masih basah dalam ingatan:
lengking sangkakala purba
di malam betina
desis parang, peluru, nyanyian sumbang
di malam hari
jiwa-jiwa sudah lupa arti hidup
dan mati
berpuluh tahun berpeluh darah
merenda luka demi segaris tawa
lenyap kerna pemantik angkara
ada yang memilih mati demi hargadiri
ada yang tanggalkan kutang dan celana
demi setunggal nyawa
bocah bocah mencangkung di sisi tubuh ayah ibunya yang beku
tiada henti menggosok-gosokan punggung jemari pada sudut mata yang luka
"ooo...ayah... ooo...ibu... siapa besok yang siapkan makan pagiku... siapa besok yang betulkan letak kancing bajuku...''
ternyata, sangkakala itu milik manusia purba:
melihat yang lain tanpa kelamin dan usia.
Probolinggo 05 maret 2010
(Tragedi Sambas, versi ke 3)
Pada setiap langkah yang terlepas, ingin kucipta jejak paling berarti bagimu, lalu, lahirlah hanya nama kita di waktu-waktu terasing sekali pun
Sunday, May 16, 2010
Bahagialah Sayang...
[ucapan buat KAZIANA FAQIA]
Hari ini adalah hari bahagiamu
pun aku turut bahagia, walau sebenarnya
kabar bahagiamu merupa krikil pilu menyesaki dadaku.
Pekisahan ini tak pernah usai dalam sejarahku, mungkin juga sejarahmu. Ingin ku ceritakan cerita kecil padamu; cerita senja pertama, seusai ketika dulu kita putuskan untuk memutuskan suatu pilihan yang sebenarnya sangat tidak kita inginkan. Sejak senja itu, sampai saat ini, betapa sering ku temui wajahmu ada di wajah-wajah yang lain. Masihkah kau berkata: kau akan tetap bahagia walau tanpa aku?
Senja tadi adalah senja terakhir tentang kita, walau sebenarnya itu bukan akhir dari semua kenangan kita.
Di ujung senja ini kembali ku ucapkan: selamat bahagia dengan pilihanmu. Dan ucapmu via SMS tadi, takkan pernah jeda dalam ingatanku:
kebahagiaan ini adalah wujud lain dari deritaku. Senyum ini adalah kepura-puraan dari tangisku. Hanya adamu keberartian hidupku. Jangan kau sedih kerna ketidak berdayaanku! Karena aku hanya ingin tidur lelap dihatimu.
Sekarang, nama siapa yang lelap tidur dihatimu,
Namaku? atau namanya?
Semoga kau bahagia sayang...
Biarlah semua luka menjadi teman setia disetiap awal kelopak mata kubuka.
Kota mungil 13-03-2010
Hari ini adalah hari bahagiamu
pun aku turut bahagia, walau sebenarnya
kabar bahagiamu merupa krikil pilu menyesaki dadaku.
Pekisahan ini tak pernah usai dalam sejarahku, mungkin juga sejarahmu. Ingin ku ceritakan cerita kecil padamu; cerita senja pertama, seusai ketika dulu kita putuskan untuk memutuskan suatu pilihan yang sebenarnya sangat tidak kita inginkan. Sejak senja itu, sampai saat ini, betapa sering ku temui wajahmu ada di wajah-wajah yang lain. Masihkah kau berkata: kau akan tetap bahagia walau tanpa aku?
Senja tadi adalah senja terakhir tentang kita, walau sebenarnya itu bukan akhir dari semua kenangan kita.
Di ujung senja ini kembali ku ucapkan: selamat bahagia dengan pilihanmu. Dan ucapmu via SMS tadi, takkan pernah jeda dalam ingatanku:
kebahagiaan ini adalah wujud lain dari deritaku. Senyum ini adalah kepura-puraan dari tangisku. Hanya adamu keberartian hidupku. Jangan kau sedih kerna ketidak berdayaanku! Karena aku hanya ingin tidur lelap dihatimu.
Sekarang, nama siapa yang lelap tidur dihatimu,
Namaku? atau namanya?
Semoga kau bahagia sayang...
Biarlah semua luka menjadi teman setia disetiap awal kelopak mata kubuka.
Kota mungil 13-03-2010
Watu Gilang
jiwa-jiiwa tanggalkan Mata
di muka pintu yang patah
mengusung keranda lama, tempat
mimpi semalam dibaringkan
kaki-kaki terus diayunkan
tangan-tangan terus menggenggam
harapan yang, sebetulnya kosong
kini tiba upacara ritual malam
boneka dengan kelamin berbeda dibekukan
bersujud, melucuti enam Telunjuk
tergelung di dada, di depan perapian.
kelopak mata telah retak kerna debu
wajah tuhan, nyata di seonggok batu tanpa baju
sayupsayup suara angin terngiang dipenghujung malam:
mintalah pada tuhanmu yang kau cetak dari batu
tersenyumlah kini, kelak kau menangis dengan kerak yang kau cipta sendiri.
kota mungil 21-03-2010
di muka pintu yang patah
mengusung keranda lama, tempat
mimpi semalam dibaringkan
kaki-kaki terus diayunkan
tangan-tangan terus menggenggam
harapan yang, sebetulnya kosong
kini tiba upacara ritual malam
boneka dengan kelamin berbeda dibekukan
bersujud, melucuti enam Telunjuk
tergelung di dada, di depan perapian.
kelopak mata telah retak kerna debu
wajah tuhan, nyata di seonggok batu tanpa baju
sayupsayup suara angin terngiang dipenghujung malam:
mintalah pada tuhanmu yang kau cetak dari batu
tersenyumlah kini, kelak kau menangis dengan kerak yang kau cipta sendiri.
kota mungil 21-03-2010
Watu Gilang, versi -Helena Adriani
jiwa-jiwa mengusung mimpi
berjalan, mengenggam harapan kosong
ritual malam di tepi perapian
wajah tuhan diseonggok batu
angin sayup berbisik
kelak kau menangis dengan kerak yang kau cipta sendiri
(terimakasih pada Helena Adriani. salam takdzim).
berjalan, mengenggam harapan kosong
ritual malam di tepi perapian
wajah tuhan diseonggok batu
angin sayup berbisik
kelak kau menangis dengan kerak yang kau cipta sendiri
(terimakasih pada Helena Adriani. salam takdzim).
