Friday, November 27, 2009

Apresiasi sastra oleh Jurnal Budaya/Hudan Hidayat (2)

 
lanjutan - penyair bertholt brecht, "bocah kecil membatik langit" rangga umara
* bertholt brecht di jerman
syaiful alim di sudan

**Asep Saefumillah
pernyataan bang hudan mengenai sajak ini, seperti rumus Einstein di ranah fisika. sederhana tapi mengena dan sangat tinggi maknanya. jadi bang hudan memang ilmuwan sastra.


Bagi saya medan bahasa bukan hanya tema, tapi bagaimana tema itu diselinapkan ke dalam suatu selang seling kenyataan dalam bahasa – bahasa puisi. Puisi memang lahir dari endapan hati. Dan sekali lagi, bukan semata datang dari otak diskursif. Ada suatu kualitas dalam bahasa yakni sifat musiknya, yang menggoda pembaca untuk lama lama menatapi bahasa. musik yang dirangkai oleh kesamaan bunyi akhir dari suatu larik puisi. Tapi kesamaan bunyi yang alpa dari pikiran, hanya menjadi sebuah bunyi yang kering: ia tak meneriakkan gebalau hidup.

Sebaliknya bahasa hendak meneriakkan gebalau hidup, dari manusia yang terjebak oleh suatu nasib buruk – keputusan yang tak bisa dihindari itu. Seolah semua terkunci, dikunci oleh apa yang dinamakan kaum beragama sebagai takdir, kaum rasional sebagai jalan buntu pemikiran (artinya suatu imposible kini menghadang langkah manusia yang rasional untuk berjalan terus).

Terus tak mungkin lagi kecuali berhenti, dan di sanalah hidup itu terkunci. Situasi seolah ada di papan catur – skak mat. Begitulah misalnya penyair rangga umara mengisyaratkan situasi terkunci ini dengan mencari padanan tokohnya dalam puisi – yakni seorang anak, anak kecil yang disebut oleh judul puisi sebagai “bocah kecil membatik langit”. Langit dibatik. Apakah itu? Konon tubuh puisi bisa kita kembalikan pada judul puisi. Langit dibatik, atau bocah kecil membatik langit.

Terbentanglah suatu dunia yang kontras dikotomik, dalam suatu permainan yang sungguh tak berimbang: anak kecil, anak yang tak berdaya, langit luas yang tak ada batasnya, dan di tengah langit tak terpermanai itulah sang anak kecil yang tak berdaya itu, melakukan kegiatan membatik, “menganyam kain”. Tapi kain ini adalah kain langit. Dan apakah lagi itu artinya kalau bukan nasib, di mana ketakterdugaan menjadi niscaya, di mana doa ada di antaranya.

Di mana harapan dan kenyataan bisa kandas walau sang anak telah berusaha – membatik langit itu, yang kelak terurai dalam tubuh puisi. Lalu kita tahu betapa dari sebuah judul puisi, kehidupan itu mengangakan lubang luasnya, dalam hidup manusia yang nampak kecil saja di tengah semesta. Lalu kita tahu membatik langit adalah sebuah kesia siaan. Tapi pun sia sia, toh manusia masih juga mengerjakannya (bukankah judul puisi yang gemilang ini menyiratkan aktivitas, aktivisme dari manusia yang memberikan efek tragis karena ia tak lebih hanyalah seorang bocah – bocah yang membatik langit)...
Ditulis sekitar 2 minggu yang lalu · · · Laporkan Catatan
Samsudin Adlawi
Samsudin Adlawi
siap mas huhi...
09 November jam 19:40
Jurnal Sastratuhan Hudan
Jurnal Sastratuhan Hudan
kirimlah buku puisimu sam, lewat bamby. aku mau menuliskannya dengan tangan untuk utik juga. pun buku pring. kordinasilah. beberapa orang meyakinkanku untuk sesekali membawa maya ke sana: media cetak. nah kita akan coba dengan produksi yang sudah ada. tapi kirim ke bamby aja agar sret cepat hehe
09 November jam 19:44
Samsudin Adlawi
Samsudin Adlawi
siap mas, segera kukirim besok.
09 November jam 19:48
Jurnal Sastratuhan Hudan
Jurnal Sastratuhan Hudan
ada inboxku untuk kalian, sam yang baik.
09 November jam 19:51
Samsudin Adlawi
09 November jam 19:54
Helena Adriany
Helena Adriany
got it! ... musik dalam bahasa ... terangkai oleh kesamaan bunyi akhir dari suatu larik puisi.
akan menjadi kering bila kesamaan bunyi alpa dari pikiran. understood!

membatik langit ... jeritan kehidupan yang dapat dinikmati - gambaran takdir yang mengunci kehidupan sehingga dibuat tak berdaya ... genius mymymy !
09 November jam 21:02
Fadjroel Rachman
Fadjroel Rachman
hudan yang sunyi, hudan yang sepi, hudan yang sufi
09 November jam 22:49
Galih Pandu Adi
Galih Pandu Adi
sajak rangga umara memang beda mas. yang jelas. aku suka dia.... udah baik, sajaknya bagus2.
ulasanmu ini rasanya memang sangat pantas buat kawan kita Rangga Umara.
10 November jam 3:32
Jurnal Sastratuhan Hudan
Jurnal Sastratuhan Hudan
belum selesai galih. banyak penyair hebat. kau pun beda dan hebat. dan di atasmu itu, kawan baikku: fajdroel rachman, juga hebat hehe.
10 November jam 5:19
Rangga Umara
Rangga Umara
Pandu, sruput ah, kopi lelet. hehehe
59 menit yang lalu · Hapus

