumbui pahit anggur cinta. Api mendidih dalam diri seperti dengus sebuah ketel mendidih. Dua matamu tak mengalir bersama air mata: menghujamku dengan anak panah di hatiku yang patah. Aku bersandar seperti pinggiran jejahitan yang lepas dari sutra putih. Air mata mengalir turun di dadaku, mengingat hari bercinta. Namun, apakah terpendar asa dalam keruntuhan ini? Membawakanku pelipur lara? Bukankah penyembuh lara datang mengalir dari air mata? Saat angin pasir menyapu teluk derita, lalu pergi? Hingga pekarangan rumah hati yang tua menjadi sunyi.
150510 : 16.03. Antara Gorontalo, Ngawi, Bandung, Palembang, Malang, Babat, Yogyakarta, Martapura, Padang & Tegal dalam rasa yang sama.
wah, satu lagi yang bikin haru. ah, kita pernah(masih) dekat. bahagia mengenal kalian.
ReplyDeletesalam sayang semuanya.
jiaahhhhh...
kaburrrr..
:P
jangan kabur dulu, ini minuman mau dikemanain? minum dulu dong kopinya. hehe
ReplyDelete