Aku Kembali Setelah Perjalanan Menuju Arti
Manisku...
Aku hanya ingin melangkah, bukan untuk pergi, bukan juga menjauh.
Aku hanya ingin mencari tempat persinggahan untuk berbagi resah dengan pulau mungil di tepi pantai kedamaian, dimana disana dapat kutemui segenggam senyum, secanting nira kebahagiaan yang juga membuatku berdansa sembari pegangi jari jemari harapan. Lalu pergi sambil berucap:
Terimakasih hai seikat waktu, kau telah memberiku se-laut kedamaian. kini kubawa sekantong keberartian hidup di punggungku yang basah oleh luruh airmata, untuk cintaku.
Aku ingin berhenti disaat ku temukan dermaga sunyi, yang langka dari tapak-tapak pijak keegoan diri. Disana aku akan tahu, ketika diri lelah, ketika harus sadar dimana aku harus lelap di suatu tempat; dan berhenti tanpa menyeru letih.
Manisku...
Aku akan berhenti dan kembali pada suatu hari, suatu saat dimana lorong waktu akan membawaku pada satu kehidupan yang terang, atau pun kematian. Aku akan kembali pada suatu masa ketika malam yang paling sunyi tiba dengan sepenggal cahaya walau tak begitu purna. Di sanalah kita saling mendekap, memeluk jiwa yang selama ini hilang kembali dengan selangit kerinduan. Dan kita bersenda di peraduan yang sama, memasak airmata keharuan di tungku-tungku lama yang setia menunggu di sudut ruang kehampaan hati yang berkali-kali menubi.
Aku pasti kembali manisku...
Kota mungil 01 April 010
Aku hanya ingin melangkah, bukan untuk pergi, bukan juga menjauh.
Aku hanya ingin mencari tempat persinggahan untuk berbagi resah dengan pulau mungil di tepi pantai kedamaian, dimana disana dapat kutemui segenggam senyum, secanting nira kebahagiaan yang juga membuatku berdansa sembari pegangi jari jemari harapan. Lalu pergi sambil berucap:
Terimakasih hai seikat waktu, kau telah memberiku se-laut kedamaian. kini kubawa sekantong keberartian hidup di punggungku yang basah oleh luruh airmata, untuk cintaku.
Aku ingin berhenti disaat ku temukan dermaga sunyi, yang langka dari tapak-tapak pijak keegoan diri. Disana aku akan tahu, ketika diri lelah, ketika harus sadar dimana aku harus lelap di suatu tempat; dan berhenti tanpa menyeru letih.
Manisku...
Aku akan berhenti dan kembali pada suatu hari, suatu saat dimana lorong waktu akan membawaku pada satu kehidupan yang terang, atau pun kematian. Aku akan kembali pada suatu masa ketika malam yang paling sunyi tiba dengan sepenggal cahaya walau tak begitu purna. Di sanalah kita saling mendekap, memeluk jiwa yang selama ini hilang kembali dengan selangit kerinduan. Dan kita bersenda di peraduan yang sama, memasak airmata keharuan di tungku-tungku lama yang setia menunggu di sudut ruang kehampaan hati yang berkali-kali menubi.
Aku pasti kembali manisku...
Kota mungil 01 April 010
Sajak Kecil
Masihkah?
Masih ku ingat, dulu
kau datang dengan senyum
Masihkah kepergianmu itu Senyum...?
Kota mungil 04 April 2010
Masih ku ingat, dulu
kau datang dengan senyum
Masihkah kepergianmu itu Senyum...?
Kota mungil 04 April 2010
Tak Ada Warna
Untuk sahabatku, Yazid Musyafa
Kita adalah perulangan kata
dari tumit tumit lama
Setiap pijak akan mencipta tapak yang sama
Kita adalah nama yang menganak dirahim bumi
Selama belum lahir, kasat mata matahari lah
yang mencipta kelamin
Hei, sahabat
Hidup, merupa bola resah diruncing nasib
atau bumi membuat langit tak bertempat:
Kadang di atas kadang di bawah
Jangan risau dengan kelelahan atau kegundahan, karena
disana selalu ada doa-doa yang dapat kita semai
seperti nama kita yang tak pernah dilahirkan tapi diciptakan
Sahabatku !
Aku ingin jadi bintang yang menemani bulanmu bersinar
bukan matahari yang membuatmu legam
Dan semoga tak ada jarak dan arah yang melahirkan kata:
Atas, Bawah
Aku hanya ingin lelap di kantongkantong matamu, sahabat,
agar selalu terjaga bila setiap kedua matamu mengejap
karena disitu, matamu, dan aku, tak lagi mengenal sebuah jarak
Bukankah persahabatan itu tanpa jarak? Atau warna yang membedakan?
Bangunkan aku jika aku lelap tidur, pun begitu sebaliknya.
