Sunday, July 21, 2019

LATEG

Gema Yuda, teman saya yang tinggal di semarang, dia memberitahu saya via sms, kalau mau ke tegal, keluar saja dari terminal semarang dan menunggu di luar, biar aman dari calo-calo.

dengan kepala pening, dan jalan sempoyongan, akhirnya saya berjalan seperti pengembara. Sesekali memgangi kepala, dan menyeka kringat dingin yang membasahi pipi dan leher. saya terus berjalan menyusuri jalan keluar terminal yg penuh lobang di sana sini, berpuluh-puluh meter bahkan ratusan meter jarak jauh dari terminal menuju jalan raya di luar terminal. tiba di persimpangan, ternyata benar kata Gema, di sini banyak orang menunggu bus dengan berbagai jurusan. Akhirnya, saya naik bus ekonomi menuju tegal.  Tak ada pilihan lain, bus ber AC semua penuh, mungkin juga tak mau menaikkan penumpang di luar terminal.

Untung. kali ini nasib saya cukup beruntung, masih ada satu dua kursi yang masi tersisa. Bus bobrok ini melaju terus melaju. Bau asam kringat penumpang segera menyergap menyesaki hidung. Berkali-kali bus ini berhenti menaikkan penumpang, namanya bus ekonomi, berbagai model penumpang naik, tak perduli mereka berdiri tanpa kursi, kondektur rakus bus ini terus saja bertriak-triak bagai panglima perang menghalau pasukan. Duh, mungkin penumpang yang lain tak setersiksa saya yang dengan fisik labil. panas dan pengap yang tersasa. udara  masuk dari kaca jendela yang menganga tak mampu mengusir panas di dalam bus bobrok ini. suara jerit tangis anak kecil tiba-tiba terdengar memekakkan, sementara sang ibu sibuk mengipas-ngipasi dengan kipas yang terbuat dari kardus. Nenek yang duduk di sebelah saya anteng-anteng saja sambil mejejalkan sirih dan tembakau ke mulutnya. ''tyang pundi, lee'', tanyanya. ''kte tegal, mak'', jawabku dengan kosa kata jawa yang sangat terbatas.

Berjam-jam berlalu. Bus terus saja melaju. entah berapa lama lagi saya harus berada dalam siksaan bus tua ini? Tubuh letih luar biasa, tiba-tiba bus berhenti di tengah jalan. kondektur bus memberitahukan, bahwa semua penumpang terpaksa harus turun untuk di pindahkan ke bus lain karena bus ini mogok. Kami turun. jalan ini sangat sepi. Sejauh mata memandang yang tampak hanya hutan dan pohon-pohon besar. Hanya ada warung kecil dan bengkel tambal ban.

''tegal masih jauh'', kata Riska, perempuan asli tegal yang kuliah kedokteran di Jogja, ''kalau bus ini tidak mogok, kira-kira usai maghrib baru nyampek tegal'', lanjutnya.

Saya dan Riska duduk di warung kecil milik Ibu Aminah. anak laki-laki kecil Bu Aminah begitu cekatan melayani kami yang memesan Es teh manis dan sebotol aqua. Riska adalah perempuan tangguh, ternyata dia biasa naik bus ekonomi seperti ini. ''perjalanan ini belum apa-apa dibanding ganasnya hidup yang akan kita jalani ke depan'', kata-katanya lebih bijak dari Mario Teguh. Detik berlalu, menit-menit pun entah kemana? jam di ponsel menunjukkan pukul 16:15, bus yang dijanjikan kondektur belum juga menampakkan diri. ''sabar, bentar lagi juga datang'', ucap kondektur berkali-kali. saya lihat muka-muka masam tergambar di wajah para penumpang lain. Ada yang mengumpat, ada yang dudk mencangku di tepi jalan, ada yang sibuk mengganti celana anaknya. Kami seperti damparan para pencari suaka di negara lain.

