Thursday, December 23, 2010

Launching Salon Sastra jilid II dgn tema "IBU"

PENGUMUMAN

kawan2 Salon Sastra, Launching Salon Sastra jilid II dgn tema "IBU" akan diselenggarakan pada :

Hari : JUMAT

Tgl : 24 desember 2010

jam : 19.00 s.d selesai

tmp : Gedung HB Yassin, TIM - Jakarta

Acara : LAUNCHING SALON SASTRA JILID II

Acara terbuka untuk umum. kami harapkan kehadirannya. Trm-ksh.

wslm.

Salon sastra

Tuesday, December 14, 2010

KASIH PENGUMUMAN KASIH

KASIH PENGUMUMAN KASIH

oleh: Hasfa Publisher


TigaBiruSegi
Antologi Puisi Kasih: Tanah Air Udara

Puisi sejak riwayatnya yang paling usang adalah dunia tersingkir, dunia tercibir.
Demikian Damhuri Muhammad dalam pengantar buku Luka Mata, buku sajak Hasan Aspahani.
Puisi pula yang telah menjadi medium terluar ketika kedahsyatan menerpa seseorang.
Demikianlah pula ketika bencana alam di tiga sudut bumi nusantara menuliskan puisinya.
Dan mereka, para penulis yang mengirimkan puisinya, telah menuliskannya kembali menjadi untuk, apa yang disebut Damhuri sebagai "menghembuskan gairah epistemologi". Jika kini puisi-puisi ini menjadi buku yang terbaca, itu karena puisi telah menjadi kasih karena bencana tak boleh hanya lara sendiri.

Sebagai antologi, keberagaman menjadi dimensi yang menguatkan buku ini yang didedikasikan sepenuhnya untuk bencana yang tak hanya sampai pada simpati. Tetapi ingin menjadi saksi, bahwa puisi menjadi kasih yang nyata dalam kata dan tindakan.

Tentu saja, kami mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan yang telah berpartisipasi dalam proses lahirnya buku TigaBiruSegi : Antologi Puisi Kasih: Tanah Air Udara (TBS), kepada para penulis yang telah mengirimkan naskahnya. Tidak ada imbalan, tidak ada iming-iming honor besar. Saya kira, teman-teman bahkan tanpa pamrih ketika mengirimkan karya. Percaya, ini akan menjadi sumbang sih yang sangat berharga.

Apalagi, hasil keuntungan dari penjualan buku ini, nantinya akan disumbangkan untuk korban bencana di negeri kita. Semoga, ketika buku ini diluncurkan dalam beberapa hari kedepan, masyarakat akan menyambut dengan antusia tinggi. Sampai disini, partisipasi teman-teman akan menjadi sangat berarti. Bahkan, mudah-mudahan abadi.

Setelah melakukan berbagai pertimbangan dan diskusi, akhirnya diputuskan, kami memilih 50 karya ini dari total 327 puisi yang telah ditulis oleh 176 penulis.:

Rangga Umara Nh
Tanah yang Pucat
 

Eka Diyah A
Rakaat Embun untuk Yusuf

Minie Kholik
Ornamen Perih Di Etalase Izroil

Jun Nizami
Jendela Sebuah Kereta

Abah Rindu
Kabut di Yogyakarta

Nonik Sastrowihardjo
Hujan Sunyi

Riya Wati
Sirna

Yuka Fainka
Di Tanah Ini, Nasip Berderak

Btara Kawi
Naskah Air:
Cerita Tirta Menggejala

Dudi Azrian Onemata BackRy
Pernahkah Kau Bayangkan?

Rizky Bagoes Alam
Alunan Nasib


Andrea Bayu Aji S
Bencana Merapi

Nafisatul W
Kami Berduka, Kami Tersenyum

Nella S Wulan
Rahasia Bandang


Mieny AngelDialog : Alam

Dini Kaeka Sari
untukmu


Suguh Kurniawan
Kereta Penghabisan


Husen Arifin
Seribu Ketakutanku


Hadi Santosa
Sabda Alam

Moh Mahfudz Af
Nyala Api Di Bukit Selatan

Roby Aji
Cenayang Wasior

Adryan Yahya
Nyanyian Luka Tanah, Air Dan Udara

Abu Sufyan
Gusti Allah, Kami Mesti Bertafakur

Nazar Shah Alam
Mentawai

Up's Lail
Jiwa Terpilih

Syahdaka Musyfiq Abadaka
Dauh

Fitri Amaliyah Batubara
Rabb-mu Tidak Pergi

Binta El Mamba
Lensa Dan Sketsa Wajah Bocah

Ganjar Sudibyo
Melankolia Merapi: Amnesia Para Gemuruh Pagi

Pringadi Abdi Surya
Tiga Senandika

Haya Aliya Zaki
Suatu Siang di Rumah Makan

Biolen Fernando Sinaga
S(tu)di (Ba)nding

Arif Fitra Kurniawan
Mahar Seorang Lelaki Di Pos Pengungsi

Muhammad Haddiy
Gedoran

Mutaminah Sang Penulis
Aku Hanya Terbahak

Khoer Jurzani
Cacing

Ziyan Setya
Bentang Izrail

Sarah El Zohrah
Sajak Reofilia

Raditya Usra
Masih Ada Hari Esok.

Eros Rosita
Bila Tiba Saatnya Kita Bersua

Mahatma Muhammad
serumpun saturupa sebangsa saturasa

Hylla Shane Gerhana
Aku Mencari Jawab

Moh. Ghufron Cholid
PENGUNGSIAN

Yully Riswati
Gelombang Cinta

Nessa MetaKartika
Hidup Tak Terbatas Di Sini

Lamhot Susanti Saragih
Tentang Kekasihku Di Televisi

Inung Imtihani
Alif-ba-ta

Mardhatillah Syafaruiza Syah
Burung Bernyanyi

Arther Panther Olli
Di Timur yang Jauh, Umurku Kian Berjamur, Dik!

Evanda
Larutku Bersamamu

Catatan penting dari kami, banyak sekali puisi yang excellent tetapi maaf sekali terpaksa tidak bisa kami sertakan semua. Karena hanya 50 judul saja, dan inginnya memberikan pusparagam dalam berbagai elemennya. Kami juga menyertakan beberapa puisi sederhana (antara lain karya dari dua bocah korban bencana) sebagai wakil dari keberagaman yang menjadi misi kasih ini. Semoga menjawab kepenasaranan teman-teman mengapa begini mengapa begitu.

Kami juga akan menuliskan 176 nama penulis yang telah ikut berpatisipasi dalam event ini ke dalam buku TBS sebagai bentuk apresiasi dan terimakasih kami yang tak terhingga.

Insya Allah, mudah-mudahan buku TBS akan terbit sekitar akhir Januari 2011.
Seluruh keuntungan penjualan buku TBS akan disumbangkan bagi korban bencana.
Melengkapi sumbangsih ini, kami juga memberi kesempatan untuk (lagi-lagi) menyumbang melalui pembelian kaos TBS yang kami produksi dengan jumlah terbatas, hanya 50 kaos @Rp. 70.000,-. Dengan membeli kaos ini, berarti saudara juga ikut menyumbang 500ribu dari keuntungan penjualan kaos bagi korban bencana.. Silahkan inbox ke fb HP : nama/jumlah kaos/ukuran kaos/alamat pengiriman
Semoga kasih dan sumbangsih ini akan bermanfaat bagi saudara-saudara kita.
Sekali lagi. Terima kasih. Kasih terima.

Salam Kasih dan Kebaruan
Hasfa Publisher

nb:
Kami akhirnya mengundi siapa yang mendapatkan buku Crazmo dan Setan 911, here they are: Lail dan Husen Arifin.
Dengan cara yang sama, Btara Kawi dapat buku Kencantren-persembahan terbaru dari Hasfa Publisher.

oh ya, Bagaimana jika puisi-puisi lainnya kita publish dalam bentuk e-book, teman-teman? Await your kindest respond :)

Monday, December 13, 2010

SURAMADU

Langit meramaikan warna di balik punggungmu
Laut mengantarkan kapal-kapal pada dermaganya

Angin mengidungkan segala kepergian yang
Tak pernah direncanakan.

Tak ada yang tinggal setelah kau kokoh berdiri
Selain wajah dungu pulau yang mulai tua,
Pulau tempat tubuh-tubuh kecil menyabitkan mimpi.

Seperti apa kau petakan destinasi,
Setelah ladang garam ibu kami sejengkal lagi?

Bandung, 12 Dec 2010

Stasiun Keberangkatan

Sejenak kita berbicara tentang wajah cemas
di stasiun dan tiang-tiang yang tak lelah berdiri di tubuhnya.
Kreta-kreta diberangkatkan, kita tetap berdiri di sini
walau pertemuan entah berpulang kemana?
Pluit panjang tak memberi tanda apa pun
selain kecemasan yang tak tertafsirkan.
Kadang kita harus berlari mengejar kreta yang cepat pergi
Kadang tetap di stasiun ini, menunggu setiap keberangkatan, dan
musimmusim belum usai digenapkan.

“Akankah kita pernah kembali di sini?” katamu.

Aku tak perlu menjawab, karena kedatangan
kita bukan sebuah pertanyaan.

