Thursday, September 30, 2010

Surat Terakhir II

Dadaku makin merah
Mencium aroma tanah
Dimana namamu pernah
menyesaki kamarku

Ketika itu aku ingin berdiri paling tinggi
di antara warna kesukaanmu.
Dan kau yang paling pandai
mengecilkan tubuhmu
daripada namamu
*****
musimmusim segera pergi
tangan-tangan akan dikremasi
kita diam pada setiap kepulangan
karena hanya itu yang bisa dilakukan
untuk tak membaca takdir sebagai kutukan

Tanpa diduga
Nama kita hilang dengan sendirinyaa
Tak seperti lembar suratmu
Yang kini masih ada

“kau lekas mengakhiri sebelum
satu usaha pun kau lakukan,”
Katamu dilembar  terakhir suratmu.


“lihatlah, aku tetap berdiri di sini walau
Hari-hari  menjelma lembah sekarat di wajahku,”
jawabku.

Bandung, 01 Okt 2010

Sunday, September 26, 2010

Jeritan Anak Malang

Nyanyikan lagu nina bobo yang paling merdu,ma
Kenapa diam,
Suaramu telah kering ya,ma?
Kamu masih seperti dulu,ma
Tetap tersenyum
Walau ribuan luka sering bermalam di balik dadamu
Masih memasak buat ayah, walau tahu ayah tak akan pulang

“Tuhan tidak adil ya,ma?”
“Tuhan sangat adil, nak…”
“Kenapa menukar senyum kita dengan air mata?”
“Kenapa aku harus menangis setiap pagi karena ayah tak pulang?”

“Sudahlah, jangan menangis lagi.
Tuhan memberi kita waktu untuk menangis lebih banyak
agar kita mengerti nikmatnya tawa.
Tuhan memberi  kita waktu untuk belajar pada kehilangan
agar kita tahu apa arti kebersamaan.”

Nyanyikan lagu nina bobo yang paling merdu, ma.
Aku mau tidur

“tidurlah yang lelap, siapa tahu besok ayahmu pulang.”

Malam telah mati
Aku terus bernyanyi
Pergilah pergi
Di sini aku sendiri
Menyulam sepi
Bersama sunyi
Yang menemani

Tidur, tidurlah...
Lelap lelaplah, anakku
Nikmati mentari esok
Lebih pagi

Kota tua, 27 Sep 2010


Saturday, September 25, 2010

Backpacker Lokal: ke Candi Cetho, Ngawi


Malam itu aku tiba di perkampungan yang sangat tenang, damai… dan menyenangkan. “Silahkan istirahat di kamar ini ya,mas? kata Kang Arif, sambil menunjuk kamar tengah rumahnya. Dengan bismillah aku masuk ke kamar yang kira-kira berukuran 3x4 meter persegi itu. Tiba-tiba mataku terbelalak melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. “Astghfirullah… benda-benda kuno yang mungkin usianya lebih tua dari kakekku, aku lihat di rumah seorang penyair yang multi talent ini. Sungguh menakjubkan! Ada berbagai benda antik yang terpajang. Mulai dari tombak, ruyung, keris, dan sampai yang tak kukenal namanya. Hehe Kang Arif kayak panglima perang jaman Majapahit aja. apa memang Kang Arif punya hubungan genetic dengan patih Gajah Mada ya? Pikirku.



Teman, kita tinggalkan dulu cerita semalam.

Di paruh siang aku dan kang Arif berkemas ingin segera berangkat ke Candi Cetho, yang terlaetak di gunung Lawu. Kalian tahu kan? Kalau belum, ayo ikut aku. Ehya, hampir lupa, semalam aku menghubungi Lina Kelana, Pakdhe Hardho Sayoko, dan Mas Karebet, untuk ikut serta ke Candi Cetho.



“Jangan kencang-kencang menjalankan motornya ya?” Pesan Pakdhe Hardho, sebelum berangkat. Dengan berbekal sepeda motor dan kamera akhirnya kami berangkat bergaya backpacker profesioanal. Tapi memang keren lho! Hehe