Kota mungil 06 April 2010
Kita adalah perulangan kata
dari tumit tumit lama
Setiap pijak akan mencipta tapak yang sama
Kita adalah nama yang menganak dirahim bumi
Selama belum lahir, kasat mata matahari lah
yang mencipta kelamin
Hei, sahabat
Hidup, merupa bola resah diruncing nasib
atau bumi membuat langit tak bertempat:
Kadang di atas kadang di bawah
Jangan risau dengan kelelahan atau kegundahan, karena
disana selalu ada doa-doa yang dapat kita semai
seperti nama kita yang tak pernah dilahirkan tapi diciptakan
Sahabatku !
Aku ingin jadi bintang yang menemani bulanmu bersinar
bukan matahari yang membuatmu legam
Dan semoga tak ada jarak dan arah yang melahirkan kata:
Atas, Bawah
Aku hanya ingin lelap di kantongkantong matamu, sahabat,
agar selalu terjaga bila setiap kedua matamu mengejap
karena disitu, matamu, dan aku, tak lagi mengenal sebuah jarak
Bukankah persahabatan itu tanpa jarak? Atau warna yang membedakan?
Bangunkan aku jika aku lelap tidur, pun begitu sebaliknya.
Kota mungil 06 April 2010
SESAL
SESAL
Burung-burung kembali pulas di rantingranting
Matahari kembali mengubur dirinya dilumpur pekat
nama Tuhan berlarian di bibir Belia
batu-batu hitam jejali dada
Ayat Ganjil mengangkis batu itu dari kedua sudut mata
lalu lebur jadi sungai kemarau
07 April 2010
Burung-burung kembali pulas di rantingranting
Matahari kembali mengubur dirinya dilumpur pekat
nama Tuhan berlarian di bibir Belia
batu-batu hitam jejali dada
Ayat Ganjil mengangkis batu itu dari kedua sudut mata
lalu lebur jadi sungai kemarau
07 April 2010
Gelang Hitam
Kudakuda tanpa kepala
melabuhi dansanya di ngarai baka
Lampulampu berjingkrak
menyulang sajang malam tanpa jeda
Lengking sruling api lecuti leher-leher jenjang
:gelang hitam membelenggu lengan jiwa
dalam singgasananya.
09 April 2010
melabuhi dansanya di ngarai baka
Lampulampu berjingkrak
menyulang sajang malam tanpa jeda
Lengking sruling api lecuti leher-leher jenjang
:gelang hitam membelenggu lengan jiwa
dalam singgasananya.
09 April 2010
Penguasa Bejat, Yang Sembunyi dibalik Tragedi Tanjung Priok
Penguasa Bejat, yang Sembunyi dibalik Tragedi Tanjung Priok
Diantara lapar dan dahaga
tubuh luka menyulap mata-mata jelata
Hai, tuan !
Makanlah daging kami yang tulang
Minumlah airmata kami yang darah
Tak usah kau tipu, lahap saja penuh nafsu
Kami lahir dengan ketiadaan
Kami takkan menangis dengan derita yang kau ciptakan
Tunggulah azab Tuhan!
15-04-2010
Diantara lapar dan dahaga
tubuh luka menyulap mata-mata jelata
Hai, tuan !
Makanlah daging kami yang tulang
Minumlah airmata kami yang darah
Tak usah kau tipu, lahap saja penuh nafsu
Kami lahir dengan ketiadaan
Kami takkan menangis dengan derita yang kau ciptakan
Tunggulah azab Tuhan!
15-04-2010
Pertemuan di Bilik Suci
Berawal dari obrolan ringan di Pondok Pesantren Sidogiri, bersama: Ulin Nashih, Indrajid Dasamuka, Zam Zamee, dan saya sendiri.
Pertemuan di Bilik Suci
U/
Kuajak kau setubuhi kata
menikmati lekuk tubuhnya
R/
Di sini kutunggu kau
menujah punggungku yang patah
dengan belati katamu, dan,
biarkan darah mengalir dari rahim-rahim jiwa
serupa mantra pemuja dalam pelarungan
serupa asap dupadupa yang lebur jadi tunggal warna
lalu, menekuk wajah asing dibalik keliman baju masing-masing
kubawa gemeratak gigi-gigi ceria di bibir telinga
sampai malam menua
I/
Ku berlabuh tuk menyapa
Pada kata yang ku puja
Z/
Dan kita kadang tak tereja jiwa
Membiar masa membunuh buta.
R/
Masih ingat waktu itu; kau hendaki aku berkisah, kisah apa saja, tentang kisahku sendiri, tentang kisah malam dan kelepak anginnya, atau mungkin kisah kecilmu yang belum ku gagahi sebelumnya.
Ku lihat wajah-wajah gemas ingin melumat tubuh yang lekas berkemas.
Kusapa kembali kau dengan kata sederhana namun dari hati yang paling dingin: kata yang pernah kujanjikan dalam pertemuan di bilik suci itu
Semoga rindu yang semakin dendam menggiring kita kembali pada sejengkal ruang di tubuh waktu
Sidogiri-Probolinggo 18 April 2010
Pertemuan di Bilik Suci
U/
Kuajak kau setubuhi kata
menikmati lekuk tubuhnya
R/
Di sini kutunggu kau
menujah punggungku yang patah
dengan belati katamu, dan,
biarkan darah mengalir dari rahim-rahim jiwa
serupa mantra pemuja dalam pelarungan
serupa asap dupadupa yang lebur jadi tunggal warna
lalu, menekuk wajah asing dibalik keliman baju masing-masing
kubawa gemeratak gigi-gigi ceria di bibir telinga
sampai malam menua
I/
Ku berlabuh tuk menyapa
Pada kata yang ku puja
Z/
Dan kita kadang tak tereja jiwa
Membiar masa membunuh buta.