Bertemu dan berpisah bukan suatu yang harus disesalkan,
karena cinta lebih abadi dari segalanya.

Bandung, 13 Dec 2010


Monday, December 6, 2010

ST Bogor

Di bangku bisu ini,
Adakah tawa yang lahir dari pertemuan
Atau tangis dari wajah yang hilang


st bogor, 05 Dec 2010

Tuesday, November 30, 2010

Pulanglah... Aku Tak Ingin Kau Terluka

Pulanglah
Tempat ini terlalu kejam  untuk kau singgahi
kamar ini terlalu suram untuk kau rebahi

Pulanglah
Biar kurawat luka ini sendiri
Aku tak ingin kau terluka
percayalah
Aku takkan lelah membawa wajahmu
Pada ujung kematian sekali pun

Biarkan aku pergi
Dengan tajam tangismu yang menusuk jantungku hingga luka

Kutuklah aku biar mati lebih cepat, dari tawa yang akan kau lahirkan
Aku ingin melihat kau menangis untukku sekali lagi, di saat kau taburkan
bunga-bunga di batang nisanku
Setelah itu, tak akan ada lagi tawa yang kau sangsikan.

Manisku,
Mengapa kau tak datang lebih cepat
Dari tangis yang kau pendam diam-diam di sudut matamu?

Demi cinta, terlalu banyak airmata akan tercipta
Aku hanya ingin kau tertawa
Aku tak ingin kau terluka

Pulanglah

30 Nov 2010



Tuesday, November 23, 2010

TIGA PUISI UNTUK ANTOLOGI PUISI KASIH- TANAH, AIR, UDARA

Tuhan, Biarkan Aku Durhaka KepadaMu
:mentawai

La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin

Tuhan, mataku terlalu busuk untuk melihatmu
hatiku terlalu hitam untuk menilaimu
tapi
biarkan aku durhaka kepadaMu
dengan terus menyebut namaMu
dan terus bertanya apa yang hendak Kau
rencanakan?

Lihatlah, Tuhan
betapa kecil suara mereka, tubuh mereka,
harta mereka
ketika bumi dan laut gelisah, lalu memendam
wajah-wajah ceria dengan mimpinya yang
belum mencapai klimak.

O, mentawai yang malang.
Tanah ini luka
laut pun berduka
ketika ia tak mampu menciptakan surga untukmu
juga anak-anakmu
ia mencipta surga di tanah lain, dimana kau
dan anak cucumu dapat menggenggam mimpi
yang belum usai kau telan

mari berdiri
bernyanyi bersama sisa ombak dan pasir yang getir,
berkisah tentang nelayan tak berjala,
lalu melarung air mata dan doa doa yang sempat tanggal
agar luka di tubuhmu lekas tua

Tuhan tak mengujimu lebih cepat dari kakimu berlari.

La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin

Tuhan, jadikan mereka seperti Ayyub.


J 23 Nov 2010

***

Tanah yang Pucat
:wasior

Bulan berduka
ketika banyak tubuh menusuk dadanya
di tanah yang Pucat

J 22 Nov 2010

***

Kau Tak Mati
untuk Mbah Marijan

mbah !
langit retak dan menangis
ketika lahar merah melahap
tubuh tuamu
kau tak pernah menagisi dirimu
namun
kau menangisi anak cucumu
yang tak lekas mengungsi

duh, betapa ingin kutelan gunung
yang menindih punggungmu

mbah...
kau tak pernah mati
kau hanya berpindah
pada kehidupan yang
sebenarnya

selamat jalan, mbah...


Jakarta, 29 Okt 2010


Thursday, November 11, 2010

CALUDIA II

sejak kau tiada
rindu ini teramat luka, Claudia

adalah... kau yang tiada
kembali
       bersamaku

lelapkan mata
di bawah bintang yang sama
dan berdebat lagi tentang bulan
yang tak lekas menua

Claudia !
kebersamaan:
      tanpa tuan dan hamba


Jakarta, 12 Nov 2010

Wednesday, November 10, 2010

Surat buat keponakan

kepada Sharly Faqia

Jalan ini melahirkan jarak begitu panjang
hingga ku rindu pada kuku belia yang tak lekas kau hijaukan
Di wajahku
Hari menciptakan angka lebih banyak
Dari wajah gelisah ayahmu yang mulai hilang.

Ayahmu pergi
Hanya kepadamu ia kembali

Jangan menangis, adikku
Dunia ini tak melahirkan luka apa pun
Ia hanya menciptakan badai untukmu belajar lebih tegar
Kemari, kemarilaah, aku ingin sekali mendengar tangismu
Dan membenamkan ompolmu di pelukku
Setelah itu, kau akan menyisakan jejak paling legam
Di jantungku.

Bandung, 10 Nov 2010

Thursday, November 4, 2010

SAJAK BUAT IBU

Ibu

Aku mendengar suaramu
Sejak kau tiupkan diam-diam ketika aku masih merah
Aku mengenal wajahmu sejak Kau
merajam waktu hingga tanpa nama
dan ketika kau menyulam gelisah yang belum juga tunai
hingga kini

“menangislah! Menangislah yang kencang, biar suaramu cepat gelegar
kelak waktu-waktu akan menjemputmu lebih cepat
daripada uban yang berebut tumbuh di kepalamu,” katamu bu.

Ibu
Lihatlah, bu
Tak ada lagi genang embun
di sudut-sudut mataku
Seperti saat dulu
kau ganti air susuku dengan
dongeng pangeran berkuda putih
yang gagah mengangkat pedang
ke medan perang
Dari sanalah aku belajar jadi karang
Dan merawatnya diam-diam

Tak perlu kita bicarakan apa yang diberi
Dan apa yang harus ditagih
Sebab aku, bagian dari tubuhmu

Ibu
Kau yang tak pernah lelah membidangkan dadamu
Untukku rebah, lalu bercerita tentang hal yang sedikitpun tak ku mengerti,
: tentang kejamnya dunia ini


Ibu
Doa-doamu,
membuatku berjalan
dan berlari hingga hari ini
atau nanti.


Jakarta, 5 Nov 2010

Wednesday, November 3, 2010

NOTULENSI TERAS SASTRA (TeSt) 'BUKA LAHAN' (31/10/10) --SILAHKAN BERKOMENTAR--



Salam Budaya!
Salam Suluh!

Hari itu (31/10/10) seluruh panitia benar-benar sumringah, walau salah seorang dari kami nyeletuk "Kita harus rela berdarah-darah hari ini!" ternyata benar, beberapa rintangan mulai berdatangan bahkan ketika satu hari menjelang acara. Mulai dari beberapa panitia yang bentrok dengan kegiatan organisasi sampai ketakutan-ketakutan ketidaksuksesan acara. Namun semua bernaung pada ikhtiar, walau pamflet dan informasi acara telah tersebar kami tetap siap melangsungkan acara walau tanpa tamu yang datang sekalipun.

Tidak banyak yang datang memang, namun tepuk tangan, senyum, keseriusan, kejelian, kekritisan, kenyentrikan dan kebawelan telah terwakili oleh segelintir yang hadir sampai seorang kawan berkata "Darah kita terlunasi ketika melihat akhir acara ini!" dan senyumpun mengembang dalam dendang musikalisasi penutup oleh tamu undangan Cie-Krip.

Berikut adalah catatan yang dipegang seluruh peserta Teras Sastra,

MENCARI AYAH BERSAMA RANGGA UMARA

“Saya menulis catatan kecil ini sekedar untuk membuka diskusi, sekedar untuk mencari penghubung berkenaan ‘apa yang perlu kita gali’ dari puisi dibawah. Bila ada kesalahan hasil penulisan, silahkan dikritik dan kita diskusikan bersama”

Puisi jika diposisikan sebagai objek berada sepenuhnya dibawah kendali pengarang, pemunculan dari kata ke kata, baris ke baris, bait ke bait merupakan otoritasi pengarang tanpa meninggalkan sedikitpun jeda baginya untuk tidak tahu dan mengerti apa yang akan ia tuliskan. Pengarang sepenuhnya berpikir bahkan kalau perlu membuka kamus untuk menemukan diksi yang semakin ‘menyedapkan’ aliran katanya.

Nah, bagaimana kalau puisi berbalik menjadi subjek yang mengobjekkan pengarang atau bahkan dirinya sendiri?

Puisi yang lahir sebagai ‘hasil ego’ dan yang lahir sebagai ‘hasil ilham’ memberikan dampak pada puisi dan pengarangnya sendiri. Hasil ego memberikan korelasi langsung antara pengarang dan puisi, murni hasil kedigdayaan akal pikiran pengarang. Lalu bagaimana dengan puisi yang dilahirkan dari ilham, kata lainnya dari ketaksadaran pengarang  bahkan ketika ia menulis huruf per huruf yang membentuk puisinya, apakah ada korelasi langsung  antara puisi dan pengarangnya?

