Friday, February 24, 2012

AKU INGIN NUANSA UNGU DI HARI PERNIKAHAN

AKU INGIN NUANSA UNGU DI HARI PERNIKAHAN

Haruskah aku berhenti menginginkanmu, kekasihku.

bahkan Frissa, teman dekatnya, tidak tahu di mana ia berada. namun sedikit pun aku tak pernah berhenti untuk terus mencari keberadaannya. sekitar dua tahun lalu dia rsign dari sini, stelah itu dia tidk pernah memberi kabar keberadaannya atau pun kabarnya, kata Afrilia, teman sekantornya.

Pelan-pel...an aku bangkit dari tempat tidurku dan melangkah menuju jendela hotel wiyugra persada tempatku menginap. Meski suasana kota jakarta mulai gelap namun masih bisa kulihat dari lantai tiga hotel; jejeran gedung dan petak-petak banguna yg belum jadi. Jauh di sana terhampar luas lampu-lampu kota bagai kunang-kunang bertebaran di sawah ketika musim panen. Mungkinkah kau salahsatu penghuni bangunan berlampu itu, Starla? Rumah bernomor 82 tempat mimpi pertamaku datang dan kau menyambutku dengan leleh air mata kebahagiaan, ternyata sudah dihuni orang lain.

''aku ingin nuansa ungu di acara pernikahan kita nanti, lalu diselingi lagu-lagu romantis dan puisi-puisi,'' pintamu.

aku mengangguk seraya berucap :''setelah nanti aku sukses, aku akan datang kepadamu, dan kita bahagia sampai anak dan cucu kita tua.''

Kini aku punya semuanya. Aku pemilik empat restauran di surabaya, dan saat ini sedang merintis usaha lain termasuk dua sorum mobil di Bandung.

''ini demi kamu ,Starla.''

aku lirik jam dinding menunjukkan pukul =04:55, sebentar, teman, aku shalat subuh dulu, nanti aku ceritakan semuanya kepadamu.

Saturday, February 18, 2012

Pantai Mimpi II

apalagi yang hendak kularung malam ini

Pagi segera menjemputku

inikah pantai mimpi yang pernah kita namai?

Kapal-kapal berdiri gagah dengan Nahkoda

Berwajah asing. Di tepi pantai berderet

Para nelayan dari banyak usia

Jala-jala direntangkan. Merah mega

telah tenggelam sore tadi. Para nelayan

memerahkan mimpinya pada petromak dan perahu kecil.

Sejenak aku diam, mencari tempat di mana kusandarkan sekoci kecilku? tempat ini masih tertanam rapih dalam ingatanku. Tapi tempat ini sudah banyak berubah. dermaga mimpi ini dulu banyak terbuat dari bambu dan kayu, itupun hanya untuk menambatkan perahu-perahu kecil. bukan KM Pelni, KM Lauser, atau Seaborn Legen. Kapal pesiar asal Amerika Serikat ini.

''Hahhh... Aku benci manusia, mereka sangat brutal tapi sebenarnya lemah'', ingat betul kata-kata jin iprit seblum berhasil taklukkan di negri matahari.

Sesaat kularikan pandanganku ke arah utara di mana teronggok batu besar dan derap ombak yang menerpanya. Hanya inikah yang tersisa, setelah di sekeliling bercokol bangunan pencakar langit yang tak pernah kutahu itu milik siapa? Hmmm... di atas batu itulah dulu kami banyak menghabiskan waktu. Menerbangkan lagu-lagu dengan suara yang kami anggap merdu. Riak-riak ombak mengiringi dengan merdu. Sambil bersandar di dadaku ia menggelungkan lengannya di tubuhku. Starla ! Kaulah mimpi indahku... Angin laut makin dingin; tajam menusuk tulangku. Cendawan putih masih erat kugenggam. Darinya ada pancaran terang, mungkin efek dari sinar rembulan yang menerpanya. Siapakah anak kecil yang memberikan cendawan putih ini tadi? Ia pergi sebelum sempat kutanya siapa namanya.

Bersambung...

Friday, February 17, 2012

Pantai Mimpi

''matahariku'' adalah lagu yang sering ia nyanyikan di beberapa tempat saat kami bertemu dan, di stasiun tempat kami menunggu; menunggu mimpi_mimpi yang tertunda, atau sebuah dermaga yang belum usai kubuat. ''pergilah arungi samudra dengan skoci kecil ini, kembalilah jika kelak kau berhasil menaklukkan negri matahari''. pintanya berulangkali.

susah payah aku menaklukkan negri matahari. ternyata cinta bisa membuat manusia jadi gila. manusia bisa baik karena cinta. Juga sebaliknya, ia bisa berubah jahat sejahtnya karena mahluk yg namanya cinta. Duh ironi.