R/
Masih ingat waktu itu; kau hendaki aku berkisah, kisah apa saja, tentang kisahku sendiri, tentang kisah malam dan kelepak anginnya, atau mungkin kisah kecilmu yang belum ku gagahi sebelumnya.
Ku lihat wajah-wajah gemas ingin melumat tubuh yang lekas berkemas.
Kusapa kembali kau dengan kata sederhana namun dari hati yang paling dingin: kata yang pernah kujanjikan dalam pertemuan di bilik suci itu
Semoga rindu yang semakin dendam menggiring kita kembali pada sejengkal ruang di tubuh waktu
Sidogiri-Probolinggo 18 April 2010
Catatan Kecil di Malam Itu
di remang malam
ketika senja meninggalkanmu di pelukku,
detak jantung dan desah nafas
adalah saksi bisu dimalam itu
angin surup merabai ilalang yang bergoyang.
kau hanya diam. matamu sapui seluruh wajahku
kemudian berhenti tepat di mataku
malam makin beku, aku dan kau
tetap bisu dalam laju waktu
kau tampak damai di dekapku
sementara kelepak burung malam
terdengar berkali-kali. ternyata malam
mulai merambati pagi
"cintaku, pulanglah...'' pintaku.
kau hanya menggeleng kecil
''kau mencintaiku?'' ku tatap matamu
sembari hinggapkan kedua telapak
tanganku di kedua pundakmu
''mengapa kau tanya apa yang sebenarnya kau tahu?''
''sayang cinta kita terlarang''
kau hanya diam; pasrah pada sebuah kepastian
yang mengkrucuti mimpi-mimpi
Bandung 30 April 2010
ketika senja meninggalkanmu di pelukku,
detak jantung dan desah nafas
adalah saksi bisu dimalam itu
angin surup merabai ilalang yang bergoyang.
kau hanya diam. matamu sapui seluruh wajahku
kemudian berhenti tepat di mataku
malam makin beku, aku dan kau
tetap bisu dalam laju waktu
kau tampak damai di dekapku
sementara kelepak burung malam
terdengar berkali-kali. ternyata malam
mulai merambati pagi
"cintaku, pulanglah...'' pintaku.
kau hanya menggeleng kecil
''kau mencintaiku?'' ku tatap matamu
sembari hinggapkan kedua telapak
tanganku di kedua pundakmu
''mengapa kau tanya apa yang sebenarnya kau tahu?''
''sayang cinta kita terlarang''
kau hanya diam; pasrah pada sebuah kepastian
yang mengkrucuti mimpi-mimpi
Bandung 30 April 2010
HARAPAN
Pada setiap jengkal waktu yang ku tempuh
sisa mimpi ku titip di jemari bulan yang menggantung di langit.
Bandung o6-o5-2010
sisa mimpi ku titip di jemari bulan yang menggantung di langit.
Bandung o6-o5-2010
Nyanyian Sahabat
Kang Arif, Noval Jubbek, Rangga Umara, Arther Panther Olii, Fran HY & Yazid Musyafa
Tiap anjak jarum jam yang mengantarkan
Waktu pada masa yang tak pernah kembali
Atau ketika sunyi malam hendak setubuhi pagi
Ku tulis nama kalian pada sobekan kenang
Yang tak pernah hilang
Lalu kita saling mendekap,
Pada kekar bahu rasa sahabat yang tegap
Bangkitkan manusia kita pada pijak kata
Di jalan dunia yang kehilangan warna, buram
Di mana semua mesti tertimbang
Dalam timbangan dada dan kening yang hening
Mungkin kita akan sejenak berpaling
Meraih sejumput asa masing masing
Tiada asing ketika tertaut segala
Senyum rembulan dan tawa bintang
Mencipta lembayung kasih di wewujud bayang
Kehendak yang naif menjelma arif
Dalam lagam gaya yang berniscaya ; indah
Dan satu akan tetap digenggam lima jari
Biarpun pundak kadang ditekan mimpi
Ingin merengkuh segala tergantung
Menempuh jalur berbeda busur, tak akur
Disitulah satu akan mengingatkan
Menggeliat hangat dalam genggaman
Menebar ingatan, dimana tawa kita pernah tersimpan
Seperti dedaun meminumi embun
Pada bait-bait rahasia menunas cinta
Biarlah nuansa pelangi mewarna rembulan
Mempertemukan senyum-senyum kita
Hingga gelayut ragu, sengatan canggung
Hilang tanpa bekas di jalanan kata menuju rima
Pada lelayar lautan berkisah, saling
Menggelayut hangat disepoi angin
Mencandai angan, bahkan
Mencubit perak merekah di bibir rembulan
Menepikan kelam yang merudung malam.