Tidak mustahil bagi pengarang yang melahirkan karya dari hasil ilhamnya ikut terbengong-bengong setelah membaca ulang karyanya sendiri, ia bahkan tak menyangka bahwa kata yang ia ciptakan hidup dalam dunianya sendiri, meninggalkan dia yang menuliskan jauh dari untuk mengerti atau paham. Kerap pengarang baru menemukan ‘apa yang dipesankan puisinya’ jauh setelah ia menuliskannya, atau bisa jadi secara cepat dapat ditemukannya walau tetap bukanlah maksudnya menuliskan seperti itu.

Lalu,mari kita melihat sebuah karya hebat Rangga Umara (Bandung) berjudul Jeritan Anak Malang yang menjadi karya terpilih dari seluruh nusantara untuk dihadirkan pada diskusi Teras Sastra ‘Buka Lahan’. Pertanyaannya, jika kita ingin menebak lewat pendalaman pada puisi, apakah karya tersebut lahir dari kesadaran pengarangnya—Rangga Umara—atau memberikan celah pada kita untuk mengatakan TIDAK, bahwa karya ini lahir dari ketaksadaran pengarangnya. Dari sini akan diketahui seberapa besar pembaca sanggup berpindah-alih menjadi pengarang karya yang lahir dari orang lain.

Jeritan Anak Malang

Nyanyikan nina bobo yang paling merdu,ma
Aku ingin tidur

 Kenapa diam,
Suaramu telah kering ya,ma?
Kamu masih seperti dulu,ma
Tetap tersenyum
Walau ribuan luka sering bermalam di balik dadamu
Masih memasak buat ayah, walau tahu ayah tak akan pulang

“Tuhan tidak adil ya,ma?”
“Tuhan sangat adil, nak…”
“Kenapa menukar senyum kita dengan air mata?”
“Kenapa aku harus menangis setiap pagi karena ayah tak pulang?”

 “Sudahlah, jangan menangis lagi.
Tuhan memberi kita waktu untuk menangis lebih banyak
agar kita mengerti nikmatnya tawa.
Tuhan memberi  kita waktu untuk belajar pada kehilangan
agar kita tahu apa arti kebersamaan.”

 Nyanyikan  nina bobo yang paling merdu, ma.
Aku ingin lelap

“tidurlah yang lelap, siapa tahu besok ayahmu pulang.”

 Malam telah mati
Aku terus bernyanyi
Pergilah pergi
Di sini aku sendiri
Menyulam sepi
Bersama sunyi
Yang menemani

 Tidur tidurlah
Lelap lelaplah, anakku
Nikmati mentari esok
Lebih pagi

Kota tua, 27 Sep 2010

Bila dilihat secara seksama, puisi ini jelas begitu kreatif memainkan suasana dengan imajinasi perjalanan alur yang memikat. Pertanyaan seorang anak kepada ibu—ma—memberikan letupan-letupan berwarna lugu, sederhana namun mencengkeram pertanyaan kita kuat-kuat, ‘ada apa dengan anak dan ibu itu?’

….
“Tuhan tidak adil ya,ma?”
“Tuhan sangat adil, nak…”
“Kenapa menukar senyum kita dengan air mata?”
“Kenapa aku harus menangis setiap pagi karena ayah tak pulang?”

Bagaimana posisi dialog dalam puisi, apakah ada indikasi puisi ini mendekati karya prosa? Bagaimana kita menjelaskan kilah kata yang dibikin sedemikian rupa oleh pengarangnya? Lalu bila ini dibenarkan, bagaimana jika puisi berisikan dialog semata?
Lalu kemanakah Ayah? Apakah ayah adalah simbolik ‘harapan’ yang tak kunjung menemui hasil, atau memang puisi ini mendeskripsikan secara sederhana ‘tokoh ayah’ tanpa bermaksud mengelabui pemaknaan pembaca.

….
“tidurlah yang lelap, siapa tahu besok ayahmu pulang.”

Kapankah Ayah pulang atau harapan yang tidak kembali. tentu ini menyimpan begitu banyak rahasia yang memberkas dibenak. Membaca sebuah karya memang sepatutnya kita memunculkan pertanyaan-pertanyaan karena dari sanalah kita akan menggali sedalam-dalamnya tanah yang diciptakan pengarang, walau secara sadar penggalian itu memakai metode dan cara masing-masing. Subjektifitas halal dalam hal ini.

Banyak bagian-bagian menarik dari puisi ini yang mungkin bisa disimak oleh pembaca sekalian, diantaranya adalah:


Kenapa diam,
Suaramu telah kering ya,ma?
Kamu masih seperti dulu,ma
Tetap tersenyum
Walau ribuan luka sering bermalam di balik dadamu
Masih memasak buat ayah, walau tahu ayah tak akan pulang


“Sudahlah, jangan menangis lagi.
Tuhan memberi kita waktu untuk menangis lebih banyak
agar kita mengerti nikmatnya tawa.
Tuhan memberi  kita waktu untuk belajar pada kehilangan
agar kita tahu apa arti kebersamaan.”


Tidur tidurlah
Lelap lelaplah, anakku
Nikmati mentari esok
Lebih pagi

Apakah puisi ini menginginkan kita melupakan untuk besok menemui wajah ingatan baru?
Silahkan diteruskan dalam catatan menarik kawan-kawan semuanya

Semarang, 30 Oktober 2010
Qur'anul Hidayat Idris 

NOTULENSI DISKUSI

'ngobrol santai tapi cerdas'

sesuai jadwal acara yang telah ditetapkan, acara dibuka tepat jam 14.00 (31/10/10). Hari memang mendung ketika itu, bahkan tak lama setelah Dissa--pembawa acara--membuka acara, gerimis tampak mulai membasuh dedaunan dan halaman DKJT (Dewan Kesenian Jawa Tengah). Peserta TeSt yang hadir dimintai untuk melingkar agar lebih dekat dan dapat mendengar jalannya diskusi dengan baik.

Dissa meminta QHI selaku ketua umum Sanggar Suluh untuk menyampaikan sekapur sirih berkenaan terwujudnya cita-cita Suluh melangsungkan acara puncak TeSt 'Buka Lahan'. Dijelaskan bagaimana cikal bakal acara ini "Berawal dari cita-cita, keinginan yang besar dari seluruh pengurus Suluh untuk ikut andil di ranah perkembangan sastra Indonesia, kami mengerti bagaimana luasnya lautan sastra tersebut, walau hanya menjadi sampan dan mengayuh perlahan. Kami siap menempuh depa-depa itu!" ungkapnya bersemangat.

Sebagai tanda  launching seluruh peserta diminta menundukkan kepala sejenak, berdo'a menurut kepercayaannya masing-masing. 'ngobrol santai tapi cerdas',  Jargon acara ini kembali diulangi pembawa acara untuk mengingatkan bahwa TeSt tidak membatasi suara siapapun, pendapat sekecil apapun akan menjadi bernilai ketika dibahas bersama-sama. Sebelum diskusi grup musikalisasi yang diundang panitia, Cie-Krib menampilkan alunan puisi berjudul 'Risau Kerinduan' karya Angga yang merupakan salah satu personil grup. Semua yang ada disana menikmati kreasi mereka, cukup untuk semakin mencairkan suasana.

Pembawa acara membacakan catatan 'Mencari Ayah Bersama Rangga Umara' yang puisi 'Jeritan Anak Malang' dibacakan dua kali oleh peserta TeSt, pertama oleh Sri Deby Marpaung dan selanjutnya oleh Samodra. Pembacaan yang baik dari keduanya membuat tepuk tangan hadir memeriahkan acara. Samodra langsung angkat bicara, "Karya dari Rangga Umara ini sangat menyentuh dan pantas ditempatkan diposisi pertama, karya ini menjadi cerminan masyarakat Indonesia. Bagaimana kebersamaan itu mahal harganya. Bahkan saya jadi teringat dengan keluarga saya yang telah empat bulan saya tinggalkan, ah. Saya memang bukan ayah yang baik"  pungkas Samodra dengan sorot kerinduan yang jelas terpancar.

QHI mengatakan, "banyak pertanyaan yang muncul ketika membaca puisi ini. Pertama, apakah Rangga mendapatkan aliran menulis dari ilham atau egonya? Kedua, Bagaimana penempatan dialog di puisi, apakah ini tidak mengindikasikan karya ini mendekati prosa? Ketiga, pertanyaan yang simpel, kemanakah Ayah?"

Angga angkat bicara, "Rangga mencoba berkomunikasi dengan Ibunya lewat bathin atau berdialog dengan dirinya sendiri karena sedang merasa kesepian dan butuh seorang teman. Antara prosa dan puisi sekarang perbedaannya sudah sangat tipis. Kalau pertanyaannya sah atau tidak dialog dalam puisi ini, jawabannya sah karena toh ini karya Rangga dan dan Rangga bebas menamai apa karyanya". Deby menegaskan, "dialog tersebut masih dalam ranah puisi, karena masih mengandung unsur puitiknya sebagai sifat dari puisi" 

Samodra menuturkan, "ini mirip perbedaan antara gambar dan lukisan, jika unsur keduanya dominan maka dikategorikan salah satunya, seperti puisi dan prosa. Cara penuangannya prosa akan tetapi ketika dibawa dengan bahasa yang sederhanan namun menyentuh dan ada letupan seperti puisi. Untuk itulah kenapa seorang pembaca yang baik harus mampu memahami karya yang dibacanya"

Una, "Di dalam bait-baitnya ada kemarahan mengungkapkan bagaimana seorang Ayang yang tidak bertanggung jawab"
Desta, "Antara puisi dan prosa sulit untuk dibedakan. Pusi ini dapat dialami langsung oleh pengarangnya ataupun dengan melihat pengalaman orang lain, intinya tergantung sejauh mana kepekaannya. Masalah dialog, itu sebenarnya untuk lebih menekankan makna puisi. Sebenarnya apa perbedaan mengarang dengan hasil ego dan ilham?"