Wednesday, November 11, 2009

Kisah Clurit Sakti Dan si Anak Bulan


[hari ini tepat ulang tahun bersatunya dua pulau]


clurit sakti menatap tajam kearahku
seolah ada dendam yang mengerang didadanya
mata tajamnya liar ingin segera mengganyangku

kubalas tatapnya dengan senyum
''clurit saktiku...
aku anak bulan,yang dikirim langit sebelum siang
mari kembali ke negri awan sebelum ia jadi hujan
disana kita dulu bermain penuh damai
disana kita dulu bersenda dengan bintang-bintang
disana kita dulu menyapa rumput tanpa dendam''

''jangan biarkan nyawa melayang tanpa suara
jangan biarkan jiwa mengerang dikubang nafsu
tanpa jasad
kemarilah, sayat saja dadaku, agar engkau tahu
darah yang mengalir didadaku bukanlah nafsu''

clurit sakti menatapku penuh girang
''hai anak bulan, kisahkan kepadaku tentang si anak malam
yang dulu kerap membisikiku dengan adzan
aku rindu dengan kidung-kidung suci Al-Qur'an
aku sudah lelah melayang-layang di medan perang''

''clurit saktiku...
semua kisah takkan menghilang bagai cerita usang
kemarilah, kugenggam gagangmu dengan jemari hati
ku bacam engkau dengan air rohani
ku asah tajammu dengan ayat suci''

dia
aku
engkau
dari negri awan

di tubuhmu terlukis tujuh bintang keabadian
di pamormu tertulis sejarah persaudaraan
di gagangmu pendarkan aroma perdamaian
jadikan negri awan negri kebanggaan

kucarikan serangkamu yang lama hilang.


Oleh: Rangga Umara


Bandung 11/11/09

Sunday, November 8, 2009

Apresiasi Tentang Sastra Oleh: Redaktur Jurnal Budaya, Jurnal Sastratuhan Hudan/Hudan Hidayat

Catatan Jurnal Sastratuhan|Catatan tentang Jurnal Sastratuhan|Profil Jurnal Sastratuhan
penyair bertholt brecht, rangga umara dan syaiful alim - sajak benderang mengejar tema, sajak sembunyi dalam bahasa

Hari ini jam 11:25
* bertholt brecht di jerman
syaiful alim di sudan

**Asep Saefumillah
pernyataan bang hudan mengenai sajak ini, seperti rumus Einstein di ranah fisika. sederhana tapi mengena dan sangat tinggi maknanya. jadi bang hudan memang ilmuwan sastra..
Hari ini jam 11:29 · Hapus


bertolt brecht sang penulis exile itu, hadir ke dalam pembaca indonesia dalam title "zaman buruk bagi puisi". menurut kata kata kedua editornya - berthold damshauser dan agus r sarjono, ia dihadirkan ke dalam seri dua terjemahan puisi jerman ke indonesia, karena "ia seorang maestro puisi...". buku itu sendiri dalam pencerapan saya, diantar oleh suatu sesak informasi akan "biografi penyair", sehingga kita kurang melihat sebuah permainan antar pembaca dan penyairnya. suatu hal yang menarik membaca buku dalam suatu tatapan, agaknya tetaplah suatu celah yang bisa kita lihat dari bahan awal penyair, dan bahan kedua sang pembaca syair. singkatnya, suatu telaah telisik pada suatu puisi, pun ikut mengandil satu rasa keindahan dalam diri pembaca ketiga - kita kita ini. sehingga halaman halaman sebuah pengantar menjadi sumur puisi yang lain, di mana sang penyair diberikan bentuk lain dari pepuisinya.

ada satu sajak dalam buku itu, hymne kepada tuhan, yang bisa menjadikan contoh penjelas bagi suatu ideal saya akan puisi atau seni bahasa pada umumnya. yakni seperti yang menjadi judul dalam esai ini: tema yang dikejar oleh suatu bahasa benderang, tema yang dikejar oleh suatu bahasa yang seolah dalam percakapan lisan: sang pendengar menebak nebak apa sih kemauan sang pembicara ini sebenarnya.

dalam sajak dengan bahasa yang benderang, sang penyair tak menyelimuti tiap bangunan larik dan baitnya ke dalam suatu kias - metapora, atau meta lainnya, itu. tapi meluncur dengan bahasa biasa, bahasa yang bisa dicerap oleh orang kebanyakan karena mengandung unsur "rutin" dalam percakapan sehari hari: rutin familar kata yang digunakan, rutin cara sintak bahasa digelar. seolah sang penyair terserap oleh kehendak meraih pembaca yang meluas, seolah ia disurupi oleh fungsi dan peran penyair sebagai nabi untuk meraih dan mengangkat sebanyak mungkin manusia ke dalam puisi, entahlah. bisa kita larikan ke motif ini. tapi bisa juga: itu suatu lambaian yang datang dari dalam - kehendak untuk merutin dalam bahasa, untuk menggelar bahasa ke dalam bangun syair yang tak berumit dalam cara merapat dan menjauhkan kata - kata kata.

adakah kedua pola itu meniscayakan keindahan yang lebih, dari satu dan lainnya? adakah ia menjadi suatu acuan untuk sang penyair yang lain, saat hendak menuliskan puisinya sendiri? sejarah sastra dunia mengabarkan kedua pola itu menjadi agenda kerja, pun dalam meraih sastra yang besar. di negeri kita sendiri hal itu mewujud. dan semua memang harus kita kembalikan pada bahannya sendiri. akan bahan ini, sangat mungkin satu hal yang bisa katakan tepat pasti, adalah bawa cara man pun yang dipakai, sang bahasa dalam hal ini larik dan bait, atau paragraf yang membangunkan cerita dalam prosa, tak bisa mengindar dari diktum seni: tekanan emosi pada tiap kata katanya. tekanan emosi pada tiap ekspresi walau dengan cara apapun "kata" itu hendak kita bentukkan.