Yazid Musyafa, teman saya di tegal melalui sms berkali-kali menanyakan saya sudah sampai di mana? ''Jangan lupa, sampai di tegal nanti, mas harus mampir ke rumahku. Nanti kubuatin kopi ala tegal'' ajak Riska sambil tersenyum.

Thursday, May 9, 2019

Kasti Tua

namamulah memberi catatan panjang dalam hidupku. sebelum lahir pun, aku menyebutnya keindahan yang tertunda.

musim-musim tak terduga
Takdir seperti angin tak terlihat
Aku berlelah-lelah melayarkan harapan di musim gugur

di sana debur-debur bernyanyi, mengiringi kapal-kapal tanpa nahkoda
adalah ketika menujumu begitu jauh: hanya namaku, hanya namamu

mendekap sunyi paling beku di sebuah kastil tua

Namun kini hanya ada penanda: kreta tua dan penarik biola

Thursday, July 26, 2018

Cenayang

catatan di ponselku:
Derak pagar terdengar cukup miris. Di mana anak ibu ini berada sekarang? Kuinjak pedal gas pelan-pelan dan memastikan semua kaca tertutup rapat. Debu-debu jalan berhamburan Bagai laron. Aku sendiri. Yah sendiri. Terik kota seolah melehkan tubuhku. Di manakah ini? Aku sbagai amnesia tak berdosa menyusri jalan-jalan tanpa nama, tanpa gang, pembatas dsb. Hey, ini dia! yah, warung kecil ini tempatku dulu minum kopi. kutepikan mobilku, namun tiba-tiba tubuhku gemetar, gemetar terus gemetar. Apa yang terjadi? para cenayang sedang berpesta dengan kekasihnya masing-masing. kuraih pistol yang tergeletak di jok sebelah dengan tangan gemetar. Inilah sisi gelapku? Tidak! Jangan bawa aku ke duniamu. Jangan benam aku dilembahmu! Biarkan mereka tertawa sekaligus dengan tangisnya sendiri. Masih dengan tubuh gemetar, mobilku melaju lebih cepat. tak kuhiraukan apa kulihat dan kudengar diluar sana. di benakku masih tertanan wajah-wajah para cnayang tadi. seluruh tubuh basah oleh keringat yang terus tumbuh dari lubang pori-pori.
Tibalah kali ini di sebuah tikungan kelapa dua, di depan sana berjejr orang-orang berpakain serupa. seseorang melambai-lambakan tangannya memintaku untuk berhenti.

''Selamat siang, pak.''

''Siang''

''kenapa bapak mengendarai sambil memegang senjata? Tolong surat-suratnya sekaligus surat ijin senjata anda''. Pinta polisi berkumis tebal tanpa menunggu jawabanku.

Sejenak ku menoleh ke jok belakang mencari di mana ransel kecil tempat menyimpan barang-barangku.

Astaghfirulloh... Tasku ternyata tertinggal di tempatku menginap.