Kami terus memacu kendaraan dengan kecepatan sedang: 60km/jam. Di kanan kiri jalan membentang persawahan luas. Ada beberapa petani yang sibuk memanen hasil kerja kerasnya yang selama ini mereka lakoni dengan keringat namun dijalani dengan ikhlas demi bekal makan keluarga yang entah bisa cukup sampai beberapa bulan? Namun sabar dan ikhlas adalah senjata paling jitu untuk mereka tetap bertahan hidup, atau survive istilah kerennya. Gunung lawu terlihat samar-samar bagai seonggok batu berwarna abu kehitaman. selang waktu kira-kira 1jam lama perjalanan, angin bertiup semakin dingin menerpa dan menusuk sampai tulang-tulangku. Rupanya awan kelabu telah menutup sinar matahari yang semestinya mengahangatkan. Gigi motor hanya berkisar antar dua dan satu karena jalan mulai menanjak tinggi dan jauh. Kali ini kami harus mengurangi kecepatan dan harus pandai-pandai bermanover, kalau tidak, tebing gunung yang curam dan dalam akan melahap tubuh kami tanpa sisa, sebab jalan yang berkelok tajam kadang tiba-tiba ada di depan kami tanpa diduga. Seringkali aku, Kang Arif,dan Lina, harus menghentikan motor di jalan yang cukup datar dan paling strategis untuk berhenti. menunggu Mas Karebet yang tertinggal jauh, karena motornya kurang gesit ditindih dua orang yang cukup besar menurut ukuran orang dewasa: Mas Karebet dan Pakdhe Hardho.

Momen itu selalu kami gunakan untuk menjeprat-jepretkan kamera yang gak seberapa harganya. Yang penting happy. Kami bergaya cover boy dan cover girl yang kejar job. Backgroundnya tak kalah indah; tebing gunung lawu yang terjal, tinggi dan menghijau. ditambah beberapa pepohonan yang tumbuh di tepi-tepi jalan melukiskan suatu yang tak dapat terlukiskan keindahannya. Mungkin gunung Lawu tak sepopuler gunung Einger, meru, atau gunung shivling yang terletak di utara india bagian puncak pegunungan Himalaya, tapi keindahan gunung Lawu tak kalah dari beberapa gunung tersebut. Hanya saja tempatnya agak jauh dari perkotaan. Ya, namanya saja gunung! :)

Angin tipis lagi-lagi berhembus menemani perjalanan kami. Ughhh ternyata lelah juga ya? Tapi menyenangkan. Lihat teman, ya, lihatlah ;sungguh pemandangan yang indahhhh… ternyata langit yang tadi menghitam, kini mulai berangsur cerah dan biru. Jauh di bawah sana tampak rumah-rumah kecil sekali, seperti ukuran jempol kaki. Di tengah perumahan terbentang jalan yang mungkin adalah jalan raya kota Ngawi. Jika aku horizontalkan pandangan, maka yang mendominasi penglihatan adalah birunya langit dan putihnya awan yang berarak. Yuhuuuu very nice. Rupanya kami sudah berada pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.

“kita sarapan dulu yuk?” ajak Kang Arif, setelah memarkir sepeda motor sebentar. “hahaha ini sudah sore tau! Kok ngajak sarapan?” jawab Lina Kelana disertai tawanya yang khas Babat, sambil melayangkan tinjunya ke bahu Kang Arif. Tapi tinju itu adalah tinju kasih sayang, sedikitpun takkan membuat Kang Arif meringis kesakitan. Karena diam-diam mereka sama-sama menaruh rasa. Benarkah? Lihat saja nanti. Hehe.

Seusai makan seadanya di warung yang tak begitu mewah, kami berlima mulai menapaki tangga-demi tangga Candi Cetho. Di sana sini orang-orang tarlihat dengan aktivitas yang berbeda. Ada yang berpose di depan kamera dengan gaya masing-masing. Ada yang sekedar dudu-duduk dengan temannya di pinggir Candi sambil ngobrol sesuatu yang tak kumengerti. Sebagian ada yang hanya jalan-jalan kesana- kemari sekedar menyaksikan keindahan arca-arca bisu terbuat dari batu. Sisa pemujaan ada di sana sini.

Pada tepi barat Candi, di halaman yang cukup luas tampak rombongan yang berpakaian semacam sekte, berjalan menuju gerbang luar.

Ah, biar saja lah mereka. Kita terus naik keatas yuk?

Setiba di candi paling atas, kami disambut oleh Dewi Saraswati dengan senyum paling manis.

Di sebelah kiri arah patung Dewi Saraswati berdiri, ada sebuah kulah yang airnya sangat jernih dan dinginnya hampir menyamai dinginnya es batu. Konon, kulah itu adalah tempat pemandian seorang putri. (entah aku tidak tahu detailnya).