Aku babat negri matahari dengan peluh dan darahku. Tak kuhiraukan jin dan setan melahapku sekali pun, lagi-lagi karena cinta.

Malam ini malam purnama. bulan menyorongkan cahayanya seolah menembus laut pantai mimpi dan isinya. Yah, kami memang menamai pantai itu pantai mimpi.

di sudut dermaga, anak kecil menendangnendangkan kaki mungilnya yang terbenam satengah betisnya hingga membentuk sebuah bunyi-bunyian. Rupanya anak kecil itu menikmatinya bak musik klasik dijaman ayahku.

sekociku perlahan menghapiri dan berlabuh tepat di depannya. Oh, bocah ini begitu cantik. matanya coklat memancarkan kilau keindahan dari balik rekahnya. Ia tetep asik bermain air, seolah tak sedikit pun perduli dengan keberadaan sekeliling tak terkecuali dengan kedatanganku. Anak yang aneh! Kenapa malam-malam ia berada di tempat ini? Aduhai..., perempuan kecil ini mengingatkan aku pada seseorang. Ah siapa anak yang punya wajah indah bagai dewi langit ini?

Bersambung...

Tanpa Judul

datanglah wahai sunyi. bunuhlah malam ini

dengan nyanyian parau yang pernah kau tancapkan pada dada para pemujamu. Diam sejenak di sini,

temani aku menenggak jarum infus yang berebut menancapkan dirinya di tubuhku.

Saat ini, yah saat inilah kau akan melihatku terbaring beku menatap botol inpus dan beberapa orang berderet membusurkan matamata mereka ke arahku.

''aku ini kenapa?''

''istirahatla...h'', jawab lelaki berbaju serba putih.

kugerakkan bibirku yang masih rekat, melihat perempuan cantik berkrudung ungu melempar senyum dari arah pintu.

''kemarilah,sayang. Kenapa kau lambat datang? kenapa kau diam... Ku mohon jangan pergi lagi... Jangan pergi... Jangannn!!!''

''tenang, nak... istighfar...'', suara ibu terdengar sangat pelan. Ia menmpelkan telapak tangannya di kepalaku.

Sunyi, datanglah. Rebah di sini temani aku menerbangkan sayapsayap kepedihan.

RS Bandung. 12 Februari 12

Thursday, February 9, 2012

Nabi Paling Sepi

rindu adalah kengerian pada setiap awal dan ujung tidurku.
pesta menjadi igauan paling mengerikan, sebab tlah kau mulai pesta baru.
Kita pernah menamai waktu sebagai rumah impian yang tertinggal. Namun, semua itu bagai kubang kepedihan bagi anakanak tertinggal di medan perang kini. Duh, begitu jauh kusandra setiap luka demi tawamu? Meski kau tak mengerti.
Begitu sering kulari mengejar kesempatan untuk membuka jeruji yang kau anggap itu kutukan, meski tak pernah kau dengar.
Shaina! Perempuan kecil yang pernah kita namai. ia membawa cendawan kecil berwarna putih. Menembangkan kisahkisah dari sorga sembari melayarkan senyum paling indah. Ah ternyata itu hanya penggalan mimpi yang datang malam tadi. Shaina hanya peri kecil yang tak pernah lahir. Sebab rahim tempatnya tumbuh tlah kering, serupa danau tercuri kemarau beribu tahun.
Maafkan aku Shaina, ibumu tak bersalah, itu karena aku yang tak bisa menjadikannya ibu.
kisah apa ini sebenarnya? Ini bukan kisah laila majnun, yang tertulis pada lembarlembar sejarah. Tapi aku akan menulisnya, meski kutahu kau takkan membacanya.
Kisah apa ini sebenarnya? Akankah berupa wahyu yang bersabda :''belah laut dengan tongkatmu''. Tidak! Sebab aku bukan musa. Akankah ini isyarat :bahwa cinta sejati segera datang padaku? Tidak! Sebab aku bukan Majnun di masa Laila. Aku adalah nabi paling sepi, tanpa umat, tanpa siapasiapa.
Kisah apa ini sebenarnya? Aku tidak tahu; akankah namamu menjadi tokoh pada setiap tulisanku, atau ini akhir dari segalanya?