mungkin sukar mendefinisikan tekanan emosi pada kata kata itu. jauh lebih mudah kita rasakan, bahwa suatu rangkai kata dalam larik, atau larik dalam bait, pun dalam prosa di mana aspek cerita menghanyutkan pembacanya ke dalam suatu emosi yang berangkat dari godaan akan perasaan yang terjerembab, atau goadaan yang datang dari suatu teka teki pikiran yang diayun oleh para pengarang untuk menjejak ke dalam tiap tanda tanya akan suatu gejala.

begitulah misalnya suatu puisi atau prosa masuk ke dalam diri dengan deras: bukan ia lagi yang mengundang kita membacanya, tapi kita yang seolah kerasukan ingin memasuki dunia suatu ekspresi sastra kreatif, karena kandungan tekanan pada aspek perasaan atau pikirannya.

penyair memang bisa menempuh suatu jalan - bahasa yang benderang itu seolah alam yang siang: jelas dan nampak oleh suatu kasat mata. tapi saat kita masuk ke satuan kecil dari yang kasat mata itu, bahasa benderang nampaknya sudah mulai harus digantikan oleh suatu bahasa yang berselang seling dalam amanatnya. seolah alam itu sendiri, di mana liang dan lubang tak kasat mata lagi. harus masuk dan menelisik: ada apa dalam lubang ini. apa yang hidup dan menggejala dalam liang ini.

kita turunkan bait awal hymne kepada tuhan itu - suatu bahasa yang benderang dalam puisi, di mana godaan puisi datang dari tema yang hendak dikejar penyair. tema yang digelar dalam bahasa yang benderang, dengan hitungan keindahan dan kedalaman nilai puisi diletakkan pada seberapa dalam tekanan emosi pada tiap kata kata dalam larik di tiap bait puisi.

"nun jauh di gelap lembah, orang orang lapar sekarat
kau perlihatkan roti padanya, tapi kaubiarkan mereka mati.
sedang kau bertahta abadi
tak tersentuh. gemilang dan keji di atas rencana abadi."

orang yang pandai membaca tak ada kesulitan berhadapan dengan kata kata semacam itu. pun orang orang yang memiliki kepekaan atau tak berkepekaan, tak akan sukar menerima limpahan tekanan emosinya, dari suatu kabar akan "tuhan yang berdiam diri itu", dan akan banyaknya orang yang mati, pun adalah suatu pengelihatan yang juga bisa diserap orang melalui pengalaman sebagai afirmasinya.

begitulah sajak bertholt itu menguraikan dirinya ke dalam bahasa yang benderang, mengejar temanya akan tuhan yang terus berdiam diri, di mana pencampuran k berhufuf kapital dari tuhan dengan k berhuruf kecil bisa kita acukan bahwa puisi sudah meluas - memaknai dirinya ke dalam "k" manusia yang juga banyak berdiam diri.

"kau biarkan mati yang muda, juga mereka yang sedang bahagia
tapi kau halangi mereka yang memilih mati...
banak mereka yang telah membusuk
percaya kepadamu dan mati penuh harapan."

"kaum miskin kau biarkan miskin masa demi masa.
karena kerinduan mereka lebih elok daripada surgamu
bila mereka mati, sayang sekali, sebelum cahayamu tiba
mereka toh mati bahagia - dan busuk seketika."

"banyak yang bilang kau tak ada, dan lebih baik demikian.
tapi bagaimana bisa yang demikian menipu bisa tidak ada?
sedang begitu banyaknya manusia butuh kau
dan tak mampu mati dengan cara berbeda.
atas itu semua jelaskan padaku, lantas kenapa kalau kau tak ada?"

begitulah puisi ini, yang bertahun 1917-1922, meluncur dalam benderang ucapan, di mana memang terdapat tekanan emosi yang pemberontakannya akan membuat marah mereka yang tak akrab dengan permainan tuhan sendiri dalam dunia dan dalam kitab kitabnya: tafsir, tafsir akan kegusaran bertholt yang melihat tuhan berdiam diri, dan tafsir atas kehendak puisi bahwa kerja sastra apalah bedanya dengan tuhan yang sembunyi dengan kata katanya yang tak terkejar semacam alif lam mim itu.

tentu saja puisi bertholt itu adalah puisi yang indah, dan dalam dalam pertanyaan yang diayun oleh puisi: ia menerobos gejala kematian dan kini berhadap hadapan dengan nada ketuhanan.

puisi semacam ini menarik pikiran kita, bukan terutama pada misteri bahasa tapi pada misteri hidup ini sendiri dan itulah tema yang hendak dikejar penyair: mengapa ada kematian, dan mana peran tuhan yang konon maha kuasa, itu.

pembaca tak disuguhi penyair akan teka teki dalam bahasa akan suatu amanat yang dipendam oleh syair. jadi bisa kita katakan - sang syair hanya memendam satu keindahan dari dirinya yaitu keindahan akan keabadian tema yang ia gelar, keindahan akan nyanyiannya akan nasib manusia yang terbelah: ada yang mati dan banyak yang berdiam diri dalam melihat kematian.

tapi selang seling dari tiang tiang puisi yang membuat seolah lubang yang kita masuki itu ternganga dan mengundang diri pembaca untuk masuk ke dalamnya? tak kita dapatkan dalam puisi ini. karena disain awalnya, dan karena, sekali lagi, tema yang hendak dikejarnya? tema yang hendak dikejarnya? benarkah demikian? bukankah atau tidakkah itu semua karena lambaian tangan dari diri penyairnya sendiri? bahwa begitulah pola dan kesukaannya dalam menulis, dalam mengekspresikan aku-nya pada dan berhadapan dalam dunia.