Jakarta, 25 Sep 2010

Thursday, September 23, 2010

Kapal Ferry, Kamal dan Tanjung Perak


 Ini adalah salahsatu gambar kapal ferry yang beroprasi di penyebrangan antara Tanjung Perak dan Kamal Madura. Jarak tempuh antara Tanjung perak ke Kamal Madura, lebih kurang, 5km. (riset amatir) hehe

Dulu ketika kecil aku ingin sekali menaikinya anggap saja seperti sekarang ingin naik kapal pesiar lah, kurang lebih. Setiap Ayah mau keluar pulau, aku selalu merengek ingin ikut, tapi entah apa alasannya niatku itu selalu terpatahkan dengan iming-iming Ayah,” Nak, nanti kalau Ayah pulang, Ayah belikan mubil-mubilan yang bisa jalan sendiri”. Ya! walau kecewa tapi setidaknya aku akan memiliki mubil-mobilan bagus sepulang Ayah. Karena selama ini aku hanya punya mobil-mobilan yang terbuat dari kayu dan empat bannya terbuat dari sandal bekas yang di buatkan pamanku. Hehe menyedihkan

Hingga akhirnya pada satu waktu kalau gak salah aku masih kelas 5 SD, dan kelas 5 Ibtida’iyah, aku dan teman-teman sekolah Ibtida’iyah diajak Guru Bantu (GT) ikut ramai-ramai ke kampung asalnya Pasuruan.

Dih! Ada kisah menarik saat malam menjelang keberangkatan kami ke Pasuruan, kami dan teman-teman tidak tidur semalaman lho! Aku sendiri membayangkan, bagaimana ya rasanya naik kapal, naik bus, yang selama ini hanya melintas disetiap mimpi indahku?

Sesampainya diatas kapal, aku dan teman-teman muter-muter mengelilingi kapal sampai kepojok paling ujung sekalipun. Disana aku berpikir dengan porsi pikiranku yang masih kecil, :kok bisa ya kapal ini membawa puluhan kendaraan seperti bus,truk,sepeda motor dll? Huh, dasar orang kampong! Hehe

Sekitar 15 menit kapal ferry akan segera merapat ke dermaga tanjung perak, suara adzan mulai terdengar, warna senja tlah terbenam di laut barat. Kulihat di tengah laut banyak lampu-lampu beberapa kapal kejap-kejap dengan begitu indahnya. Di tepi kapal kusaksikan muda-mudi sedang asyik bercanda dengan pasangannya masing masing. Ada juga anak kecil berteriak sambil tertawa riang setelah minta diangkat oleh Ayahnya. Di tepi barat Dermaga kapal Pelni dengan gagah dan megahnya sedang sandara menunggu jadwal keberangkatannya. Duh, pokoknya saat itu happy habis deh. Tak ingin rasanya cepat-cepat sampai ke dermaga. Tapi harus bagaimana lagi, wong bukan aku yang punya kapal?

Kalau sekarang kapal ferry penyebrangan Tanjung perak dan Kamal Madura, sudah berubah lebih bagus dan indah. Lihat saja, di pintu masuk ada dua cewewk cantik yang selalu menyambut. Dari dalam kapal kita bias melihat banyak pemandangan yang indah-indah seperti jembatan SURAMADU yang  panjang membentang,




dan kita dapat melihat MONUMEN JALESVEVA JAYAMAHE.

Yang paling senang adalah melihat dan sekaligus masuk ke monumen JALESVEVA JAYAMAHE. Monumen ini terletak di ujung Utara Surabaya (Tanjung Perak), terdiri dari patung setinggi 30,6 meter, berdiri tegak di atas gedung kokoh setinggi 30 meter. Jadi monumen iniketinggiannya 60,5 m.

Patung ini menggambarkan seorang Perwira TNI Angkatan Laut (kolonel) lengkap dengan pedang kehormatannya, berdiri tegak menatap ke arah laut dengan penuh keyakinan dan kesungguhan siap menerjang ombak dan menempuh badai menuju arah yang telah ditunjukkan yaitu cita-cita bangsa Indonesia.


