Wednesday, June 23, 2010

HUJAN

Add caption
Hujan!

Padamu hujan
Kupinta
Kembalikan dia
Yang selalu ada
Ketika kau ada

(x,=2=92=
2x11 & 711+r1)

Bandung, 18 june 2010

Terpangkasnya Hak Jelata

Ketika malam dan
langit pesta warna perak bulan
Tubuh kelabu merebus airmata
di tungku bisu tak bertuan.
Gunung gunung meratap,
Bumi menangis, lautpun
menderu begitu dahsyat!
Siapalagi menggelepar dikubang luka?
setelah pedang sipenguasa memangkas
hak jelata
tanpa sisa

Kami
rindu kembali Matahari
tiba di tangan tanpa melihat warna

Masihkah?

Bandung, 15 June 2010

SUNYIKU

Lirihku

Pada malam

Bawalah

Cintaku,

Hatiku,

Kenanganku.

Tanpa hadirnya

Hari-hari

Sepi

Mendekapku.

Bulan!

Biar bintang

Datang

temani

sunyiku.


Bandung, 15 June 2010

Dua Kisah di Sebatang Rokok

Kulihat wajah malam begitu sayu
Tak ada suara
Hanya deru angin sesekali geriapi daun-daun di halaman rumahku. Kusandarkan punggung pada dinding kamar sambil menghirup nikmat sebatang rokok, dan coba menelan sisa tragedi tadi sore di televisi;
tentang bocah keciil yang merebut perutnya dari sepatu besi satpol pp. Bocah itu merengkungkan tubuh di sudut trotoar mendekap keranjang butut milik ibunya sambil menatap pahit tubuh angkuh satpol pp, yang tlah menjadikan sampah onde dan bala-bala dagangannya.

“Ma, jatah makan kita hari ini tlah habis,ma. Tapi aku takkan menangis ma, karena aku sudah lupa sejak kapan aku berhenti menangis, dan sejakkapan aku mulai tertawa”, lirihnya.

duh, begitu cadas garis hidup bocah kecil itu.

Hidup! Begitu rumit dan lelah untuk ditafsirkan.
Seperti mata angin setiap waktu melaju dari arah yang tak bisa ditentukan, atau awan yang dengan tiba-tiba menjadi hujan. Begitulah hidup dan nasib.
Semua orang ingin jadi yang terbaik, tapi tak semua orang bernasib baik.
Tak usah merutuki nasib,sebab, Tuhan yang menciptakan nasib dan meletakkannya di kedua tangan kita.


Detak jam menghantar malam pada peraduan
Sementara batang rokok masih melekat di sela-sela lentik jari
;hmm, jadi ingat lagi saat ketika berceloteh dengan teman-teman dulu, di beranda pesantren, seusai mengkaji beberapa kitab kuning, dan ketika berkisah peristiwa kampung yang selalu kami rindukan, lalu berbagi asap rokok di bibir masing-masing dari batang rokok yang sama. Membagi teguk kopi di tenggorokan masing-masing dari gelas yang sama.


Bandung, 14 June 2010

Sejak Hilangmu

Kau tetap tiada walau betapa rindu ini teramat luka.



10 Juni 2010

Anak Tanpa Ibu

Hari mulai senja,
Anak tanpa ibu menyuling matahari ketika malam sebentar lagi mengunyah
Sesekali iya kibas-kibaskan sorban lusuh di punggungnya
Matanya jalang membidik langit sembari ayun-ayunkan awan di lengan kirinya
Sebelum akhirnya ia berkata,
”Tuhan, ajarkan aku menelan matahari tanpa setetes airmata ibu”.