mungkin kita harus katakan dulu ada ragam ragam kematian. bentuk bentuk kematian yang mungkin "kehilangan, kerinduan, kepedihan, derita, atau ya: kematian itu sendiri".

ragam ragam yang sah sebagai denyut dan degup hidup manusia. ragam ragam inilah sebetulnya yang hendak dikekalkan manusia. manusia hendak memberinya baju dalam bahasa: puisi itu. bahasa sendiri sebenarnya dalam tiap tingkatannya adalah baju dari identitas pikiran dan perasaan manusia, saat bertemu dengan kenyataan di luar atau di dalam dirinya.

untuk cara berpikir seperti itu, maka suatu pengungkapan dalam puisi bisa diperbandingan. kita ingin melihat selang seling ragam pengucapan itu. kita hendak melihat ketinggian, kebermaknaan, dan keindahan dari selang seling bahasa dalam puisi. ataukah ia puisi realis, ataukah ia memiliki sifat sureal dalam mengucapkan dirinya, tak menjadi suatu soal ketika kehendak untuk mengejar kebermaknaan puisi tercipta dalam diri sang pembaca.

saya akan menurunkan dua puisi yang bisa kita perbandingan dengan sajak bertholt ini, bahwa kedua sajak (dan sebenarnya banyak sajak yang dihasilkan pengarang facebook sungguh kuat bertandingan dengan puisi puisi dunia itu, tapi karena suatu semangat perjalanan dan untuk suatu keperluan peta pula, saya akan menjejerkan yang terakhir, sambil menyelipkan larik larik sajak sajak yang lain) itu pun berbicara tentang "kematian" - tentang suatu rasa kehilangan yang terus menarik narik manusia itu - seolah masa depan yang menarik masa kini untuk segera lekas sampai padanya.

inilah sajak syaiful alim dan rangga umara yang bisa kita perbandingkan dalam dan dengan puisi puisi dunia, dalam hal ini puisi bertolt brecht dari jerman.

* syaiful alim
kerinduan pisau

kerinduan pisau
Kerinduanku padamu
bagai sebilah pisau
yang baru selesai diasah
haus segar darah.

Sudah berapa basah darah
yang melumuri tubuh pisau itu?
Setiap lidahnya menjulur tergiur
darahku mengucur.
Setiap hidungnya mendengus
urat nadiku memutus.

Jangan kau basuh. Aku masih harap ratap aduh.

Darah ngalir-wajahmu hadir.

Diam-diam aku mengagumi bisikan amis pisau itu, sebelum mengiris, "manis, jangan menangis, aku bukan iblis"

Diam-diam aku menikmati kejam tajam tikaman pisau itu di daging rinduku, yang membikinku tak kunjung padam.

Diam-diam aku ketagihan raung eranganku sendiri, di ruang terang atau remang. Pintaku, lagikan tikamanmu, wahai pisau.

Diam-diam aku menikmati ketidakberdayaanku, menggelepar-gelepar di kekar rengkuh pisau itu.

Dan diam-diam aku mulai jatuh hati pada kukuh birahi pisau itu.
Terkadang jatuh hati bermula dari benci. Benci yang menanti tuju.

Aku begitu cemburu ketika mata pisau bermain lirik mata dengan apel merah di sebuah meja makan, meja kita, yang kangen kata.

Hatiku terik. Kutarik pisau itu. Kucabik-cabikkan di hatiku. Darah netes. Lapar belum beres. Kugores-gores wajahku. Wajahku wajahmu sejenak ketemu: lalu pisah di persimpangan waktu.

Lupakanku, kulupakanmu, bujukmu.

Kelak, jika berjumpa lagi di gubuk sajak, akan kutujahkan pisau ini di detak jantungmu.

Khartoum, Sudan, 2009



** rangga umara
bocah kecil membatik langit

Bocah kecil bertelanjang kaki
berjalan pelan digalengan sawah.
memayung dua awan
saling beriringan
berebut jatah
dengan tikus-tkus sawah
di saung sunyi

bibirnya yang kelabu
tak henti igaukan
bapak yang sejak dulu pergi
''Bapak, datanglah walau sekali
aku sudah lelah membajak sepi hari
aku mulai jengah menyulam rindu ini
dengan benang malam ber-upah tangisan''

Ibu dengan sungging yang kemarin
setia menanti di balik pintu kirikan
kerap linggih di beranda tua
menjamu angin dengan desah kala
merapal doa
di malam yang menua

bocah kecil dengan galah ditangan
sedang asik menatap bulan
yang kian meruncing
membatik langit
tanpa canting

''Sudahlah anakku... kau takkan pernah benar menghitung bintang
atau dengan galahmu mengharap raih bulan.
lebih baik tunggu bapak segera datang''
bujuk sang Ibu
pada anaknya.

Bandung 19/10/09

bersambung...

==============================



· Lihat 31 KomentarSembunyikan Komentar (31)
Andre Panuli, Priatna Ahmad Budiman, Muhammad Baidowi dan 9 lainnya menyukai ini.

Renny Re-Chan Rumhil
sajak bernyanyi dalam sapardi jokodamono
Hari ini jam 6:55 · Hapus

Ratna Munawarah
sajak bermakna masuk ke rasa
Hari ini jam 7:00 · Hapus

Muhammad Taufan
Wuiiih kereeen.
Jadi kalau Alm. Rendra itu termasuk golongan eksil bukan?
banyak puisi-puisinya berdiri dengan benderang?
Terus apakah setiap emosi adalah titik arketipe penulisan puisi?
trims.