Jakarta, 24 Sep 2010

PUTRI


P] penantian kita
      entah bermalam dimana?
      tak pernah tiba

U] untuk kesekian kali
      ku telan musim-musim
      yang membawa tubuhmu
      makin tiada

T] tunailah pengasingan ini.
     namun aku tersenyum
      jika kita masih menganggap
      ketiadaan ini adalah kutukan
      paling laknat

R] rumah tempat kita dulu melunasi
      resah sebelum tidur
      kini semakin kumuh, tanpa nama.
      tak mungkin lagi memulai di waktu
      paling akhir

I]  indah lagumu, putri
     
     katakan aku akan datang
     biar waktu mulai berakhir
     biar langit telah sunyi
     aku takkan lelah bermimpi
     bersamamu
     sampai nafas ini terhenti

     
     aku akan datang


Jakarta, 23 Sep 2010

Saturday, September 18, 2010

Apakah Tuhan itu Ada ?

Mario Teguh Super Note - THE MAN WHO CAN TALK TO FIRE - and his friend, Jurgen.

Oleh: Mario Teguh


Saat saya kuliah di Indiana University untuk mendapatkan MBA dalam business management, saya pergi ke sebuah tempat camping dan peristirahatan di White Water, di negara bagian Wisconsin, bersama belasan rekan sesama mahasiswa yang berasal dari berbagai bidang studi.

Ada seorang rekan mahasiswa S3 dari Jerman yang belajar Quantum Physics. Dia seorang ilmuwan yang super cerdas dan setia kepada logika yang akurat.

Suatu ketika dia melihat saya sembahyang Maghrib. Dia menunggu saya selesai, dan langsung mengatakan: Mario, I never knew that you were primitive. Saya tidak pernah menduga bahwa kamu masih primitif.

Mengapa?, tanya saya.

Dan dia menjelaskan bahwa orang-orang primitif di jaman dulu juga berdoa seperti saya.

Apakah dengan primitif, berarti saya salah?, terus saya.

Dia kemudian menjelaskan dengan logikanya, bahwa perilaku berdoa kepada sesuatu yang tidak ada untuk mengharapkan keajaiban, adalah perilaku orang-orang primitif, yang tidak mampu berpikir dengan logika yang jernih, dan yang tidak berilmu.

Lalu, dengan sikap yang menghormati kekuatan logikanya, saya bertanya: Apa yang membuatmu demikian yakin bahwa Tuhan tidak ada?

Dia menjawab dengan cool; Tuhan tidak ada, karena Tuhan tidak bisa dideteksi dan diukur. Jika kita bisa mendeteksi dan mengukur keberadaan fisik Tuhan, maka kita bukan hanya yakin – tetapi bahkan TAHU bahwa Tuhan ada.

Emmm … saya membiarkan beberapa jenak berlalu dengan santun, sebelum saya membuka langkah pengujian saya terhadap logika rekan saya ini;

Jurgen, demikian namanya, jadi kamu akan menerima keberadaan sesuatu yang bisa dideteksi dan diukur, dan jika tidak - maka kamu menolak keberadaannya, bukankah begitu?

Of course!, dengan gaya bijak yang mungkin ditirunya dari salah satu profesornya.

Lalu saya teruskan, apakah ada hal-hal yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya, karena belum ada alat deteksi dan alat ukur-nya?

Dia menjawab cepat; Oh pasti!, tentu saja banyak materi di alam ini yang belum kita ketahui, karena kita belum memiliki alat untuk mendeteksi dan mengukurnya, Mario. And that’s a simple logic!, dia melihat saya dengan wajah seorang guru yang kasihan kepada muridnya yang lambat mengerti.

Oooh … (saya memulai penerbangan ke Nagasaki dengan sebuah bom atom di perut pesawat pembom saya) …

Jadi sebagai seorang ilmuwan, Jurgen tidak akan dengan semena-mena mengatakan sesuatu itu tidak ada, jika ia tidak bisa dideteksi dan diukur karena alat untuk itu belum ada?

Ya pasti dong?! Itu khan bertentangan dengan logika dan obyektifitas saya sebagai seorang pemikir yang logis.

Lalu, dengan suara selembut mungkin dari wajah yang sepengasih mungkin, saya bertanya;

Jurgen, apakah alat untuk mendeteksi dan mengukur Tuhan sudah ada?

Dia bilang dengan santai; … belum …

Saya teruskan; … lalu, jika alatnya belum ada, jika alat untuk mendeteksi dan mengukur Tuhan itu belum ada, mengapakah Jurgen bisa dengan pasti mengatakan bahwa Tuhan tidak ada?

Dia terdiam sejenak, lalu dia berbicara dengan kelurusan dan ketegasan seorang ilmuwan;

Kamu betul, Mar. Tidak obyektif bagi saya untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, karena kita belum memiliki alat untuk mendeteksi dan mengukur Tuhan.