QHI menjawab, "pengarang dalam posisi mencari, inginn menemukan apa yang akan dia tuliskan, sehingga ia dalam keadaan sadar menuangkan pikirannya dan dapat mencari referensi kata dari kamus. Sedangkan mengarang dengan hasil ilham ketika pengarang sendiri tidak mengerti apa yang telah ia tuliskan, ide dan aliran menulis muncul dalam ketidaksadarannya" setelah mendengar penjelasan tersebut, Desta kembali bicara, "kalau begitu saya memilih karya ini adalah hasil dari ego pengarangnya, karena ia menuliskannya setelah merefleksikan apa yang ia lihat dan dengar di sekitarnya"

Angga berbeda pendapat, "hilangnya sosok Ayah yang sudah meninggal dan sosok ibu yang bersedih ketika ditinggalkan, lalu berusaha untuk menenangkan diri. Untuk itu saya memilih karya ini dikarang berdasarkan ilham" Dissa sepakat dengan pendapara Angga, "Ayah disini adalah perlambangan harapan, ini diciptakan melalui hasil pertentangan bathin Rangga.

ditengah dua pendapat yang berbeda tersebut, Samodra masuk menengahi, "bisa jadi malah dua-duanya, karena dapat dilihat Rangga menulis dengan penuh kesadaran, dari pilihan katanya. Akan tetapi sisi ilhamnya juga ada. karya ini dirasakan punya tenaga untuk mengantarkan pembaca pada suasana yang diinginkannya, seolah-olah dia sendir yang mengalaminya. Puisi ini juga dapat lahir dari pengalamannya atau cerminan kehidupannya, bisa dimaksudkan benar-benar Ayah atau bisa cerminan keadaan Indonesia"

Desta, "puisi ini menggambarkan Ayah, sebagai klise dari harapan serta makna simbolik. Terlihat kesadaran penuh Rangga dalam menulis bila dilihat dari pemilihan diksinya. Memang, ketika puisi dibuat kita tidak dapat menetapkan secara pasti arah yang mau dibawanya kemana, sehingga kita tidak dapat men-judge maknanya!"

QHI, "namun, walaupun kita tidak bisa mendapatkan makna sesungguhnya, setidaknya kita telah mengalami penggalian untuk mencari sejauh mana karya ini mengusung sesuatu yang dapat kita jadikan landasan yang mendukung teori sastra, bukankah teori sastra muncul dari karya yang dikaji?"

Dissa, "tidak ada ketetapan yang hakiki memang, walaupun ada teori namun implementasinya dalam kenyataan tidaklah sama, sulit untuk menentukan titik makna, untuk melihat perkembangan sastra ini perbedaan dibenarkan. Teori juga lahir untuk menyampaikan inilah perkembangan sastra saat ini!"

Desta, "ada cara-cara tersendiri dan setiap teori ada tempatnya sendiri"

pembawa acara lalu menanyakan pendapat peserta yang belum memberikan pendapat ketika itu, lalu beberapa menjawab.

Cipto, "puisi ini bagus dengan adanya kata-kata yang menyentuh, tentang bagaimana seorang anak yang sudah kehilangan kasih sayang seorang Ayah"
Lia, "Pengarang pandai memainkan suasana sehingga pembaca dapat masuk kedalam suasana tersebut"
Deby, "Ibu di puisi adalah sosok yang tegar"
Dhini, "dalam mengarang puisi, adakalanya memang kita memperuntukkannya untuk ketenangan diri kita sendiri, ketika kita sedang bersedih, kita mencoba untuk mencari pelampiasan dari rasa sedih tersebut, begitu juga ketika kita dalam keadaan senang!"
Dissa, "menanggapi pernyataan Dhini, saya jadi teringat dari manfaat karya sastra itu sendiri, yaitu Katharsis, tentang bagaimana karya sastra dapat menjadi sarana pencucian bathin. selain itu ada juga manfaat lain, yaitu dulce et utile, berguna dan bermanfaat"

setelah pendapat-pendapat selesai, QHI melontarkan sebuah pertanyaan, "Bagaimana proses seorang pengarang dapat  menciptakan karya yang pada umumnya dianggap bagus, bagaimana kita melihat proses kreatif yang harus dilakukan, terutama ketika melihat keberhasilan puisi Rangga Umara ini?"

beberapa jawaban bermunculan,

Angga, "pelaku seni harus bebas dalam berkarya, tidak boleh dalam tekanan dan batasan-batasan"
Dissa, "karya yang bagus harus diciptakan dengan hati, selain itu dalam menciptakan karya tidak boleh terburu-buru, hanya akan membuat karya tidak padat dan cermat. Juga bagaimana menunjukkan kebebasan hati yang bebas"
Deby, "mengungkapkan perasaan dengan puisi"
Desta, "jika dipaksakan tidak akan menjadi karya yang baik"


QHI bertanya lagi, "menanggapi jawaban dari Dissa yang mengatakan bahwa sebuah karya tidak boleh terburu-buru. Lalu bagaimana kita melihat pengarang yang mengejar produktifitas untuk memenuhi keharusan penerbitan yang telah dicanangkan berkala oleh penerbit. Karya mereka tidak ada lagi pengendapan, hanya terus mencari ide-ide yang terkadang terlihat mengejar waktu. Ini tentu gejala kapitalis dalam sastra, nah, bagaimana kawan-kawan melihat fenomena seperti ini?"

Samodra, "kapitalis memang telah merambah kemana-mana, yang dulunya hanya berada pada wadah perdagangan dan  industri, sekarang telah masuk pada dunia seni bahkan sastra. Kita melihat bagaimana perubahan sikap dari banyak sastrawan atau seniman yang memaknai karyanya untuk sekedar menjual, melupakan idealis yang telah ia bangun dari dalam dirinya. Intinya fenomena ini menunjukkan bagaimana kapitalisme semakin menggusur idealisme. Lalu apakah seniman atau sastrawan harus terus berada pada idealisme, tidak juga, idealisme ditengah kapitalis akan menjebak pada ketidaksanggupan untuk bertahan, makanya perlu mencari celah-celah untuk bagaimana idealisme memanfaatkan kapitalisme, bukan sebaliknya!"

Andi, "intinya adalah bagaimana kita memaknai bahasa cinta, dengan cinta kita tahu apa yang sebenarnya kita inginkan, seni dan sastra sejati adalah yang timbul langsung dari dalam hati"
QHI, "celah sempit seperti apa yang Pak Samodra maksudkan?"
Samodra, "dunia mengalami percepatan dan itu mempengaruhi pada sitem yang  ada. Intinya sebagai bagian dari percepatan dan sistem itu, kita tidak boleh menjadi boneka yang dipermainkan, kita harus menjadi pelaku yang sanggup melawan dan menjadi bagian penting sistem tersebut. Dengan begitu, kita tidak akan kehilangan idealisme kita sendiri!"

seluruh peserta tidak menyangka jalannya diskusi dapat berkembang sedemikian rupa sampai ada isu Antara idealisme dan kapitalis dapat dimunculkan. obrolan terus berlanjut membicarakan masalah tersebut. ketika jam menunjukkan 16.00, pembawa acara meminta Cie-Krib untuk kembali menampilkan musikalisasi puisi yang telah mereka siapkan. namun ada saran dari Samodra yang meminta Andi untuk memainkan gitar dan bernyanyi bersama. Seluruh peserta terkejut karena tidak tahu sebelumnya kalau Andi bisa bermain gitar.

"petikan demi petikan mengantarkan senyum seluruh peserta, beberapa orang yang hapal ikut melantunkan lagu  Panggung Sandiwara dan Titip Rindu Buat Ayah"

Dissa menegaskan bahwa jargon TeSt 'ngobrol santai tapi cerdas' berhasil dengan baik, banyak pelajaran dan ilmu yang dapat dipetik, tidak sekedar obrolan biasa. Selanjutnya kesimpulan dari seluruh diskusi dibacakan, beberapa orang juga ikut menambahkan.