Jurnal Sastratuhan Hudan
(bisa tidak muh, dan itulah saat mata kita menjadi lain: dingin tanpa emosi, yang adalah tekanan emosi dalam bentuk lain. jadi kita mudahkan saja: ada emosi, tapi dalam ragam ragamnya. jadi kesudahannya:

ia harus ada esmoi. seolah manusia: kehilangan emosi, bukanlah manusia lagi. tinggal tubuh. maka keindahan adalah keindahan yang tinggal hanya benda - tubuh itu. passionnya, geloranya, sudah merucut dari bahasa - puisi. begitukah? aku terus dulu ya, ni belum selesai.

terima kasih kawan kawan yang di atas sana hiks salam dari bertholt dari surga janna.

Dian A. Hak
Aku hanya bisa membaca dan menyimpan rapi uraian mendetail ini. Semoga bisa jadi bahan pembelajaranku kelak.

Ratna Munawarah
menbaca tulisan Bang Hudan dengan judul di atas, boleh saya bertanya Bang. Lantas bagaimana dengan puisi yang memiliki banyak permainan kata tanpa mengesampingkan makna yang ingin dituju ( itu menurut penulis puisinya )? apakah itu dapat menghilangkan esensi sebuah puisi ?, dan akhirnya pembaca salah menafsirkannya ( itu saya alami setelah menulis puisi dengan judul AMARGA KATA )....maaf ya Bang aku tanyanya kepanjangan habis aku penasaran. Jangan jemu - jemu untuk memberi petunjuk ya Bang. Terimakasih,salam

Jurnal Sastratuhan Hudan
seperti dalam esaiku ini: justru sebaliknya. permainan kata itulah yang kita gelar dalam sajak dua orang penyair yang saya turunkan penuh ini. pun dalam sajak sajak penyair yuli, ada selang seling kata itu. sajak kwek li na, dewi maharani. tapi kalau sayuri agak mengejar tema dengan tekanan emosi yang penuh.

juga sajak ponco wae lou, galih pandu, atau cepi sabre itu, penuh dengan selang seling puisi. di beberapa sajak imron selang gitu ada dan kuat.

begitu kan?

Muhammad Taufan
Karena puisi semacam pakaian, apakah pakaian adalah sebuah alur sebuah media pencapaian kebenaran dalam puisi?

Puisi bukankah sebuah tikungan mencekam, jika sebuah adekuat dalam objeknya berbicara mengenai hal-hal temporal?

Apakah puisi semata-mata proyek hyperalitas?
atau sebuah tanda zaman kebebasan yang semakin tahu bagaimana caranya menari?

Dari pohon apakah puisi dapat berbuah?

Priatna Ahmad Budiman
Menjajarkan dua hal dengan uraian yang jelas !. Gelap dan terang sama sama indah...

Asep Saefumillah
pernyataan bang hudan mengenai sajak ini, seperti rumus Einstein di ranah fisika. sederhana tapi mengena dan sangat tinggi maknanya. jadi bang hudan memang ilmuwan sastra..
Hari ini jam 11:29 · Hapus
Ditulis 6 jam yang lalu · Komentar · Suka / Tidak Suka · Laporkan Catatan
Anda, Poncowae Lou, Fuad Fuad, Cepi Sabre, dan 5 orang lainnya menyukai ini.
Dian A. Hak
Dian A. Hak
Membaca note menarik aku anggap makanan jiwa dan pikiran, untuk selanjutnya sabar mengodok perenungan dan pemahaman agar tangan tak salah melontar daun Lontar.
Makasih untuk bang Hudan dan temen2 semua yang telah ikhlas berbagi isi kepala dan isi perutnya kepadaku.
Kalian semua memang hebat!
6 jam yang lalu
Yuli Kyala Asykury
Yuli Kyala Asykury
gejes gejes,,, aku data diawal. bertholt jerma, datang denga benderang. Syaiful Alim, datang dengan kerinduan yang tajam. Rangga Umara, huhu, tentu dengan misteri yang terpendam kuat,,,

boleh kali ini agak panjang komenku?
ketiganya sungguh aku suka. terutama kusuka yang bermain dengan alam dan misteri hidup yang tak pernah berhasil kutulis dengan baik
... Baca Selengkapnya
tengkyu kang Hudan, apya kabyar? tambah gejes gejes„„„ hahehi
6 jam yang lalu
Jurnal Sastratuhan Hudan
Jurnal Sastratuhan Hudan
boleh panjangkanlah komenku, karena aku pun akan menambah kekuatan kita untuk menandingi pemain dunia itu - bertolt brecht hehe game wacana kan? dengan ya puisimu yang mutar mutar kalau kita baca awal kok ke akhir kok ke awal lagi dengan indahnya hehe
6 jam yang lalu
Ratna Munawarah
Ratna Munawarah
Semakin jelas dan nyata...terima kasih Bang ...( hihihi tu...tu..tu...aku ikut eksis )
6 jam yang lalu
Yuli Kyala Asykury
Yuli Kyala Asykury
huhu, muter kaya scuter berantai dari periwil kembali ke gir dari gir ke periwil
dari atas kebawah dari bawah keatas lagi,,, begitu ya kang, symbol hidup ini. selalu menarik dan kadang miris.

gejes gejes jes nyusssss. ha ha he he hi hi huhi
6 jam yang lalu
Cepi Sabre
Cepi Sabre
saya pikir, bang hudan. sebentar lagi batas-batas akan runtuh. dunia sedang meleleh.