Jadi apa sikap terbaikmu mengenai hal ini, Jurgen?

Sikap terbaik saya adalah menunda keputusan apakah Tuhan itu ada atau tidak.

Apakah sikap itu sebanding dengan ragu-ragu, karena belum pasti?, tanya saya hati-hati.

Dia bilang, dengan sangat fair: Ya.

Lalu saya sampaikan dengan keramahan yang harus dihadiahkan oleh seorang beriman kepada saudaranya yang sedang menemukan keimanan;

Jurgen, selamat datang. Bagi seseorang yang tadinya menolak keberadaan Tuhan, ‘meragukan keberadaan Tuhan’ adalah langkah awal untuk meyakini keberadaan-Nya.

Dari sanalah, kamu akan menemukan logika keimanan yang jauh lebih utuh dalam ke-abstrakan-nya, akurat dalam keluwesannya, dan tegas dalam kenyataan hukumnya.

Dia hanya mengangguk.

Lalu kami bergabung dengan belasan rekan mahasiswa dari kampus saya di Indiana University – Bloomington, yang juga berasal dari berbagai negara dan keimanan.

Kami makan malam dengan kemeriahan dan kegaduhan para lelaki muda yang positif dan berpandangan besar dan kuat mengenai masa depan.

Malam itu saya ditugasi untuk menyalakan api unggun, dan menjaga agar nyalanya tetap besar dan menghangatkan kami di malam musim dingin itu.

Di setiap kesempatan camping, saya selalu menjadi petugas api unggun, karena menurut mereka saya bisa berbicara kepada api. The man who can talk to fire. :)

Saat suasana lengang karena kami semua sudah berbaring untuk beristirahat di dini hari itu, saya mendengar suara seseorang yang seperti sedang terserang masuk angin yang akut.

Itu Jurgen. Dia masuk angin.

Saat bangun pagi, saya hampiri dia dan saya tanyakan kabarnya di pagi bersalju yang bersih dan indah itu, dan dia berkata;

I was really sick last night, Mario. Not because of anything, but because I was trying to accept your reasoning on God as objectively as I could. Rearranging what you have been believing as true for years, is not easy. But I did it. Thank you.

And you were and are right, that I should hold my judgment about God’s existence. I cannot rule that he is non existent, as long as I cannot disprove his existence.

Saya sangat sakit tadi malam, Mario. Bukan karena apa-apa. Tetapi karena saya berusaha menerima alasanmu mengenai Tuhan dengan se-obyektif mungkin. Menata ulang apa yang telah kau yakini sebagai yang benar selama bertahun-tahun, bukanlah sesuatu yang mudah. Tetapi saya telah melakukannya. Terima kasih.

Dan kamu benar, bahwa saya harus menahan untuk tidak membuat kesimpulan apa pun mengenai keberadaan Tuhan. Saya tidak dapat memutuskan bahwa Tuhan itu tidak ada, selama saya tidak bisa membatalkan keberadaannya.

Saya menyalaminya dengan hati yang sepengasih mungkin.

Jurgen, welcome to faith. Selamat datang di keimanan.

………..

Dan tiga puluh tahun kemudian, di Minggu pagi di Jakarta, saya menuliskan Super Note ini karena tadi pagi saya membaca sebuah comment di MTFB yang mengindikasikan keraguan seorang sahabat mengenai peran Tuhan bagi kebaikan hati dan hidupnya.

Saya menunda hal lain yang tadinya ingin saya kerjakan di Minggu pagi yang indah ini, dan mendahulukan waktu untuk menuliskan cerita ini, dengan harapan bahwa Tuhan mempertemukan pengertian di dalamnya, dengan sahabat-sahabat saya yang sedang membutuhkan penguatan mengenai kedekatannya dengan Tuhan.

Mudah-mudahan Tuhan menjadikan hati kita semua, seutuhnya ikhlas menerima kemutlakan kasih sayang dan kekuasaan-Nya bagi kebaikan hidup kita, dan menurunkan jawaban bagi doa dan harapan yang telah lama kita naikkan ke langit bagi perhatian baik Tuhan.

Marilah kita menggunakan kehebatan dari kasih sayang kita kepada Tuhan, untuk menjadikan diri kita pelayan bagi kebaikan hidup sesama.

Mohon disampaikan salam sayang untuk keluarga Anda terkasih, dari Ibu Linna dan saya.

Sampai kita bertemu suatu ketika nanti ya?