Acara kemudian ditutup dengan berdo'a dan bersalam-salaman dengan diiringi musikalisasi penutup dari Cie-Krip dengan puisi 'HAMBA' karya Angga. Semua yang hadir menjadi dekat dalam sejekap, ditambah dengan panitia yang memfoto setiap momen, ada juga yang narsis, hehehe

....................................
begitulah ringkasan notulen Teras Sastra (TeSt) 'Buka Lahan' yang dapat ditulis, walau memang tidak bisa mewakili suasana sebenarnya di tempat kejadian dan tidak semua omongan dapat ditulis. Semoga catatan singkat ini dapat memberikan gambaran kepada seluruh kawan TeSt jalannya acara puncak.

info pengiriman karya Teras Sastra (TeSt) Oase Kedua dapat dilihat dibawah,
 http://www.facebook.com/notes/quranul-hidayat-idris/teras-sastra-test-oase-kedua-menampung-karya-anda-untuk-didiskusikan-dan-diterbi/10150291110275430

Pengurus mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada seluruh teman-teman di dunia maya maupun yang ada disekililing kami. Do'anya telah membuat acara ini berhasil...
:)

Salam Budaya!
Salam Suluh! 










sebelum peserta datang, bersih-bersih dulu.. (doc/tim jepratjepret)
berdo'a dulu sebelum diskusi.. (dok/tim jepratjepret)
tereng tereng,... inilah dia Cie-Krib (dok/ tim jepratjepret)
jejaka-jejaka di TeSt (dok/tim jepratjepret)
QHI yang lusuh (dok/tim jepratjepret)
dissa nih, ehhem (dok/tim jepratjepret)
Deby, (dok/ tim jepratjepret)
ihhhiiiy, peseta tak diundang nih,, hehe (dok/tim jepratjepret)
penampilan khusus Andi (dok/tim jepratjepret)
setelah selesai, kembali bernyanyi ria.. hehe (dok/tim jepratjepret)
akhirnya,, inilah Teras Sastra yang sederhana (dok/tim jepratjepret)

PENGUMUMAN: LIMA KARYA TERPILIH UNTUK TERAS SASTRA (TeSt) DAN BULETIN 'TERAS SULUH'

Salam Budaya!
Salam Suluh!

Proses penjaringan karya untuk diskusi Teras Sastra dan Buletin 'Teras Suluh' tahap pertama atau yang kami namai BUKA LAHAN berakhir sudah. Setelah info pertama kali disebarkan di fesbuk pada tanggal 13 Oktober 2010. Seluruh panitia TeSt dan segenap pengurus Sanggar Suluh tersanjung dengan apresiasi yang ditunjukkan kawan-kawan semuanya, baik yang mengirimkan, menyebarkan info, menyemangati serta meramaikan grup fesbuk Teras Sastra (TeSt) Sanggar Suluh (http://www.facebook.com/home.php?sk=group_162358557126733&ap=1).

Sampai pada batas pengirimannya (25/10/10) kami menerima sekitar 75 (tujuh puluh lima) karya sastra yang masuk dan berhak bergelut di meja pertimbangan Tim Pembahas Karya Sastra Sanggar Suluh (TPK3S). Seluruh anggota tim yang terdiri dari lima orang telah bekerja keras menentukan lima karya terpilih. Adapun karya-karya yang masuk mengalami tahap membaca, eliminasi, ajuan juga alasan dan penentuan hirarki karya dari satu sampai lima.

Tidak mudah untuk menentukan lima karya tersebut, kelima anggota TPK3S harus bergelut dengan setiap karya yang masuk lalu mengajukan satu terbaik. Setelah mendapatkan lima karya, pengurus ikut andil dalam memberikan penentuan hirarki dengan melakukan voting--setelah membaca karya terpilih. Nah, akhirnya kami dapat menampilkan kelima karya terpilih tersebut ke hadapan semua kawan Suluh! Seluruh Pengurus Suluh meminta maaf bila ada kawan-kawan yang kurang berkenan akan hasil ini.

Keputusan ini mutlak dan tidak bisa diganggu gugat ..

AKHIRNYA, INILAH LIMA KARYA TERPILIH UNTUK TERAS SASTRA (TeSt) DAN BULETIN 'TERAS SULUH' :

1. Jeritan Anak Malang (Rangga Umara, Bandung)
2.  Menanti Berlabuh Lelakiku (Rusydi Hikmawan, Lombok Timur)
3.  Rupiah dan Pelaminan (Dalasari Pera, Sulawesi Selatan)
4.  Cerita Anak Pesisir (Youri Kayama, Padang)
5.  Siluet Laju Kereta (Budhi Setyawan, Bekasi)

Keterangan:
* Karya nomer 1 menjadi karya yang akan diangkat dalam diskusi Teras Sastra (TeSt) 'Buka Lahan'
* Karya nomer 1 sampai 5 otomatis diterbitkan di Buletin 'Teras Suluh'
* Buletin akan dikirimkan ke alamat masing-masing pemenang

LAMPIRAN

Jeritan Anak Malang

Nyanyikan nina bobo yang paling merdu, Ma
Aku ingin tidur

Kenapa diam,
Suaramu telah kering ya, ma?
Kamu masih seperti dulu, ma
Tetap tersenyum
Walau ribuan luka sering bermalam di balik dadamu
Masih memasak buat ayah, walau tahu ayah tak akan pulang

"Tuhan tidak adil ya, ma?"
"Tuhan sangat adil, nak..."
"Kenapa menukar senyum kita dengan air mata?"
"Kenapa aku harus menangis setiap pagi karena ayah tak pulang?"

"Sudahlah, jangan menangis lagi.
Tuhan memberi kita waktu menangis lebih banyak
agar kita mengerti nikmatnya tawa.
Tuhan memberi kita waktu untuk belajar pada kehilangan
agar kita tahu apa arti kebersamaan."

Nyanyikan nina bobo yang paling merdu, ma.
Aku ingin lelap

"tidurlah yang lelap, siapa tahu besok ayahmu pulang."

Malam telah mati
Aku terus bernyanyi
Pergilah Pergi
Di sini aku sendiri
Menyulam Sepi
Bersama Sunyi
Yang menemani

Tidur tidurlah
Lelap lelaplah, anakku
Nikmati mentari esok
Lebih pagi

Kota Tua, 27 September 2010

Hanya ini yang dapat kami sampaikan dalam kesempatan ini. Kami berharap kawan-kawan terus berpartisipasi dalam Teras Sastra berikutnya--info menyusul. Selamat kami ucapkan kepada pemilik karya terpilih, semoga terus menyemarakkan dunia sastra. Segenap pengurus meminta maaf bila ada hal-hal yang tidak nyaman dalam pelayanan kami...

http://sanggarsuluh.blogspot.com/
silahkan meng-add fesbuk sanggar dengan akun Sanggar Suluh

CP: 081 390 106 864 (Qur'anul Hidayat I)

(Info ini boleh dibagikan ke siapapun)

Salam Suluh!
Salam Budaya! 

Tuesday, November 2, 2010

Sore Tadi Kampungku Menangis

Sore tadi
Kampungku menangis
Dadanya luka
Jembatan memanjang diam-diam
Merobek dadanya begitu kejam.

“O, malam, kepadamu aku bertanya,
kemana kucari budaya
Yang kian hilang bersama timah dan
Minyak tanah yang terjual?”

Duh, masih adakah keceriaan dulu
Dimana bocah-bocah menghijaukan tubuhnya
Di pematang sawah, di ladang-ladang
Kemudian lelap dengan dongeng yang belum usai
di ceritakan

Sore tadi
Kampungku menangis
Ia tak mampu menjaring wajah-wajah asing yang
Gemar melarutkan isi perutnya
Ia tak mampu mencegah
Rumah Tuhan jadi sunyi, sekarat dan, mati.

Lindungi.


Jakarta, 2 Nov 2010

  • jembatan memanjang: Suramadu

Saturday, October 30, 2010

Nyanyian Kampungku

catatan sederhana, silahkan disikapi

Ole olang…
Tak kukenal siapa penggubah lagu merdu
Dari tanah Ibu kami ?

Namun, aku yang menangis ketika arit kakekku menjadi clurit merah di tangan orang-orang yang tak pernah kulihat wajahnya, lalu melekat di mata lain yang menganggap itu sebagai kutukan. sedang mereka tak pernah menyelam di
laut kami sekali pun, apalagi hafal lagu kami.

Ole olang…
lagu ini sering kunyanyikan
di awal pagi sambil rebah di bawah
pohon perdu menunggu ayah
yang belum usai membajak sawah,
atau ketika membetulkan surau tempat
kami mengaji. Surau kami sering rusak
karena tak sekokoh rumah wakil rakyat.

Jakarta, 30 Okt 2010



Sunday, October 24, 2010

Kembalinya Majnun Pada Laila

I
Lail, apa yang hendak kau ceritakan
malam ini. Bicaralah… lihatlah
tubuhku yang mulai keriput

II
Lail, sudah lama aku ingin terkubur di tanah
yang jauh, agar pencatat sejarah tak pernah menemukan
namaku di satu nisan pun, lalu akhirnya kau mengajakku
ke tempat ini, bermalam di tanah sunyi ini tanpa satu setan pun
yang mengganggu

III
Lail, cukuplah kita saling memendam dalam-dalam nama kita
di tanah merah ini.

IV
Oh, betapa jauh aku membawa dendam rindu ini
hingga banyak waktu kulalui tanpa nama,
hingga banyak orang merubah namaku menjadi Majnun.
dan kini kutemui kau tidur lelap di sini.

V
Lail, malam mulai tua
mendekatlah lebih dekat
kini ku datang padamu utuh sekali, hanya untukmu.