Tuesday, May 17, 2016

PERTEMUAN TERAKHIR

Add caption
''oh Tuhan...'' Jeritku. Sebuah sedan biru metalik berdecit lalu menghantam bagian belakang truk yang sedang parkir di jl. Tegalega.
Suara dentum menggelegar. aku segera berlari mendekati kejadian. Begitu juga orang-orang. Sebentar saja sudah berkrumun. sepasang lelaki dan perempuan berlumuran darah, dari kepala wajah, bahkan hampir seluruh tubuhnya. Samar-samar aku seperti ingat wajah si perempuannya, tapi entah siapa dan di mana aku mengenalnya. Lagian waktu masih pagi buta dan darah yang menutupi hamper seluruh wajahnya.
Pagi masih lengang. Kendaraan tak begitu banyak melintasi jalan tegalega pada pukul 04 pagi. Polisi tak juga datang. kubopong dua pengendara sedan malang itu secara bergantian dibantu dua lelaki dan satu ibu-ibu ke dalam angkot cicadas gedebage menuju rumah sakit. 5menit kemudian kami sampai di UGD immanuel. Petugas rumah sakit sibuk membawa rmeja roda berisi peralatan medis, lalu memasang alat oksigen dan selang infus di tubuh lelaki dan perempuan malang itu. Aku masih berdiri geming menatap keduanya.
''Anda keluarganya?'' tanya seorang dokter.
''bukan. Tadi, pagi sekali aku mau cek barang di pasar, kebetulan di jalan melihat kejadian ini''
''lalu bagaimana ini? Mereka sangat kritis, harus diambil tindakan intensif'' lanjut dokter.
Aku bingung. Tapi nyawa lebih dari segalanya yang harus diselamatkan. lelakinya kejang-kejang dan nafasnya tersengal. Berbeda dengan perempuannya yang terkulai diam. Nafasnya perlahan seperti hanya detak jantung saja yang tertinggal. beberapa perawat sedang membalut luka-luka dan membersihkan darah yang membajiri wajah mereka.
''anggap saja aku keluarga mereka. Aku yang bertanggung jawab semua biaya mereka dok''
Dokter mengangguk dan menulis secarik kertas resep.
''tolong beli 2 penyangga leher di apotek depan.''
tanpa babibu aku ambil kertas resep itu lalu meluncur mencari apotik rumah sakit. apesnya, petugas apotek bilang kalau ukuran penyangga itu satunya lagi kosong. Petugas menyarankan ke apotek lain. Dengan sepeda motor aku muter-muter mencari apotik sambil mengingat ingat siapa perempuan itu. Kenapa dia seperti aku kenal dekat, bahkan sangat dekat. Di beberapa apotik pun tidak ada ukuran penyangga yang dimaksud sampai akhirnya beberapa jam berlalu aku mendapatkannya di RS Hasan sadikin.
Cepat-cepat aku memacu motorku kembali menuju RS Immanuel. Sampai immanuel aku langsung menuju ruang UGD. Tapi tak kutemukan mereka. seorang suster tergopoh-gopoh menghampiriku dan memberi tahu kalau laki-laki yang belum kuketahui namanya itu telah tiada. Dia kembali kepada sang Esa dengan tenang. (Innalillah wainna ilahi rojiun) Sedang perempuannya berada di ruang ICU. Setelah menyerahkan kantong plastik berisi dua penyagga leher pada suster, aku duduk di ruang tunggu ICU. Beberapa menit kemudian seorang suster kembali menghamipriku lalu menyerahkan sebauh dompet kulit hitam dengan bercak darah kepadaku. ''ini kami temukan di pakain bapak yang meninggal'' katanya sebelum ahkirnya berlalu. Perlahan kubuka. Beberapa uang ratusan dan limapuluhan ribu terselip rapih. Kemudian kutemukan lagi KTP atas nama Prastyo Samapta. Lalu sebuah kartu nama berlogo salahsatu Bank, atas nama Bintang Larasati, dan tertempel pas poto 2x3. Meliahat nama dan foto di kartu itu aku tersentak. Ribuan petir menghantamku. Jantungku berdetak kencang seolah puluhan gunung mengganjal di dada. Kringat dingin mebasahi tubuh. Begitu juga darahku, berdesir mengaliri seluruh sendi-sendi yang lemah. Aku tak berdaya. Tubuhku lemas seolah otot dan syarafku tak mampu lagi menggerakkan tubuhku. Aku benar-benar terpukul menghadapi kenyataan ini. Tuhan, kenapa semua ini bisa terjadi. Dunia ini begitu kecil rasanya. Tuhan, aku hanya ingin dia bahagia. Bahkan aku sanggup berkorban apa pun demi kebahagiaannya. Lalu, bagaimana dia menghadapi kenyataan ini, setelah tahu bahwa suaminya telah tiada. Dia pasti sangat terluka. Padahal Kau kirim laki-laki untuk kebahagiaannya, Tuhan. setelah sekian lama ia terluka, Kau pertemukan dia dengan seseorang sebagai pengobat lukanya, dan dia bahagia. Namun kini Kau mengambilnya kembali. .
''Krak'' seorang dokter keluar dari ruang ICU. setengah berlari aku menghampirinya dan bertanya bagaimana keadaan perempuan itu. Bagaimana keadaan Bintang?
''tenang, Mas. Dia sudah siuman. Tapi saat ini dia sedang tidur. Saya udah berikan suntikan penenang untuknya. 30 menit lagi mas boleh menemuinya'' Kemudian dokter itu pergi. Aku kembali ke kusri tunggu dengan tubuh lesu dan cemas. Sambil menunggu 30 menit aku coba menghubungi nomor yang tertera di kartu nama bintang. tapi tidak ada yang mengangkat. Begitu juga dengan nomor poselnya. Usaha terakhir hanya bisa via sms. Namun tetap tak ada balasan.
30 menit berlalu sangat lambat, meski tiba pula. Satpam penjaga memperbolehkan aku masuk ke kamar ICU. Dengan cepat namun hati-hati aku masuk. Kemudian akulihat sosok perempuan terbaring lemas di atas ranjang besi dan selembar kasur tebal yang sedikit melengkung. Kali ini tubuhnya bersih berbalut kain hijau. Hanya sebuah perban menepel di bagian lengan dan kepala. selang oksigen tertanam di hidung. jarum selang menancap di tangan, juga beberapa selang lain yang tak aku kenal namanya menempel di tubuhnya. Bibirnya terkatup, begitu dengan matanya. Nafasnya mengalir teratur. Dia masih tertidur.
Bintang, kamu masih seindah dulu. Kamu masih secantik dulu. Bertahun-tahun kita terpisah, sekali bertemu kamu dalam keadaan seperti ini. perlahan aku duduk di sampingnya sambil menatap lekat wajahnya. Wajah yang tak asing lagi di benakku. Wajah ceria dan mata teduh simbol keindahan ciptaan tuhan yang sempurna. Rambutnya terurai hitam. ingat waktu itu, aku minta ijin meng-uplod potonya yang tanpa hijab, tapi dia melarang dengan berkata ''apa kamu rela orang lain meilihatku tanpa krudung? Rambutku hanya boleh dilihat sama kamu''.
Cincin itu! Cincin perak yang pernah aku beli di mall ci bubur dulu masih ia kenakan di jari manisnya. Bagaimana mungkin dia masih mengenakan itu, sedang dia telah bersuami? Ingin sekali memeluknya, menyeka rambut indahnya, namun aku tak memiliki keberanian untuk itu. Dia sudah milik orang lain.