Setelah gelap hendak melahap tubuhnya, ia tetap tegakkan kepala, mencari
Perutnya yang hilang ditelan tujuh bintang berjejer di keningnya.
Ia tetap tegak, karena tongkat Musa masih digenggamnya
“Hai para pendusta…! Lecutkan kembali pedang busukmu ke leherku
aku ingin tahu siapa yang terkapar esok pagi”, umpatnya.
Kembali ia melangkah, terus dan terus

Bandung 08 Juni 2010

Tuan, Jadilah Tuan

Tuan,
Tanah kita merah
Darah kita merah
Jika bajumu bagus,
Aku tak pinjam
Aku lihat saja.
Jika mulutmu lentik,
Aku punya dari ibu
Aku mendengar saja
Kau berkata apa.
Jika suaramu lagu,
Maka aku bertepuk tangan.

“Addhohiru yadullu ‘ala al-batin”

Tuan,
Tuan.
Tuhan,
Tuhan.

"Hidup bukan dari tangan ke mulut".

Tuan !
Aku lihat jari kelingkingmu
Bukan kepalamu
Aku genggam tanganmu
Bukan jalang matamu
Tuan, jadilah engkau tuan


Bandung 06 Juni 2010

SURAT HUJAN

Surat Rini Widya Sumardi dan Rangga Umara

Engkau tahu?
Betapa berwaktu aku tersiksa. Di hujan yang tak lebat itu, sedetik pun aku tak mampu menyentuhnya. Hanya menatap rindu dari balik kaca. Hujan itu, hujan yang tak lebat itu betapa sendunya ia. Menari bersama ranting cemara. Sedetik. Aku ingin beranjak, mendekap. Merapat. Hujan itu, hujan yang entah berapa lama. Mengintip dari balik jendela, memanggilku. Hei, sungguh. Aku merasa ia berbicara padaku. Padaku saja. Hujan tak lebat itu. Milikku.

Rini Widya Sumardi 03 Juni 2010


Yah, aku tahu! Bahkan sangat tahu.
Dalam pertukaran waktu, dimana waktu lain membawa serpihan tubuhku tubuhmu pada celah jendela yang lama kita tinggalkan, kini hadir saat kita berdiri di bibir pagi. Menggenggam sepi, menyulang hujan yang retas pada sudut-sudut mata. Aku tak melebarkan kakiku karena aku hanya ingin tetap berdiri di sini, di beranda sunyi, menunggu malam membawamu pada cawan tua di punggung mejaku.
Aku tak pandai membuat danau untuk melelapkan hujan di rongga tanah kita. tapi aku punya sumur mungil yang dapat kita teguk setiap waktu, ketika kita dahaga karena rona senja tak selalu mewarnai kanvas hidup kita.

Di bibir jendela
aku menajamkan mata, mencari biduk sunyi yang pernah layarkan angan mengarungi langit, ketika awan menyajikan aroma hujan, katika matahari merayapi tubuhmu dari dekapku, akhirnya mataku hinggap kembali pada kedua kakiku yang berpijak. Aku menanti hujan kembali memekarkan bunga-bunga pagi, menukar kemarau jadi semi.

Rangga Umara 03 Juni 2010

Tuesday, June 22, 2010

Tidurlah

Tidurlah adikku
biarlah mereka memasak air mata kita
mimpilah, esok luka ini kan tiada.


tegal 31/05/2010
 Sore Itu di Candi Ceto

Sore itu
kelabu awan lahirkan anak di kepala
aku ngilu menanti lahirnya di ujung mata.

Di bawah prasasti tua
sisa pemujaan disanasini,
dewa tanpa kepala sedang khusyuk mentasbih diri.
Angin tipis pijaki daun-daun,
rambati batubatu yang lelap tidur berabad tahun

Aku diam, menyaksikan
Dewi saraswati menyulam kabut
dengan benang angan sembari pamer leher jenjang
di sudut sendang

''Angin...
Senja...
dekaplah

Aku...
Kau...
lelap dimalam yang sama'' kidungnya.