Bandung, 25 Okt 2010

Wednesday, October 13, 2010

Di Kota yang Luka

di luar jendela angin gaduh sekali membincangkan anak sungai yang tak mampu memetakan dirinya pada sebuah muara. “O, tidak! Ia akan pulang, sebab muara adalah rumah paling nyata”.Langit tak henti-henti menyerapahi genteng rumah dengan dengusan-dengusan angkuh membuat organ-organ tubuh tersalib sekian lama. ”O, malam yang kelam, begitu tajam garis nasib yang kau goreskan di tubuhku hingga aku lupa bertanya, berapa banyak bintang jatuh yang lupa kau ceritakan?”

Pada burung-burung aku belajar menyikapi hidup, karena hidup bukan sekedar dari tangan ke mulut.
pada karang di laut aku belajar kehilangan, karena setiap yang datang ia pasti berpulang.

Lalu kepadanya aku belajar kejam pada yang bernama kehilangan dan kekurangan.
Aku berdiri di tanah lain, di kota yang mulai luka,
tak melahirkan apa pun selain nama untuk mempertegas dirinya.

Jakarta, 14 Okt  2010

Sunday, October 10, 2010

Dunia Jalang

 Oleh: Rangga Umara

Tuhan
Jangan biarkan aku terlalu mesum
Dengan duniamu yang wanita jalang

Jakarta, 07 Okt 2010

Sunday, October 3, 2010

Sajak Kecil

MALAM

malam,
datanglah...
malam,
pulanglah lebih dekat
sunyi teramat lama
menulis angka di keningku

malam,
pulanglah...

Jakarta, 03 Okt 2010

Badik Bulan Betina

Musim-musim telah surut ke rumah masing-masing
Di sini aku sendiri telanjangi  malam.
Bulan betina bermalam di singgasananya
Setelah menorehkan badik
Di tubuhku

Bandung,01 Okt 2010

Thursday, September 30, 2010

Surat Terakhir II

Dadaku makin merah
Mencium aroma tanah
Dimana namamu pernah
menyesaki kamarku

Ketika itu aku ingin berdiri paling tinggi
di antara warna kesukaanmu.
Dan kau yang paling pandai
mengecilkan tubuhmu
daripada namamu
*****
musimmusim segera pergi
tangan-tangan akan dikremasi
kita diam pada setiap kepulangan
karena hanya itu yang bisa dilakukan
untuk tak membaca takdir sebagai kutukan

Tanpa diduga
Nama kita hilang dengan sendirinyaa
Tak seperti lembar suratmu
Yang kini masih ada

“kau lekas mengakhiri sebelum
satu usaha pun kau lakukan,”
Katamu dilembar  terakhir suratmu.


“lihatlah, aku tetap berdiri di sini walau
Hari-hari  menjelma lembah sekarat di wajahku,”
jawabku.

Bandung, 01 Okt 2010

Sunday, September 26, 2010

Jeritan Anak Malang

Nyanyikan lagu nina bobo yang paling merdu,ma
Kenapa diam,
Suaramu telah kering ya,ma?
Kamu masih seperti dulu,ma
Tetap tersenyum
Walau ribuan luka sering bermalam di balik dadamu
Masih memasak buat ayah, walau tahu ayah tak akan pulang

“Tuhan tidak adil ya,ma?”
“Tuhan sangat adil, nak…”
“Kenapa menukar senyum kita dengan air mata?”
“Kenapa aku harus menangis setiap pagi karena ayah tak pulang?”

“Sudahlah, jangan menangis lagi.
Tuhan memberi kita waktu untuk menangis lebih banyak
agar kita mengerti nikmatnya tawa.
Tuhan memberi  kita waktu untuk belajar pada kehilangan
agar kita tahu apa arti kebersamaan.”

Nyanyikan lagu nina bobo yang paling merdu, ma.
Aku mau tidur

“tidurlah yang lelap, siapa tahu besok ayahmu pulang.”

Malam telah mati
Aku terus bernyanyi
Pergilah pergi
Di sini aku sendiri
Menyulam sepi
Bersama sunyi
Yang menemani

Tidur, tidurlah...
Lelap lelaplah, anakku
Nikmati mentari esok
Lebih pagi

Kota tua, 27 Sep 2010


Saturday, September 25, 2010

Backpacker Lokal: ke Candi Cetho, Ngawi


Malam itu aku tiba di perkampungan yang sangat tenang, damai… dan menyenangkan. “Silahkan istirahat di kamar ini ya,mas? kata Kang Arif, sambil menunjuk kamar tengah rumahnya. Dengan bismillah aku masuk ke kamar yang kira-kira berukuran 3x4 meter persegi itu. Tiba-tiba mataku terbelalak melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. “Astghfirullah… benda-benda kuno yang mungkin usianya lebih tua dari kakekku, aku lihat di rumah seorang penyair yang multi talent ini. Sungguh menakjubkan! Ada berbagai benda antik yang terpajang. Mulai dari tombak, ruyung, keris, dan sampai yang tak kukenal namanya. Hehe Kang Arif kayak panglima perang jaman Majapahit aja. apa memang Kang Arif punya hubungan genetic dengan patih Gajah Mada ya? Pikirku.



Teman, kita tinggalkan dulu cerita semalam.

Di paruh siang aku dan kang Arif berkemas ingin segera berangkat ke Candi Cetho, yang terlaetak di gunung Lawu. Kalian tahu kan? Kalau belum, ayo ikut aku. Ehya, hampir lupa, semalam aku menghubungi Lina Kelana, Pakdhe Hardho Sayoko, dan Mas Karebet, untuk ikut serta ke Candi Cetho.



“Jangan kencang-kencang menjalankan motornya ya?” Pesan Pakdhe Hardho, sebelum berangkat. Dengan berbekal sepeda motor dan kamera akhirnya kami berangkat bergaya backpacker profesioanal. Tapi memang keren lho! Hehe

Kami terus memacu kendaraan dengan kecepatan sedang: 60km/jam. Di kanan kiri jalan membentang persawahan luas. Ada beberapa petani yang sibuk memanen hasil kerja kerasnya yang selama ini mereka lakoni dengan keringat namun dijalani dengan ikhlas demi bekal makan keluarga yang entah bisa cukup sampai beberapa bulan? Namun sabar dan ikhlas adalah senjata paling jitu untuk mereka tetap bertahan hidup, atau survive istilah kerennya. Gunung lawu terlihat samar-samar bagai seonggok batu berwarna abu kehitaman. selang waktu kira-kira 1jam lama perjalanan, angin bertiup semakin dingin menerpa dan menusuk sampai tulang-tulangku. Rupanya awan kelabu telah menutup sinar matahari yang semestinya mengahangatkan. Gigi motor hanya berkisar antar dua dan satu karena jalan mulai menanjak tinggi dan jauh. Kali ini kami harus mengurangi kecepatan dan harus pandai-pandai bermanover, kalau tidak, tebing gunung yang curam dan dalam akan melahap tubuh kami tanpa sisa, sebab jalan yang berkelok tajam kadang tiba-tiba ada di depan kami tanpa diduga. Seringkali aku, Kang Arif,dan Lina, harus menghentikan motor di jalan yang cukup datar dan paling strategis untuk berhenti. menunggu Mas Karebet yang tertinggal jauh, karena motornya kurang gesit ditindih dua orang yang cukup besar menurut ukuran orang dewasa: Mas Karebet dan Pakdhe Hardho.

Momen itu selalu kami gunakan untuk menjeprat-jepretkan kamera yang gak seberapa harganya. Yang penting happy. Kami bergaya cover boy dan cover girl yang kejar job. Backgroundnya tak kalah indah; tebing gunung lawu yang terjal, tinggi dan menghijau. ditambah beberapa pepohonan yang tumbuh di tepi-tepi jalan melukiskan suatu yang tak dapat terlukiskan keindahannya. Mungkin gunung Lawu tak sepopuler gunung Einger, meru, atau gunung shivling yang terletak di utara india bagian puncak pegunungan Himalaya, tapi keindahan gunung Lawu tak kalah dari beberapa gunung tersebut. Hanya saja tempatnya agak jauh dari perkotaan. Ya, namanya saja gunung! :)

Angin tipis lagi-lagi berhembus menemani perjalanan kami. Ughhh ternyata lelah juga ya? Tapi menyenangkan. Lihat teman, ya, lihatlah ;sungguh pemandangan yang indahhhh… ternyata langit yang tadi menghitam, kini mulai berangsur cerah dan biru. Jauh di bawah sana tampak rumah-rumah kecil sekali, seperti ukuran jempol kaki. Di tengah perumahan terbentang jalan yang mungkin adalah jalan raya kota Ngawi. Jika aku horizontalkan pandangan, maka yang mendominasi penglihatan adalah birunya langit dan putihnya awan yang berarak. Yuhuuuu very nice. Rupanya kami sudah berada pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.

“kita sarapan dulu yuk?” ajak Kang Arif, setelah memarkir sepeda motor sebentar. “hahaha ini sudah sore tau! Kok ngajak sarapan?” jawab Lina Kelana disertai tawanya yang khas Babat, sambil melayangkan tinjunya ke bahu Kang Arif. Tapi tinju itu adalah tinju kasih sayang, sedikitpun takkan membuat Kang Arif meringis kesakitan. Karena diam-diam mereka sama-sama menaruh rasa. Benarkah? Lihat saja nanti. Hehe.