Inilah kekidung warna-warni
Nyanyian kelopak di jantung sahabat
Menitik bening, menjernih
Menikmat jelang di taman pagi
*: Sahabat, mungkin tiada pernah kita berpegang tangan, bahkan sekedar saling menyapa muka. Namun kita yakin, bukan? jika Tangan Yang Segala selalu menjabat erat tangan-tangan kita dalam cara-Nya
040510 : 16.45; Menembus batas Ngawi, Malang, Bandung, Gorontalo, Palembang & Tegal
Tiap anjak jarum jam yang mengantarkan
Waktu pada masa yang tak pernah kembali
Atau ketika sunyi malam hendak setubuhi pagi
Ku tulis nama kalian pada sobekan kenang
Yang tak pernah hilang
Lalu kita saling mendekap,
Pada kekar bahu rasa sahabat yang tegap
Bangkitkan manusia kita pada pijak kata
Di jalan dunia yang kehilangan warna, buram
Di mana semua mesti tertimbang
Dalam timbangan dada dan kening yang hening
Mungkin kita akan sejenak berpaling
Meraih sejumput asa masing masing
Tiada asing ketika tertaut segala
Senyum rembulan dan tawa bintang
Mencipta lembayung kasih di wewujud bayang
Kehendak yang naif menjelma arif
Dalam lagam gaya yang berniscaya ; indah
Dan satu akan tetap digenggam lima jari
Biarpun pundak kadang ditekan mimpi
Ingin merengkuh segala tergantung
Menempuh jalur berbeda busur, tak akur
Disitulah satu akan mengingatkan
Menggeliat hangat dalam genggaman
Menebar ingatan, dimana tawa kita pernah tersimpan
Seperti dedaun meminumi embun
Pada bait-bait rahasia menunas cinta
Biarlah nuansa pelangi mewarna rembulan
Mempertemukan senyum-senyum kita
Hingga gelayut ragu, sengatan canggung
Hilang tanpa bekas di jalanan kata menuju rima
Pada lelayar lautan berkisah, saling
Menggelayut hangat disepoi angin
Mencandai angan, bahkan
Mencubit perak merekah di bibir rembulan
Menepikan kelam yang merudung malam.
Inilah kekidung warna-warni
Nyanyian kelopak di jantung sahabat
Menitik bening, menjernih
Menikmat jelang di taman pagi
*: Sahabat, mungkin tiada pernah kita berpegang tangan, bahkan sekedar saling menyapa muka. Namun kita yakin, bukan? jika Tangan Yang Segala selalu menjabat erat tangan-tangan kita dalam cara-Nya
040510 : 16.45; Menembus batas Ngawi, Malang, Bandung, Gorontalo, Palembang & Tegal
Seorang Perempuan dan Kematiannya
Di lidah bulan lima
Ku lihat wajah belia menanti 'Izra'il dengan sungging dibibirnya. Ia tersenyum walau maut berkali-kali mengecup keningnya yang tak berkerut. "Tidak ! Aku tidak akan menangis, karena aku tidak tahu untuk apa aku menangis?'' lirihnya. ''bawalah aku jika itu memang perjanjian waktuku. Aku sudah rindu ingin berdansa dengan kupu-kupu putih ditepian telaga Firdaus''.
Maut adalah penantian yang pasti tiba masanya, dan,
Kematian adah Hidup yang sebenarnya.
Ketika malam larutkan matahari di dadanya, maka ia pilih Bintang sebagai penerang disisa perjalanannya.
[terinspirasi oleh seorang perempuan yang sangat tabah melawan penyakitnya. Maaf, hanya coretan ringan]
Bandung 11-052010
Ku lihat wajah belia menanti 'Izra'il dengan sungging dibibirnya. Ia tersenyum walau maut berkali-kali mengecup keningnya yang tak berkerut. "Tidak ! Aku tidak akan menangis, karena aku tidak tahu untuk apa aku menangis?'' lirihnya. ''bawalah aku jika itu memang perjanjian waktuku. Aku sudah rindu ingin berdansa dengan kupu-kupu putih ditepian telaga Firdaus''.
Maut adalah penantian yang pasti tiba masanya, dan,
Kematian adah Hidup yang sebenarnya.
Ketika malam larutkan matahari di dadanya, maka ia pilih Bintang sebagai penerang disisa perjalanannya.
[terinspirasi oleh seorang perempuan yang sangat tabah melawan penyakitnya. Maaf, hanya coretan ringan]
Bandung 11-052010
Tanggalnya Sebuah Aurora
Oleh: Rangga Umara
Ingatkah waktu itu? kita gelung jemari asing di pelukan bulan, sambil menggantung tujuh aurora diantara arakan awan..
“aku ingin melukis wajahmu di salahsatu aurora itu
agar aku selalu melihatmu bila malam tiba, atau
jika satu masa waktu membawamu jauh dariku” katamu.
Aku hanya diam, mengamati pijak angin melambaikan satusatu rambutmu. Dan, lalu berkata:
”Aku ingin meneguk aurora yang berkejaran dibalik kejap matamu, agar kau selalu ada dalam tiap jengkal ingatanku”.
**************
Disatu waktu, kelabu awan mengubur bulan dan aurora di perut malam, tangan takdir menyalib semua kisah pada kaki langit, pada sunyi lembah-lembah, sekaligus meluruti semua asa yang lama kita semai. Setelah itu, kita lebih sering menyulam luka yang menganak di rahimrahim mata, dan menakar jejalan pilu di beranda rumah kelabu
Aku hanya punya seutas keyakinan, jika berhenti berharap
berarti tak satupun arti hidup dapat kupetik.
Dalam hati aku terus bertanya, haruskah aku mencari aurora yang tanggal di tumit-tumit malam? atau diam membiarkan itu semua menjadi dongeng para nelayan yang sedang rebah ditepi-tepi pantai? Sedang apa yang kita alami, itulah yang akan kita tangisi.
Diantara sunyi senja dan fajar, tubian kelembak tubuhmu mengetuk-ngetuk pintu tua ketika aku lelah menggerai peluh diawal tidurku..
Cintaku ! haruskah aku melukaimu lagi dengan belati rindu sebelum waktu menghirup tubuhmu dari kelopak mataku? Aku tahu, begitu juga denganmu; tangan kita bukan pencipta keajaiban ruang dan waktu. Namun, haruskah kita menyerah? Sedang matahari kerap tak patuh pada geseran jarum jam yang menggantung di dinding-dinding rumah.
Tiada lebih indah selain ketika dulu kau nyalakan layar membentang diujung biduk cinta, sebelum leluhur meyakini guratan cakra pada kedua telapak tangan kita.