Sunday, September 27, 2015

PU-ISI


Inilah tanahku, puisi
Di tengah erangan jalan dan lampu-lampu kota
Debu-debu beterbangan
Menembus wajah kecil di persimpangan

Darah mengalir bagai erupsi
Jiwaku dingin menenggak kecemasan yang kau Tinggalkan, puisi

Tiada bara di mataku seperti yang kau sangsikan
Rel-rel kretamu jauh menusuk hutan-hutan
Gerbong-gerbong berbaris menakutkan
Kau dan aku melangkah lebih cepat dari tuhan

Tuhan membangunmu seperti kastil di Kepalaku,
Di mataku, di dadaku,
Bahkan di tulangku.

Musafir-musafir berlari berebut air
Ketika kata meregang dan terkubur

Kau tanpa luka.
Luka mengering di daun-daun
Katamu pusaka
Sungai tertawa mengenaskan di bibir samudera
Aku menjaring surga bertahun-tahun meski bersama kutukanmu.

Bahkan kau tak pernah mati, atau tiada
Karena cinta takkan membunuh apa-apa

Bandung, 20/02/14

UAKNGE

Inilah engkau matahari dalam pertapaanku
Tongkat-tongkat yang hilang melepas pijakan menuju surga
Yang pernah kita buat sebagai persinggahan
bara itu tak pernah padam mengalir di wajahmu menjadi lautan, lautan dimana bidadari bersemayam.
Di sini aku seperti malaikat terbuang, melukis wajahmu dengan tetesan darah yang tercabut dari jantungku
engkau tajam menatapku tidak mengerti bagaimana cara membunuhku

sekali saja lihatlah mataku yang tanpa dendam
Harihariku lebih fana dari mimpi
Tanpamu dunia ini bukan apaapa
aku tak ingin apaapa sebelum tuhan memanggilku
Aku ingin terbaring dengan lukisan ini yang tumbuh menjadi sayap di punggungku.