Seusai makan seadanya di warung yang tak begitu mewah, kami berlima mulai menapaki tangga-demi tangga Candi Cetho. Di sana sini orang-orang tarlihat dengan aktivitas yang berbeda. Ada yang berpose di depan kamera dengan gaya masing-masing. Ada yang sekedar dudu-duduk dengan temannya di pinggir Candi sambil ngobrol sesuatu yang tak kumengerti. Sebagian ada yang hanya jalan-jalan kesana- kemari sekedar menyaksikan keindahan arca-arca bisu terbuat dari batu. Sisa pemujaan ada di sana sini.

Pada tepi barat Candi, di halaman yang cukup luas tampak rombongan yang berpakaian semacam sekte, berjalan menuju gerbang luar.

Ah, biar saja lah mereka. Kita terus naik keatas yuk?

Setiba di candi paling atas, kami disambut oleh Dewi Saraswati dengan senyum paling manis.

Di sebelah kiri arah patung Dewi Saraswati berdiri, ada sebuah kulah yang airnya sangat jernih dan dinginnya hampir menyamai dinginnya es batu. Konon, kulah itu adalah tempat pemandian seorang putri. (entah aku tidak tahu detailnya).



Jakarta, 25 Sep 2010

Thursday, September 23, 2010

Kapal Ferry, Kamal dan Tanjung Perak


 Ini adalah salahsatu gambar kapal ferry yang beroprasi di penyebrangan antara Tanjung Perak dan Kamal Madura. Jarak tempuh antara Tanjung perak ke Kamal Madura, lebih kurang, 5km. (riset amatir) hehe

Dulu ketika kecil aku ingin sekali menaikinya anggap saja seperti sekarang ingin naik kapal pesiar lah, kurang lebih. Setiap Ayah mau keluar pulau, aku selalu merengek ingin ikut, tapi entah apa alasannya niatku itu selalu terpatahkan dengan iming-iming Ayah,” Nak, nanti kalau Ayah pulang, Ayah belikan mubil-mubilan yang bisa jalan sendiri”. Ya! walau kecewa tapi setidaknya aku akan memiliki mubil-mobilan bagus sepulang Ayah. Karena selama ini aku hanya punya mobil-mobilan yang terbuat dari kayu dan empat bannya terbuat dari sandal bekas yang di buatkan pamanku. Hehe menyedihkan

Hingga akhirnya pada satu waktu kalau gak salah aku masih kelas 5 SD, dan kelas 5 Ibtida’iyah, aku dan teman-teman sekolah Ibtida’iyah diajak Guru Bantu (GT) ikut ramai-ramai ke kampung asalnya Pasuruan.

Dih! Ada kisah menarik saat malam menjelang keberangkatan kami ke Pasuruan, kami dan teman-teman tidak tidur semalaman lho! Aku sendiri membayangkan, bagaimana ya rasanya naik kapal, naik bus, yang selama ini hanya melintas disetiap mimpi indahku?

Sesampainya diatas kapal, aku dan teman-teman muter-muter mengelilingi kapal sampai kepojok paling ujung sekalipun. Disana aku berpikir dengan porsi pikiranku yang masih kecil, :kok bisa ya kapal ini membawa puluhan kendaraan seperti bus,truk,sepeda motor dll? Huh, dasar orang kampong! Hehe

Sekitar 15 menit kapal ferry akan segera merapat ke dermaga tanjung perak, suara adzan mulai terdengar, warna senja tlah terbenam di laut barat. Kulihat di tengah laut banyak lampu-lampu beberapa kapal kejap-kejap dengan begitu indahnya. Di tepi kapal kusaksikan muda-mudi sedang asyik bercanda dengan pasangannya masing masing. Ada juga anak kecil berteriak sambil tertawa riang setelah minta diangkat oleh Ayahnya. Di tepi barat Dermaga kapal Pelni dengan gagah dan megahnya sedang sandara menunggu jadwal keberangkatannya. Duh, pokoknya saat itu happy habis deh. Tak ingin rasanya cepat-cepat sampai ke dermaga. Tapi harus bagaimana lagi, wong bukan aku yang punya kapal?

Kalau sekarang kapal ferry penyebrangan Tanjung perak dan Kamal Madura, sudah berubah lebih bagus dan indah. Lihat saja, di pintu masuk ada dua cewewk cantik yang selalu menyambut. Dari dalam kapal kita bias melihat banyak pemandangan yang indah-indah seperti jembatan SURAMADU yang  panjang membentang,




dan kita dapat melihat MONUMEN JALESVEVA JAYAMAHE.

Yang paling senang adalah melihat dan sekaligus masuk ke monumen JALESVEVA JAYAMAHE. Monumen ini terletak di ujung Utara Surabaya (Tanjung Perak), terdiri dari patung setinggi 30,6 meter, berdiri tegak di atas gedung kokoh setinggi 30 meter. Jadi monumen iniketinggiannya 60,5 m.

Patung ini menggambarkan seorang Perwira TNI Angkatan Laut (kolonel) lengkap dengan pedang kehormatannya, berdiri tegak menatap ke arah laut dengan penuh keyakinan dan kesungguhan siap menerjang ombak dan menempuh badai menuju arah yang telah ditunjukkan yaitu cita-cita bangsa Indonesia.


Jakarta, 24 Sep 2010

PUTRI


P] penantian kita
      entah bermalam dimana?
      tak pernah tiba

U] untuk kesekian kali
      ku telan musim-musim
      yang membawa tubuhmu
      makin tiada

T] tunailah pengasingan ini.
     namun aku tersenyum
      jika kita masih menganggap
      ketiadaan ini adalah kutukan
      paling laknat

R] rumah tempat kita dulu melunasi
      resah sebelum tidur
      kini semakin kumuh, tanpa nama.
      tak mungkin lagi memulai di waktu
      paling akhir

I]  indah lagumu, putri
     
     katakan aku akan datang
     biar waktu mulai berakhir
     biar langit telah sunyi
     aku takkan lelah bermimpi
     bersamamu
     sampai nafas ini terhenti

     
     aku akan datang


Jakarta, 23 Sep 2010

Saturday, September 18, 2010

Apakah Tuhan itu Ada ?

Mario Teguh Super Note - THE MAN WHO CAN TALK TO FIRE - and his friend, Jurgen.

Oleh: Mario Teguh


Saat saya kuliah di Indiana University untuk mendapatkan MBA dalam business management, saya pergi ke sebuah tempat camping dan peristirahatan di White Water, di negara bagian Wisconsin, bersama belasan rekan sesama mahasiswa yang berasal dari berbagai bidang studi.

Ada seorang rekan mahasiswa S3 dari Jerman yang belajar Quantum Physics. Dia seorang ilmuwan yang super cerdas dan setia kepada logika yang akurat.

Suatu ketika dia melihat saya sembahyang Maghrib. Dia menunggu saya selesai, dan langsung mengatakan: Mario, I never knew that you were primitive. Saya tidak pernah menduga bahwa kamu masih primitif.

Mengapa?, tanya saya.

Dan dia menjelaskan bahwa orang-orang primitif di jaman dulu juga berdoa seperti saya.

Apakah dengan primitif, berarti saya salah?, terus saya.

Dia kemudian menjelaskan dengan logikanya, bahwa perilaku berdoa kepada sesuatu yang tidak ada untuk mengharapkan keajaiban, adalah perilaku orang-orang primitif, yang tidak mampu berpikir dengan logika yang jernih, dan yang tidak berilmu.

Lalu, dengan sikap yang menghormati kekuatan logikanya, saya bertanya: Apa yang membuatmu demikian yakin bahwa Tuhan tidak ada?

Dia menjawab dengan cool; Tuhan tidak ada, karena Tuhan tidak bisa dideteksi dan diukur. Jika kita bisa mendeteksi dan mengukur keberadaan fisik Tuhan, maka kita bukan hanya yakin – tetapi bahkan TAHU bahwa Tuhan ada.

Emmm … saya membiarkan beberapa jenak berlalu dengan santun, sebelum saya membuka langkah pengujian saya terhadap logika rekan saya ini;

Jurgen, demikian namanya, jadi kamu akan menerima keberadaan sesuatu yang bisa dideteksi dan diukur, dan jika tidak - maka kamu menolak keberadaannya, bukankah begitu?

Of course!, dengan gaya bijak yang mungkin ditirunya dari salah satu profesornya.

Lalu saya teruskan, apakah ada hal-hal yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya, karena belum ada alat deteksi dan alat ukur-nya?

Dia menjawab cepat; Oh pasti!, tentu saja banyak materi di alam ini yang belum kita ketahui, karena kita belum memiliki alat untuk mendeteksi dan mengukurnya, Mario. And that’s a simple logic!, dia melihat saya dengan wajah seorang guru yang kasihan kepada muridnya yang lambat mengerti.

Oooh … (saya memulai penerbangan ke Nagasaki dengan sebuah bom atom di perut pesawat pembom saya) …

Jadi sebagai seorang ilmuwan, Jurgen tidak akan dengan semena-mena mengatakan sesuatu itu tidak ada, jika ia tidak bisa dideteksi dan diukur karena alat untuk itu belum ada?