Tiada lebih indah selain ketika kau tadahi bidik mataku bersambut binar matamu.
Cintaku
Ingin ku sibak kepingan awan di punggung dukamu
Sebelum hujan larut kembali di tungku matamu
Ingin ku cari kembali tujuh aurora kita yang telah hilang
Sebelum langit menenggak sisa senyumu di buritan malam
Bandung 16 Mei 2010
Ingatkah waktu itu? kita gelung jemari asing di pelukan bulan, sambil menggantung tujuh aurora diantara arakan awan..
“aku ingin melukis wajahmu di salahsatu aurora itu
agar aku selalu melihatmu bila malam tiba, atau
jika satu masa waktu membawamu jauh dariku” katamu.
Aku hanya diam, mengamati pijak angin melambaikan satusatu rambutmu. Dan, lalu berkata:
”Aku ingin meneguk aurora yang berkejaran dibalik kejap matamu, agar kau selalu ada dalam tiap jengkal ingatanku”.
**************
Disatu waktu, kelabu awan mengubur bulan dan aurora di perut malam, tangan takdir menyalib semua kisah pada kaki langit, pada sunyi lembah-lembah, sekaligus meluruti semua asa yang lama kita semai. Setelah itu, kita lebih sering menyulam luka yang menganak di rahimrahim mata, dan menakar jejalan pilu di beranda rumah kelabu
Aku hanya punya seutas keyakinan, jika berhenti berharap
berarti tak satupun arti hidup dapat kupetik.
Dalam hati aku terus bertanya, haruskah aku mencari aurora yang tanggal di tumit-tumit malam? atau diam membiarkan itu semua menjadi dongeng para nelayan yang sedang rebah ditepi-tepi pantai? Sedang apa yang kita alami, itulah yang akan kita tangisi.
Diantara sunyi senja dan fajar, tubian kelembak tubuhmu mengetuk-ngetuk pintu tua ketika aku lelah menggerai peluh diawal tidurku..
Cintaku ! haruskah aku melukaimu lagi dengan belati rindu sebelum waktu menghirup tubuhmu dari kelopak mataku? Aku tahu, begitu juga denganmu; tangan kita bukan pencipta keajaiban ruang dan waktu. Namun, haruskah kita menyerah? Sedang matahari kerap tak patuh pada geseran jarum jam yang menggantung di dinding-dinding rumah.
Tiada lebih indah selain ketika dulu kau nyalakan layar membentang diujung biduk cinta, sebelum leluhur meyakini guratan cakra pada kedua telapak tangan kita.
Tiada lebih indah selain ketika kau tadahi bidik mataku bersambut binar matamu.
Cintaku
Ingin ku sibak kepingan awan di punggung dukamu
Sebelum hujan larut kembali di tungku matamu
Ingin ku cari kembali tujuh aurora kita yang telah hilang
Sebelum langit menenggak sisa senyumu di buritan malam
Bandung 16 Mei 2010
Tentang Patah Hati
*Kolaborasi Arther Panther Olii, kang Arief, Rangga Umara, Fran HY, Noval Jubbek, Lina Kelana, Enno Salsa II, Black Roseheart, Reski Handani & Yazid Musyafa*
Sepi. Ruang dadaku semakin senyap, saat kau putus tak lagi mewarna pelangi yang pernah kita rakit, bersama senyum dan munajat. Ronanya membumbung langit , membuaiku dalam akut imaji, melupa waktu berdentang. Hingga dunia luruh ketika kau kata: ” Sayang, kita bukan menakar waktu, pun mengikat benang asmara. Kita bukan sedang merombak tatanan langit, pun bukan menyeret bintang tuk sinari wajahku untukmu. Mengertilah sayang, aku adalah bayangan”. Aku hanya diam, membungkam semua kata yang lahir dari rahim bahasaku. Kau sang mahkota hati, tega menyekap rasaku. Memasungnya dalam lingkaran asa semu. O mata air dari airmata, sekuat lentik tanganmu menaliku, sekuat itupun aku akan menjelma, menjadi sinar yang biasnya terangi jalan anak masa depanku.
O luka! Kukulum nikmat pedih selepasmu, bersama tempias potongan hujan di hati; kian sendu. “Lihatlah.., satu-satu menguning dedaun pada tumbuhan yang dulu kau tanam, lalu berguguran, berkulai diluluhlantakkan perpisahan kita.” Hanya menyisa dedaunan bayangmu yang tak jua retas di secawan waktu.
Terselip di bibirmu kelembutan dan bisa yang serupa hujan: Hujan tak lagi menampakan ceria, ketika embun dengan langkah pelan mencoba menggantikan matahari. "Setiap lembar daun yang jatuh dari mataku, itulah keindahan." katamu. sementara aku terdiam, membiarkanmu memutuskan benang yang mengikat angin asmara itu, kau hanya berkata "Waktu, waktu, waktu.". "Maka minumlah airmataku, wahai waktu. dan jelaskan pada waktumu, bahwa kau adalah waktu. dan aku anak waktu, sendiri" dalam balutan sepi."
Aku ingin memeluk wajahmu di pelupuk bulan. Setubuhi kembali bayang-bayang yang lama hilang. Aku mencoba mengenang seberapa banyak angka bulir airmata mengalir, dari sudut-sudut mata. Setelah perpisahan adalah satu-satunya pilihan. Aku ingin kembali singgahi peraduan bintang, mengais pilinan mimpi-mimpi kita yang belum usai.