Loving you all as always,

Mario Teguh

Thursday, September 16, 2010

Untukmu, Rumah Sunyi(mu). Kulunasi janjiku

Untukmu; Rumah Sunyi(mu)

: Rangga Umara




Hujan Putus-Putus




Payau cuacakah yang menjadi tumpu? Membulat di cekung matamu. Tak henti kau peram. Kian waktu - kian dalam. Sesuatu yang kau anggap lembut, seperti bunyi kabut. Menjadi sebab. Angin menyapu seluruh hasrat. Maka, tumbuhlah kecemburuan pada tiap ketukan. Di hujan putusputus itu. Ada yang berloncatan di ke dua pipimu. Menjelma sansai sungai garam. Menganak peta. Kenestapaan.


Rindukah yang menjadi muasal? Isyarat sebuah jarak. Di mana ujung jalan belah dua. Musim tak pernah menemukan. Sesuatu yang kau namakan penantian. Mungkin di hujan putusputus itu, yang berloncatan dari dua matamu. Adalah rindu yang debu, dari jalan yang ditinggal pergi oleh aroma masalalu. Di sepanjang pencarian. Melumpuhkan siangmalam. Bahkan seluruh penjuru musim, menjadi payau dan gasal.




Kat O, 16 sept 2010

Sajak Buat Ayah dan Mama

AYAH
Aku mengenal suara dazan
Yang kau tiup saat aku masih merah
Aku mendengar saat Kau merajam waktu
hingga tanpa nama
ketika gelisahmu belum juga tunai

   “menangislah yang kencang, biar suaramu cepat gelegar
    kelak waktu-waktu akan menjemputmu lebih cepat
    daripada uban yang berebut tumbuh di kepalamu,” katamu.

MAMA
Lihatlah,ma
Tak ada lagi genang embun
di sudut mataku
Seperti saat ketika dulu
kau ganti air susuku dengan
dongeng pangeran berkuda putih
yang gagah mengangkat pedang
ke medan perang
hanya ada doa serupa dongeng
membuatku berjalan
dan berlari hingga hari ini

Jakarta, 16 Sep 2010


SUDAH LAMA

sudah lamabermukim di rumah tua ini
sudah sering
kuseka debu-debu di punggung dengan
jari yang mulai keriput dan retak.

di ujung pagi
kulihat  lembu-lembu
mengusung daging perutnya sendiri
sejenak Api di pematang sawah itu membakar
jiwa hingga lebur tanpa Abu. ingin kuinjak kepalaku
samapi diri tanpa kepala. lalu, bintang arasy akan melayarkan
tubuhku hingga ke langit paling tepi, paling  hakiki, dan paling abadi

Ya Ilahi...
sejajarkan enam Gunung yang menganak di dadaku
terangkan lima Jalan di tiap sujudku.

sudah lama
bermukim di rumah tua ini

tanpa penyucian yang berarti


September, 2010

Maafkan Atas Debu Yang Membusuk di Dadaku

Bergetar  tubuhku
Di atas sejadah yang selama ini teramat asing
Di malammalam yang mulai tanggalkan bising.
Selama ini aku lupa dengan debu-debu
Menempel hingga busuk di dadaku

Aku lupa berapa angka getar denyut di nadiku
Aku lupa berapa angka gerak tubuh yang kupergunakan
Aku lupa berapa kejap mata untuk melihat
Aku lupa kalau itu semua adalah rahmatmu ya Allah…
Bahkan aku sudah lupa, berapa besar dosa yang kuperbuat selama ini ya  Allah…

Ilahi lastu lilfirdausi ahla, wa la aqwa ‘ala nari al-jahimi.
Aku tentu tidak pantas menghuni sorga firdausMu
Namun aku tidak kuat untuk menerima siksa nerakaMu

La ilaha illa anta ya hayyu ya qayyum
La ilaha illa anta ya hayyu ya qayyum

 Bandung, 07 Sep 2010

Saturday, September 4, 2010

Nama yang Hilang

 

waktu-waktu tlah membawa nama masing-masing

hingga ke paling asing.

begitu pun dengan nama-nama

yang pernah kita kenal, secara

tidak sengaja hilang satusatu

bagai kelahiran dan kematian; tak diduga.

dulu kau yg pernah kukenal begitu dekat, kini

hilang entah kemana?

aku hanya mengingat satu katamu


:cinta sejati takkan pernah mati.

 

Jakarta, 04 Sep 2010