Ya pasti dong?! Itu khan bertentangan dengan logika dan obyektifitas saya sebagai seorang pemikir yang logis.

Lalu, dengan suara selembut mungkin dari wajah yang sepengasih mungkin, saya bertanya;

Jurgen, apakah alat untuk mendeteksi dan mengukur Tuhan sudah ada?

Dia bilang dengan santai; … belum …

Saya teruskan; … lalu, jika alatnya belum ada, jika alat untuk mendeteksi dan mengukur Tuhan itu belum ada, mengapakah Jurgen bisa dengan pasti mengatakan bahwa Tuhan tidak ada?

Dia terdiam sejenak, lalu dia berbicara dengan kelurusan dan ketegasan seorang ilmuwan;

Kamu betul, Mar. Tidak obyektif bagi saya untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, karena kita belum memiliki alat untuk mendeteksi dan mengukur Tuhan.

Jadi apa sikap terbaikmu mengenai hal ini, Jurgen?

Sikap terbaik saya adalah menunda keputusan apakah Tuhan itu ada atau tidak.

Apakah sikap itu sebanding dengan ragu-ragu, karena belum pasti?, tanya saya hati-hati.

Dia bilang, dengan sangat fair: Ya.

Lalu saya sampaikan dengan keramahan yang harus dihadiahkan oleh seorang beriman kepada saudaranya yang sedang menemukan keimanan;

Jurgen, selamat datang. Bagi seseorang yang tadinya menolak keberadaan Tuhan, ‘meragukan keberadaan Tuhan’ adalah langkah awal untuk meyakini keberadaan-Nya.

Dari sanalah, kamu akan menemukan logika keimanan yang jauh lebih utuh dalam ke-abstrakan-nya, akurat dalam keluwesannya, dan tegas dalam kenyataan hukumnya.

Dia hanya mengangguk.

Lalu kami bergabung dengan belasan rekan mahasiswa dari kampus saya di Indiana University – Bloomington, yang juga berasal dari berbagai negara dan keimanan.

Kami makan malam dengan kemeriahan dan kegaduhan para lelaki muda yang positif dan berpandangan besar dan kuat mengenai masa depan.

Malam itu saya ditugasi untuk menyalakan api unggun, dan menjaga agar nyalanya tetap besar dan menghangatkan kami di malam musim dingin itu.

Di setiap kesempatan camping, saya selalu menjadi petugas api unggun, karena menurut mereka saya bisa berbicara kepada api. The man who can talk to fire. :)

Saat suasana lengang karena kami semua sudah berbaring untuk beristirahat di dini hari itu, saya mendengar suara seseorang yang seperti sedang terserang masuk angin yang akut.

Itu Jurgen. Dia masuk angin.

Saat bangun pagi, saya hampiri dia dan saya tanyakan kabarnya di pagi bersalju yang bersih dan indah itu, dan dia berkata;

I was really sick last night, Mario. Not because of anything, but because I was trying to accept your reasoning on God as objectively as I could. Rearranging what you have been believing as true for years, is not easy. But I did it. Thank you.

And you were and are right, that I should hold my judgment about God’s existence. I cannot rule that he is non existent, as long as I cannot disprove his existence.

Saya sangat sakit tadi malam, Mario. Bukan karena apa-apa. Tetapi karena saya berusaha menerima alasanmu mengenai Tuhan dengan se-obyektif mungkin. Menata ulang apa yang telah kau yakini sebagai yang benar selama bertahun-tahun, bukanlah sesuatu yang mudah. Tetapi saya telah melakukannya. Terima kasih.

Dan kamu benar, bahwa saya harus menahan untuk tidak membuat kesimpulan apa pun mengenai keberadaan Tuhan. Saya tidak dapat memutuskan bahwa Tuhan itu tidak ada, selama saya tidak bisa membatalkan keberadaannya.

Saya menyalaminya dengan hati yang sepengasih mungkin.

Jurgen, welcome to faith. Selamat datang di keimanan.

………..

Dan tiga puluh tahun kemudian, di Minggu pagi di Jakarta, saya menuliskan Super Note ini karena tadi pagi saya membaca sebuah comment di MTFB yang mengindikasikan keraguan seorang sahabat mengenai peran Tuhan bagi kebaikan hati dan hidupnya.

Saya menunda hal lain yang tadinya ingin saya kerjakan di Minggu pagi yang indah ini, dan mendahulukan waktu untuk menuliskan cerita ini, dengan harapan bahwa Tuhan mempertemukan pengertian di dalamnya, dengan sahabat-sahabat saya yang sedang membutuhkan penguatan mengenai kedekatannya dengan Tuhan.

Mudah-mudahan Tuhan menjadikan hati kita semua, seutuhnya ikhlas menerima kemutlakan kasih sayang dan kekuasaan-Nya bagi kebaikan hidup kita, dan menurunkan jawaban bagi doa dan harapan yang telah lama kita naikkan ke langit bagi perhatian baik Tuhan.

Marilah kita menggunakan kehebatan dari kasih sayang kita kepada Tuhan, untuk menjadikan diri kita pelayan bagi kebaikan hidup sesama.

Mohon disampaikan salam sayang untuk keluarga Anda terkasih, dari Ibu Linna dan saya.

Sampai kita bertemu suatu ketika nanti ya?

Loving you all as always,

Mario Teguh

Thursday, September 16, 2010

Untukmu, Rumah Sunyi(mu). Kulunasi janjiku

Untukmu; Rumah Sunyi(mu)

: Rangga Umara




Hujan Putus-Putus




Payau cuacakah yang menjadi tumpu? Membulat di cekung matamu. Tak henti kau peram. Kian waktu - kian dalam. Sesuatu yang kau anggap lembut, seperti bunyi kabut. Menjadi sebab. Angin menyapu seluruh hasrat. Maka, tumbuhlah kecemburuan pada tiap ketukan. Di hujan putusputus itu. Ada yang berloncatan di ke dua pipimu. Menjelma sansai sungai garam. Menganak peta. Kenestapaan.


Rindukah yang menjadi muasal? Isyarat sebuah jarak. Di mana ujung jalan belah dua. Musim tak pernah menemukan. Sesuatu yang kau namakan penantian. Mungkin di hujan putusputus itu, yang berloncatan dari dua matamu. Adalah rindu yang debu, dari jalan yang ditinggal pergi oleh aroma masalalu. Di sepanjang pencarian. Melumpuhkan siangmalam. Bahkan seluruh penjuru musim, menjadi payau dan gasal.




Kat O, 16 sept 2010

Sajak Buat Ayah dan Mama

AYAH
Aku mengenal suara dazan
Yang kau tiup saat aku masih merah
Aku mendengar saat Kau merajam waktu
hingga tanpa nama
ketika gelisahmu belum juga tunai

   “menangislah yang kencang, biar suaramu cepat gelegar
    kelak waktu-waktu akan menjemputmu lebih cepat
    daripada uban yang berebut tumbuh di kepalamu,” katamu.

MAMA
Lihatlah,ma
Tak ada lagi genang embun
di sudut mataku
Seperti saat ketika dulu
kau ganti air susuku dengan
dongeng pangeran berkuda putih
yang gagah mengangkat pedang
ke medan perang
hanya ada doa serupa dongeng
membuatku berjalan
dan berlari hingga hari ini

Jakarta, 16 Sep 2010


SUDAH LAMA

sudah lamabermukim di rumah tua ini
sudah sering
kuseka debu-debu di punggung dengan
jari yang mulai keriput dan retak.

di ujung pagi
kulihat  lembu-lembu
mengusung daging perutnya sendiri
sejenak Api di pematang sawah itu membakar
jiwa hingga lebur tanpa Abu. ingin kuinjak kepalaku
samapi diri tanpa kepala. lalu, bintang arasy akan melayarkan
tubuhku hingga ke langit paling tepi, paling  hakiki, dan paling abadi

Ya Ilahi...
sejajarkan enam Gunung yang menganak di dadaku
terangkan lima Jalan di tiap sujudku.

sudah lama
bermukim di rumah tua ini

tanpa penyucian yang berarti


September, 2010

Maafkan Atas Debu Yang Membusuk di Dadaku

Bergetar  tubuhku
Di atas sejadah yang selama ini teramat asing
Di malammalam yang mulai tanggalkan bising.
Selama ini aku lupa dengan debu-debu
Menempel hingga busuk di dadaku

Aku lupa berapa angka getar denyut di nadiku
Aku lupa berapa angka gerak tubuh yang kupergunakan
Aku lupa berapa kejap mata untuk melihat
Aku lupa kalau itu semua adalah rahmatmu ya Allah…
Bahkan aku sudah lupa, berapa besar dosa yang kuperbuat selama ini ya  Allah…

Ilahi lastu lilfirdausi ahla, wa la aqwa ‘ala nari al-jahimi.
Aku tentu tidak pantas menghuni sorga firdausMu
Namun aku tidak kuat untuk menerima siksa nerakaMu

La ilaha illa anta ya hayyu ya qayyum
La ilaha illa anta ya hayyu ya qayyum

 Bandung, 07 Sep 2010