Lengang mengendap malam malam. Ada nama itu berdetak di degup jantung. Serupa baru belajar berhitung, kueja sebegitu lembut. Kekasih, aku tak faham isyarat desir, aku tak mengerti ini usik risau. Yang aku tahu, mestinya engkau datang kali ini. Siangi rerumputan yang menjalar diam diam. Mestinya engkau benar benar di sini. ”Kekasih, di ruang mana engkau berpuisi. Masihkah padaku? Atau apa masih tentangku?” Di sini udara menjelma tuba. Menyobek rongga dada. Retaknya kian menganga. Rutuk merembes dari celahnya. Menekuk runtuh tegak tungkaiku. Mestinya engkau datang kali ini, kekasih.
Kelopak matak senjaku memerah, terbakar api yang kau tiup hari ini. Tahukah kau, bila matahari dan bulan memiliki sinar dan ruangnya sendiri? Dan rasanya itulah sebuah alasan mengapa kita tak bisa bersama. ”Terlukakah aku?” Itu tanyamu. Dan kini kuajak kau menatap matahari di atas sana. Lihatlah tubuhnya memerah panas tak menyisa teduh, seperti halnya dulu lagi. Dan itulah perih yang tak perlu panjang kuceritakan padamu. Aku masih bersama malam di mana dulu sarat kudengar tawamu,sambil mendekap tilas bibir yang kau lukis di dinding hatiku, yang di atas merahnya kutulis rindu. Aku masih di gelung bening bening embun, yang berlarian di dedaun talas talas hutan. Mengeja sebaris dan seulas wajah diatas kanvas yang telah carut. Meletak gatra pada gurit yang malam itu pernah kau tulis dengan air mata kita.
Ah… kau masih saja asyik merimba kata menyamak riduku. Tak sadarkah seburat luka selalu kau lukis; Menganga kala puja-puji kau jahit untuknya. Hatimu…, duri dan akar rasaku kau hujam meneracapi bumi. Semipun tiba namun kau hempas aku di sudut biru nan beku.
Lihatlah…, ini tanganku. Bertepuk sebelah lagi. Sekali lagi. Entah, mungkin aku tak sebanding dengan imaji yang kau hampar di separuh malammu. Atau bisa saja, kau memendam sosok lain yang tersimpan di sebalik foto yang kau taruh di bawah bantal tidurmu. Ah! Kini aku kembali menjemput sisa sisa malam sambil sesekali menghujat pagi. Berharap bayangmu memburam. Lalu hilang tanpa ada yang terkenang; Mati!
Kian asing kumaknai diri ini. Luka hati semakin menubir. Bicaraku adalah igauan abjad beku. Tiada laku pun tak berharga di pasar sepi. Selasar jiwa tak lagi berwarna tanpa hadirmu, yang senantiasa menjelma pelangi di tiap petak tanah kerinduan. Kepunahan asmara ini adalah kisah paling lara yang akan abadi, terpelihara di sisa jejak hidupku. Mungkin, esok akan kembali bersua senyum hangat mentari baru. Akan kembali bersitatap dengan sorotan teduh rembulan baru. Tapi, tidakkah ini tetap saja fatamorgana? Karena bintang yang seharusnya menemani tetap saja datang dari langit silam ; dirimu . O, airmata dari mata air lembah kepedihan. Sungkanlah mengalir tuk nyatakan rasa kehilangan ini.
Di ujung pintu waktu dulu, ketika aku mulai mengenal cinta, para Arif mengajariku tentang pahit bencana cinta dan kehilangan. Namun aku berpaling dari mereka. Hingga di ujung pintu waktu kini, Aku seperti burung kecil dari suram lembah jiwa, terbangun di pagi hari, meledak dalam lagu setelah pagi tua, dibumbui pahit anggur cinta. Api mendidih dalam diri seperti dengus sebuah ketel mendidih. Dua matamu tak mengalir bersama air mata: menghujamku dengan anak panah di hatiku yang patah. Aku bersandar seperti pinggiran jejahitan yang lepas dari sutra putih. Air mata mengalir turun di dadaku, mengingat hari bercinta. Namun, apakah terpendar asa dalam keruntuhan ini? Membawakanku pelipur lara? Bukankah penyembuh lara datang mengalir dari air mata? Saat angin pasir menyapu teluk derita, lalu pergi? Hingga pekarangan rumah hati yang tua menjadi sunyi.
150510 : 16.03. Antara Gorontalo, Ngawi, Bandung, Palembang, Malang, Babat, Yogyakarta, Martapura, Padang & Tegal dalam rasa yang sama.
Sepi. Ruang dadaku semakin senyap, saat kau putus tak lagi mewarna pelangi yang pernah kita rakit, bersama senyum dan munajat. Ronanya membumbung langit , membuaiku dalam akut imaji, melupa waktu berdentang. Hingga dunia luruh ketika kau kata: ” Sayang, kita bukan menakar waktu, pun mengikat benang asmara. Kita bukan sedang merombak tatanan langit, pun bukan menyeret bintang tuk sinari wajahku untukmu. Mengertilah sayang, aku adalah bayangan”. Aku hanya diam, membungkam semua kata yang lahir dari rahim bahasaku. Kau sang mahkota hati, tega menyekap rasaku. Memasungnya dalam lingkaran asa semu. O mata air dari airmata, sekuat lentik tanganmu menaliku, sekuat itupun aku akan menjelma, menjadi sinar yang biasnya terangi jalan anak masa depanku.
O luka! Kukulum nikmat pedih selepasmu, bersama tempias potongan hujan di hati; kian sendu. “Lihatlah.., satu-satu menguning dedaun pada tumbuhan yang dulu kau tanam, lalu berguguran, berkulai diluluhlantakkan perpisahan kita.” Hanya menyisa dedaunan bayangmu yang tak jua retas di secawan waktu.