Ngawi-Tegal 31/05/2010
Ingin Seperti Dulu

Bersama desir angin
Bersama gerimis di hati

Aku ingin kau lukai lagi,seperti
dulu kau mempercepat angka denyut jantungku
Aku ingin kau resahi lagi,seperti
dulu aku gelisah menanti pertemuan denganmu

Kota Sunyi 27-05-2010
Setelah Kepergianku
Adakah yang hilang dari matamu?
Sedang wajahmu serupa uban berebut tumbuh
di kepala.

Tumbuh Tumbuh dan, Tumbuh
Bandung 2010

Friday, June 18, 2010

Tanggalnya Sebuah Aurora

Oleh: Rangga Umara

Ingatkah waktu itu? kita gelung jemari asing di pelukan bulan, sambil menggantung tujuh aurora diantara arakan awan..

“aku ingin melukis wajahmu di salahsatu aurora itu
agar aku selalu melihatmu bila malam tiba, atau
jika satu masa waktu membawamu jauh dariku” katamu.

Aku hanya diam, mengamati pijak angin melambaikan satusatu rambutmu. Dan, lalu berkata:
”Aku ingin meneguk aurora yang berkejaran di balik kejap matamu, agar kau selalu ada dalam tiap jengkal ingatanku”.
*******
Disatu waktu, kelabu awan mengubur bulan dan aurora di perut malam, tangan takdir menyalib semua kisah pada kaki langit, pada sunyi lembah-lembah, sekaligus meluruti semua asa yang lama kita semai. Setelah itu, kita lebih sering menyulam luka yang menganak di rahimrahim mata, dan menakar jejalan pilu di beranda rumah kelabu

Aku hanya punya seutas keyakinan, jika berhenti berharap
berarti tak satupun arti hidup dapat kupetik.

Dalam hati aku terus bertanya, haruskah aku mencari aurora yang tanggal di tumit-tumit malam? atau diam membiarkan itu semua menjadi dongeng para nelayan yang sedang rebah ditepi-tepi pantai? Sedang apa yang kita alami, itulah yang akan kita tangisi.

Diantara sunyi senja dan fajar, tubian kelembak tubuhmu mengetuk-ngetuk pintu tua ketika aku lelah menggerai peluh di awal tidurku..

Cintaku ! haruskah aku melukaimu lagi dengan belati rindu sebelum waktu menghirup tubuhmu dari kelopak mataku? Aku tahu, begitu juga denganmu; tangan kita bukan pencipta keajaiban ruang dan waktu. Namun, haruskah kita menyerah? Sedang matahari kerap tak patuh pada geseran jarum jam yang menggantung di dinding-dinding rumah.

Tiada lebih indah selain ketika dulu kau nyalakan layar membentang di ujung biduk cinta, sebelum leluhur meyakini guratan cakra pada kedua telapak tangan kita.
Tiada lebih indah selain ketika kau tadahi bidik mataku bersambut binar matamu.


Cintaku
Ingin ku sibak kepingan awan di punggung dukamu
Sebelum hujan larut kembali di tungku matamu
Ingin ku cari kembali tujuh aurora kita yang telah hilang
Sebelum langit menenggak sisa senyumu di buritan malam

Bandung 16 Mei 2010

Seorang Perempuan dan Kematiannya

Seorang Perempuan dan Kematiannya

Di lidah bulan lima
Ku lihat wajah belia menanti 'Izra'il dengan sungging dibibirnya. Ia tersenyum walau maut berkali-kali mengecup keningnya yang tak berkerut. "Tidak ! Aku tidak akan menangis, karena aku tidak tahu untuk apa aku menangis?'' lirihnya. ''bawalah aku jika itu memang perjanjian waktuku. Aku sudah rindu ingin berdansa dengan kupu-kupu putih ditepian telaga Firdaus''.

Maut adalah penantian yang pasti tiba masanya, dan,
Kematian adah Hidup yang sebenarnya.


Ketika malam larutkan matahari di dadanya, maka ia pilih Bintang sebagai penerang disisa perjalanannya.


[terinspirasi oleh seorang perempuan yang sangat tabah melawan penyakitnya. Maaf, hanya coretan ringan]

Bandung 11-052010