berbicara tentang puisi, saya selalu terpikir soal makam. di manakah makam yang tepat untuk puisi, buku, koran minggu, atau melayang-layang di maya ini? tapi kau bilang, di hati. puisi ini agak aneh soalnya, koran pun harus mengalah padanya dengan mengkhianati strukturnya yang kolom-kolom itu, demi memberi ruang pada puisi. puisi, yang diharapkan abadi, sekarang juga melintas begitu saja di internet yang serba cepat, sekejapan mata.

kekurangan maya ini, bang hudan, tidak ada redaktur, tidak ada editor. maya ini adalah media saya sendiri, harian saya sendiri, saya sendiri pos. tapi yang muda-muda itu, tidakkah sedang dijagal di ruang redaksi koran minggu? kualitas lalu menjadi pertanyaan dengan tanda tanya besar di sini. dua puisi itu, rangga umara dan syaiful alim itu, baik saya rasa puisinya.... Baca Selengkapnya

entahlah, puisi ini binatang yang aneh kurasa, kadang jalang dan ingin hidup 1000 tahun lagi, kadang terlanjur jadi debu sebelum kayu sempat bicara pada api. aneh.

terus terang, saya menghargai cara kerjamu, bang hudan. masuk ke setiap halaman rumah orang dan mencari-cari sendiri di mana puisi. walau begitu, komentarmu dikritik teman-temanmu, bang hudan. tak apa kata saya.
6 jam yang lalu
Yuli Kyala Asykury
Yuli Kyala Asykury
wussssstttt! huhu @cepi sabre yang menjulang, tiap pagi mamaku selalu berpesan ''yuli, butuh kesabaran dan keikhlasan untuk menghasilkan masakan yang enak. jaga tungku itu dengan baik, sebab kalau apinya padam hasil masakannya gak enak'' kata mamaku.

eh iya, aku masih ingat waktu kecil belajar A B C, disitu aku ingat betul pada ayahku yang sangat... Baca Selengkapnya bijak mengajariku, kalau aku salah mengeja beliau tidak lantas membentak ''yuli! itu salah!'' dengan bijak bliau berkata ''anakku,,, kok ejamu beda ya bunyinya? coba kalau begini kedengarannya lebih bagus'' begitu katanya. implikasinya cepi sabre yang menjulang pasti lebih mengerti. hehehe, ayo ayo ketawa renyah saja. hihihi
5 jam yang lalu
Jurnal Sastratuhan Hudan
Jurnal Sastratuhan Hudan
kita sigi satu satu ya cepi ybge hehe di luar sana (setidaknya nampak dari gelombang perlawanan yang tak henti hentinya itu ya), orang tak percaya pada redaktur budaya lagi, apa pun motif dan apa pun benar atau salahnya. tapi itu realitasnya. tapi adalah realitas pula orang pun masih percaya pada redaktur budaya lagi. buktinya: kiriman kepada ruang ruang budaya tak hendak turun juga kan jumlahnya. haraplah diingat aku pun termasuk dalam jajaran redaktur budaya itu (bukankah huhi ini redaktur jurnal perempuan yang ih amat indah dan keren itu hehe).

redaktur budaya yang "dililit soal soal keredaksian indah dan tidak indah" itu memang relatif ada soal, tapi redaktur budaya semacam nirwan dewanto, ahmadun yosi herfanda, ari santoso (jawa pos), saya kira saya masih percaya pada integritas mereka menjaga gawang sastra di sana. lalu bagaimana? kita bisa bilang: memang ada nilai yang meleleh itu. tepatnya: meningkatnya jumlah kualitas sastra dari pemain bahasa yang baru, yang agak kurang familiar namanya di mata redaktur budaya itu. saya melihat sendiri satu dua orang (istilahnya ya) dari mereka lolos. buktinya kawan kawan kita sendiri di sini lolos di koran koran besar itu. iya kan? ini harus kita akui juga kan. tapi kita juga tak menutup mata dari mereka yang terus menembak dan menembak apa saja yang mapan dalam sastra itu. ini pun realitasnya.

sekarang bagaimana realitas maya? yang kamu bilang tak ada sensor redaktur? siapa bilang tak ada sensor? pertama para redaktur itu juga ada di maya ini. yang walau mungkin mereka tak menunjukkan pendapatnya saya yakin diam diam pun melakukan sensor, memiliah dan memilih. ... Baca Selengkapnya

sensor itu, harus kita letakkan pada suatu konteks menilai diri sendiri. bahwa saat kita menulis kita mengerahkan tradisi yang melingkupi kita, pun tradisi saat hasil kerja sang redaktur di koran yang kita baca kita katakan: baik puisi ini kurang puisi ini. itu sensor redaktur dalam arti sang pembaca menjadi redaktur.

singkatnya: tergantung kepercayaan kita apakah suatu kerja sastra yang dilihat kita percaya atau tidak. singkatnya lagi, misalnya sebuah puisi yang kita katakan in public sebagai puisi yang bagus apakah ia bagus, menurut ukuran pengetahun kita yang pengetahuan kita itu datang dari lingkup sastra dalam negeri atau luar negeri. saat kita percaya suatu pernyataan akan produksi sastra adalah bagus, saat itulah telah bekerja suatu sensor sastra sebagai hasil langsung tak langsung dari sensor besar sastra itu sendiri.

bahwa tak ada yang bisa menjadi acuan tunggal dalam penilaian, itu pasti dan memang tak perlu begitu: tak ada seorang pun yang kuat menghakimi bahasa seorang diri. karena bahasa adalah gabungan dari pengalaman semura orang, dan kita tak akan kuat menjadi representasi semua orang. selalu ada ruang sendiri, ruang yang unik, dan saat ruang sendiri ini yang dimunculkan, maka kita tinggal menatapi ruang yang biasanya unggul ini, setuju atau tidak setuju, indah atau tidak indah.