Terselip di bibirmu kelembutan dan bisa yang serupa hujan: Hujan tak lagi menampakan ceria, ketika embun dengan langkah pelan mencoba menggantikan matahari. "Setiap lembar daun yang jatuh dari mataku, itulah keindahan." katamu. sementara aku terdiam, membiarkanmu memutuskan benang yang mengikat angin asmara itu, kau hanya berkata "Waktu, waktu, waktu.". "Maka minumlah airmataku, wahai waktu. dan jelaskan pada waktumu, bahwa kau adalah waktu. dan aku anak waktu, sendiri" dalam balutan sepi."
Aku ingin memeluk wajahmu di pelupuk bulan. Setubuhi kembali bayang-bayang yang lama hilang. Aku mencoba mengenang seberapa banyak angka bulir airmata mengalir, dari sudut-sudut mata. Setelah perpisahan adalah satu-satunya pilihan. Aku ingin kembali singgahi peraduan bintang, mengais pilinan mimpi-mimpi kita yang belum usai.
Lengang mengendap malam malam. Ada nama itu berdetak di degup jantung. Serupa baru belajar berhitung, kueja sebegitu lembut. Kekasih, aku tak faham isyarat desir, aku tak mengerti ini usik risau. Yang aku tahu, mestinya engkau datang kali ini. Siangi rerumputan yang menjalar diam diam. Mestinya engkau benar benar di sini. ”Kekasih, di ruang mana engkau berpuisi. Masihkah padaku? Atau apa masih tentangku?” Di sini udara menjelma tuba. Menyobek rongga dada. Retaknya kian menganga. Rutuk merembes dari celahnya. Menekuk runtuh tegak tungkaiku. Mestinya engkau datang kali ini, kekasih.
Kelopak matak senjaku memerah, terbakar api yang kau tiup hari ini. Tahukah kau, bila matahari dan bulan memiliki sinar dan ruangnya sendiri? Dan rasanya itulah sebuah alasan mengapa kita tak bisa bersama. ”Terlukakah aku?” Itu tanyamu. Dan kini kuajak kau menatap matahari di atas sana. Lihatlah tubuhnya memerah panas tak menyisa teduh, seperti halnya dulu lagi. Dan itulah perih yang tak perlu panjang kuceritakan padamu. Aku masih bersama malam di mana dulu sarat kudengar tawamu,sambil mendekap tilas bibir yang kau lukis di dinding hatiku, yang di atas merahnya kutulis rindu. Aku masih di gelung bening bening embun, yang berlarian di dedaun talas talas hutan. Mengeja sebaris dan seulas wajah diatas kanvas yang telah carut. Meletak gatra pada gurit yang malam itu pernah kau tulis dengan air mata kita.
Ah… kau masih saja asyik merimba kata menyamak riduku. Tak sadarkah seburat luka selalu kau lukis; Menganga kala puja-puji kau jahit untuknya. Hatimu…, duri dan akar rasaku kau hujam meneracapi bumi. Semipun tiba namun kau hempas aku di sudut biru nan beku.
Lihatlah…, ini tanganku. Bertepuk sebelah lagi. Sekali lagi. Entah, mungkin aku tak sebanding dengan imaji yang kau hampar di separuh malammu. Atau bisa saja, kau memendam sosok lain yang tersimpan di sebalik foto yang kau taruh di bawah bantal tidurmu. Ah! Kini aku kembali menjemput sisa sisa malam sambil sesekali menghujat pagi. Berharap bayangmu memburam. Lalu hilang tanpa ada yang terkenang; Mati!
Kian asing kumaknai diri ini. Luka hati semakin menubir. Bicaraku adalah igauan abjad beku. Tiada laku pun tak berharga di pasar sepi. Selasar jiwa tak lagi berwarna tanpa hadirmu, yang senantiasa menjelma pelangi di tiap petak tanah kerinduan. Kepunahan asmara ini adalah kisah paling lara yang akan abadi, terpelihara di sisa jejak hidupku. Mungkin, esok akan kembali bersua senyum hangat mentari baru. Akan kembali bersitatap dengan sorotan teduh rembulan baru. Tapi, tidakkah ini tetap saja fatamorgana? Karena bintang yang seharusnya menemani tetap saja datang dari langit silam ; dirimu . O, airmata dari mata air lembah kepedihan. Sungkanlah mengalir tuk nyatakan rasa kehilangan ini.
Di ujung pintu waktu dulu, ketika aku mulai mengenal cinta, para Arif mengajariku tentang pahit bencana cinta dan kehilangan. Namun aku berpaling dari mereka. Hingga di ujung pintu waktu kini, Aku seperti burung kecil dari suram lembah jiwa, terbangun di pagi hari, meledak dalam lagu setelah pagi tua, dibumbui pahit anggur cinta. Api mendidih dalam diri seperti dengus sebuah ketel mendidih. Dua matamu tak mengalir bersama air mata: menghujamku dengan anak panah di hatiku yang patah. Aku bersandar seperti pinggiran jejahitan yang lepas dari sutra putih. Air mata mengalir turun di dadaku, mengingat hari bercinta. Namun, apakah terpendar asa dalam keruntuhan ini? Membawakanku pelipur lara? Bukankah penyembuh lara datang mengalir dari air mata? Saat angin pasir menyapu teluk derita, lalu pergi? Hingga pekarangan rumah hati yang tua menjadi sunyi.
150510 : 16.03. Antara Gorontalo, Ngawi, Bandung, Palembang, Malang, Babat, Yogyakarta, Martapura, Padang & Tegal dalam rasa yang sama.
Subscribe to:
Posts (Atom)