Tuhan tak pernah mengajari apaapa melebihi keabadianmu
Tuhan tak pernah memberi alasan apaapa atas kepergianmu

14Juli2015mdr

Friday, March 28, 2014

Pagi Ini Aku Pergi

pagi sekali aku segera berkemas, memasukkan semua baju-baju, laptop, dan barang-barang kecil lainnya ke dalam tas ranselku. Sejenak kuamati seluruh sudut kamar, semua seperti biasa, hanya terlihat beberapa plastic kresek putih terserak begitu saja di bawah meja. Aku melangkah dari tempat tidurku menuju kursi dan meja tempatku selama ini menulis, net-an, dll, untuk singgah sekalilagi sebelum akhirnya meninggalkannya. Berat sekali rasanya meninggalkan tempat ini walau setiap malam seluruh tubuhku harus beraroma Autan, agar darahku tak habis dihisap oleh nyamuk-nyamuk yang sepertinya sangat mencintaiku. namun aku bahagia di sini.

Alarm ponsel berdenting tuk kesekian kali, kali ini ia berbunyi pada settingan pukul 06 pagi, sengaja ku set berulang berharap jika di alrm pertama aku masih terlelap, maka di alarm berikutnya akan terbangun. Nyatanya, semalam penuh aku hanya bisa tertdur tak lebih dari satu jam. Ntah kenapa.

Sekali lagi kucoba menghubungi seseorang yang sudah janji akan menemuiku pagi-pagi sekali di sebuah tempat ,di dekat masjid, yang aku lupa namanya. lagi-lagi tak ada yang mengangkat poselnya. Sambil menunggu pukul 06:30, aku ambil kembali laptop yang telah kumasukkan ke dalam ransel, dan menulis sekenanya

: Pagi ini aku harus pergi, meninggalkan kamar ini, meninggalkan jalan-jalan yang tiap hari ku lewati, meninggalkan tawamu, cloteh manjamu, bahkan meninggalkan semua pertemuan yang biasa. Setelah aku pergi, aku titip satu saja padamu; jangan lupakan aku. Oh iya, aku akan selalu ingat yang kemarin; kita duduk di kursi yang sama, sambil main gitar dan bernyanyi bersama pula. Betapa lembut suaramu, ketika menyanyikanlagu  ‘Matahariku’, lagu yang pernah di populerkan oleh Agnes Mnica itu. kau terus bernyanyi sambil menatapku yang masih berdarah-darah untuk menemukan Chord yang pas. Sesekali kita terpingkal ketika aku salah memainkan gitar, dan saat itu pula beberapa cubitan kecilmu mendarat di tubuhku. Lalu sebuah gerimis datang menyapa kita yang semakin lama merubah namanya menjadi hujan. Kita bingung, kemana kita harus berteduh? Namun akhirnya sebuah pohon rindang menjadi alternatif terakhir sebagai pelindung tubuh kita dari guyuran hujan yang sebetulnya tak begitu deras.

Tak terasa ada butiran hangat bergulir di pipiku, kemudian menetes satu-satu di keyboard laptopku. Ternyata aku cengeng sekali pagi ini, pikirku. Aku menangis saat aku tak ingin mengeluarkan airmata untuk siapa pun. ketika kecilku dulu, Ayahku berkata, “Nak, sepulang ayah nanti, ada sepeda baru untukmu.” Aku tahu,  itu hanya alasan Ayah agar aku tidak bersedih, sebelum beliau pergi jauh dalam beberapa waktu yang sangat lama. Nyatanya aku tetap sedih, namun tak ada sedikit pun air mata saat itu. tak seperti saat ini.
Pagi ini aku pergi, sayang…

23 Maret 2011 pukul 14:45