orang yang berkata di depan publik - orang yang hanya ingin menentang, ingin apriori, belum tentu dalam hatinya mengatakan buruk seperti yang diucapkannya di depan publik. ia digayuti oleh macam macam motif yang kalau kita buka, adalah kekecewaan yang individual sifatnya. artinya: dalam hatinya tetap mengakui kerja sastra yang bagus itu. karena bagus atau buruk itu, akhirnya agak universal sifatnya. menyambar pada tiap orang yang sudah sampai kepada tingkatan tertentu, hasil dari pengalaman, hasil dari pembelajaran.

masih ingat kawan kita mengatakan novel zhivago atau saksispir itu karya yang buruk? itu bukan buruk, tapi datang dari ideologi yang hendak menghamiki kedua orang pengarang dunia itu. sastranya sendiri dalam hatinya akan diakuinya sebagai sastra yang baik. mana buktinya? tengolklah sastra yang dibuatnya sendiri. tak beda atau ada dalam benang merah serupa hamlet atau novel zhivago itu.

apakah kita masih memerlukan ruang budaya minggu? pertanyaannya mengapa kita tidak balik? kita menulis di sana dan menulis di maya. kita uji diri kita di maya dan kita letakkan di minggu sana. minggu sana itu juga ada di sini hehe (ingat kita juga redaktur sama dengan mereka). kita pun membuat sastra dan selalu lolos di tangan mereka. so what? tak what wot hehe. asik asik aja.

yang perlu mungkin kita meningkatkan saling membaca dan saling menulis, kita merayakan sama sama tiap ada pencapaian, seperti saya mencatat tiap ada gejala baru.

dulu di fb hudan hidayat saya menemukan kegemilangan orang seperti deasy nathalia atau dewi maharani. di fb jurnal ini saya menemukan kegimalangan orang seperti cepi sabre dan poncowae lou.

dan kini saya menemukan baik saya sebut empar serangkai saja: mulai dari fuad fuad, lalu rangga umara, yuli, dan kini syaiful alim.

semua itu menjadi catatan di buku kerja saya sebagai orang yang gemar mengamati. kritikus? apa sih itu: krtikus? mana mereka? tak pernah kulihat tuh. di sini dan di luar sana hehe

begitulah kira kiranya - sambil berharap terus kita saling membaca dan menulis - menghilangkan apriori dalam diri untuk merayakan pencapaian dari siapa pun juga, yang tentu saja, nyaman kita merayakannya.

kok? la kita kan manusia biasa saja. kalau kaki dan tangan kita dikitik kitik terus, mana tahan juga kan gya hehehe mari kita kitik kitik masing masing pinggang kita sendiri hihihi

itulah kekiranya cepi sabre - the other rising star dalam sastra mutakhir republik indonesia - yang kukira kuat bertandingan dengan sastra dunia juga (ingatlah saya telah meletakkan gedung bahasamu dengan gedung yang dibangun pengarang peraih nobel - tagore hore hore hehehe)

pratiwi mah hihihi kerjaku dikritik kawan kawanku? bagsus. kelak mereka akan mengikuti kerjaku juga: berlelah lelah tanpa pernah putus dengan bahasa, berhari hari. dan akhirnya menjadi tiang bendera: ditinggal sunyi seorang diri setelah pesta usai.

nah tahan menempuh kesunyian seperti itu? baru ada hak moral untuk mengkritik. kalau tak? ya kita ramai ramai saja senang senang minum kupi hehe

ngupi yuk cepi. ayuk. ayuk capa takyut hehehe
5 jam yang lalu
Cepi Sabre
Cepi Sabre
hehehe ...

tidak, tidak, kyala [bagus sekali kyala itu, artinya apa ya?]. saya pun tidak sedang mengkritik bang hudan. setiap orang berbeda pendekatannya dalam kritik, dan sah saja. hudan menempuh jalan seperti ini. saya rasa kita bisa sama belajar dari catatan bang hudan yang hi ini. tentu orang lain punya metode kritik yang lain. dan kita kyala ... kita tertawa bersama.
5 jam yang lalu
Jurnal Sastratuhan Hudan
Jurnal Sastratuhan Hudan
iya iya saya tahu itu. saya sudah nyambung dengan cepi sudah agak lama juga. asik asik. kyala hehe aku pun bertanya tanya apa ya artinya. kalau yuli aku tahu. karena dulu aku dibesarkan oleh salah satu nama itu waktu aku masih remaja.

romi dan yuli
dua remaja saling mencinta
berjanji sehidup semati... Baca Selengkapnya
kekal abadi oh romi dan yuli
lambang kasih suciiiii

rano karno jadi gubernur
yessi gusman jadi ibu rumah tangga yang artis juga

itulah hidup senyatanya - bahagia dan getir saling menunjukkan mukanya oh hidup ini: gila ya tuhanku kehidupan yang kamu berikan ini. begitu dahsyat tak terpermanaikan. kamu sendiri dari apa sih terbuatnya tuhan tuhanku. aneh sekali dirimu itu. benar benar aneh. takjub saya tuhan. hudan hihihi
5 jam yang lalu
Rangga Umara
Rangga Umara
wawwww bang hudan, wawwww bang hudan yang tak pernah kering...maknyussssss!

hihihi yuli kyala, emm hehe.. yuli yang asik ini kalau ketemu aku pasti dengan gemar debatnya. hehe asoy....

mas cepi, hmm, sedaaaap! mana sini kuteguk lagi gleg gleg gleg...hehehe
5 jam yang lalu · Hapus
Jurnal Sastratuhan Hudan
Jurnal Sastratuhan Hudan
padahal tadi mau nulis lanjutannya. tapi tak apa. seperti kata orang bijak: kata biarkan masak dalam dirinya sendiri. dan waktunya belum masak memasak kata lanjutannya. kita harus ikhlas dengan hal semacam itu, rangga ybegee banget deh neng aku ojo dipanah hehehe arjuna yang mencari cinta hiks
4 jam yang lalu
Yuli Kyala Asykury
Yuli Kyala Asykury
ayo kang digeboy lageeee tarik bang,,, aha aha aha,,,

cepi, aduh,,, kakiku cakiiiit ogah nendang lagi ah,,, hahahehehi
4 jam yang lalu
Jurnal Sastratuhan Hudan
Jurnal Sastratuhan Hudan
sik yo ngumu men ik hehe
4 jam yang lalu
Helena Adriany
Helena Adriany
Bahan pemikiran yang tidak sederhana, guru … terima kasih sudah di tag.

Kedua pola sesungguhnya adalah sempurna.
tulisan 2 yang dimaksud Berthold adalah tulisan yang bisa dinikmati oleh berbagai lapisan. Oleh sebab itu tulisan2 tersebut mendunia, melejit karena bisa dinikmati, dicerna, dikomentari, dianalisa, dijadikan pencerahan atau apapun oleh siapapun dibagian dunia manapun dengan bahasa apapun karena mengemban paradigma yang UNIVERSAL.
... Baca Selengkapnya
Indonesia melahirkan putera-puterinya di tanah yang kaya akan simbol dan memaknainya secara lokal untuk memberikan keagungan terhadap caranya dikomunikasikan.

Tanah Jawa adalah pengguna simbolisme dan metaphor yang cukup aktif. Masyarakat Jawa, yang oleh sebagian mahluk bumi dinyatakan sebagai manusia yang tertutup, pemalu, kenyataannya sesungguhnya adalah masyarakat yang paling terbuka dan romantis abis namun menjunjung tinggi nilai2 komunikasi terbuka dengan cara yang sangat anggun dan eksotis.

Seberapa diantara kita yang mengerti, bahwa kain batik yang dikenakan di pesta2 resmi adat sesungguhnya menyampaikan dengan jelas apa yang sedang ingin disampaikan oleh si pemakai. Sidholuhur, Sidhomukti dll tidak lah tanpa sengaja akan dikenakan oleh orang-orang yang tidak memaksudkan berita simbol2 yang terbatik di kain tersebut.

Seberapa banyak keluarga dari masyarakat yang paling terbuka sekalipun didunia ini yang dengan sengaja menggelar acara resmi yang memberitakan ‘HAID’ pertama puteri mereka, dimana didalam upacara itu hanya simbol2 yang bermain, dan rangkaian acara hanya mengandung pesan2 dan harapan2 tertentu baik terhadap sang puteri (yang mungkin bahkan tidak kasat mata oleh orang yang tidak punya kemampuan bahasa busana) maupun terhadap masyarakat sekitar. Ini dilakukan oleh masyarakat Jawa yang masih menjunjung nilai2 luhur mereka.

Tanpa informasi ataupun prolog atau kata pengantar, semua simbolisasi hanya menjadi agung bagi segelintir orang yang mengerti. Sementara yang lain hanya akan melihatnya sebagai suatu seremonial yang indah tanpa pernah mengerti hakekatnya yang sangat agung, pesan2 terselubung, yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang memiliki wacana dan wawasan yang setara.

Demikianlah aku memandang pesan dari Berthold dan guru, … apa yang tidak dimengerti bukan berarti tidak bernilai, tapi bila kita ingin nilai-nilai itu dimengerti dengan lebih luas, maka biarlah nilai-nilai itu disampaikan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh lingkup yang lebih luas. Namun, bila kita ingin tetap mempertahankan simbol2 ataupun metaphor2, kita tetap dapat membuatnya dimengerti dalam kancah yang lebih luas yaitu dengan menginformasikannya … dan kita bisa memberikan pencerahan baru melalui bahasa2 simbolik yang seringkali sangat eksotis ….....

byuuh I luv Indonesia … I luv batik … I luv symbol … but I luv understanding …... luv you too, guru ... terima kasih untuk bahan perenungannya ...
2 jam yang lalu
Indi Saragi
Indi Saragi
boleh di kopi gak ke blog? apresiasi saya egosentris sekali ya. habis gimana lagi yah. saya sulit komentar. hanya senandungkan bersama sang guitar. biarkan masak dalam dirinya sendiri. biar dia mati bunuh diri, seperti romi untuk julia. bagus deh.
8 menit yang lalu
Tulis komentar...
Dalam catatan ini
Syaiful Alim
Catatan|Catatan Tentang
Rangga Umara
Catatan|Catatan Tentang
(hapus tanda)
Berthold Damshäuser
Asep Saefumillah
Priatna Ahmad Budiman
Catatan|Catatan Tentang
Dian A. Hak
Renny Re-Chan Rumhil
Ratna Munawarah
Muhammad Taufan
Catatan|Catatan Tentang
Iwan Kurniawan
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahmad Khamal Abdullah
Iman Sugema
Fadjroel Rachman
Kristologi Logi
Ken Arok
Penerbit Kakilangit Kencana
Catatan|Catatan Tentang
Eko Endarmoko
Suwung Lanang
Lanang Sawah
Cepi Sabre
Catatan|Catatan Tentang
Rama Prabu
Catatan|Catatan Tentang
Bagas Dwi Bawono
Indi Saragi
Yuli Kyala Asykury
Catatan|Catatan Tentang
Helena Adriany
Catatan|Catatan Tentang
Ernita Dietjeria
Yeni Ratna
Angga Teguh Hardani
Catatan|Catatan Tentang
Anita Rachmad