Saturday, September 25, 2010

Backpacker Lokal: ke Candi Cetho, Ngawi


Malam itu aku tiba di perkampungan yang sangat tenang, damai… dan menyenangkan. “Silahkan istirahat di kamar ini ya,mas? kata Kang Arif, sambil menunjuk kamar tengah rumahnya. Dengan bismillah aku masuk ke kamar yang kira-kira berukuran 3x4 meter persegi itu. Tiba-tiba mataku terbelalak melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. “Astghfirullah… benda-benda kuno yang mungkin usianya lebih tua dari kakekku, aku lihat di rumah seorang penyair yang multi talent ini. Sungguh menakjubkan! Ada berbagai benda antik yang terpajang. Mulai dari tombak, ruyung, keris, dan sampai yang tak kukenal namanya. Hehe Kang Arif kayak panglima perang jaman Majapahit aja. apa memang Kang Arif punya hubungan genetic dengan patih Gajah Mada ya? Pikirku.



Teman, kita tinggalkan dulu cerita semalam.

Di paruh siang aku dan kang Arif berkemas ingin segera berangkat ke Candi Cetho, yang terlaetak di gunung Lawu. Kalian tahu kan? Kalau belum, ayo ikut aku. Ehya, hampir lupa, semalam aku menghubungi Lina Kelana, Pakdhe Hardho Sayoko, dan Mas Karebet, untuk ikut serta ke Candi Cetho.



“Jangan kencang-kencang menjalankan motornya ya?” Pesan Pakdhe Hardho, sebelum berangkat. Dengan berbekal sepeda motor dan kamera akhirnya kami berangkat bergaya backpacker profesioanal. Tapi memang keren lho! Hehe

Kami terus memacu kendaraan dengan kecepatan sedang: 60km/jam. Di kanan kiri jalan membentang persawahan luas. Ada beberapa petani yang sibuk memanen hasil kerja kerasnya yang selama ini mereka lakoni dengan keringat namun dijalani dengan ikhlas demi bekal makan keluarga yang entah bisa cukup sampai beberapa bulan? Namun sabar dan ikhlas adalah senjata paling jitu untuk mereka tetap bertahan hidup, atau survive istilah kerennya. Gunung lawu terlihat samar-samar bagai seonggok batu berwarna abu kehitaman. selang waktu kira-kira 1jam lama perjalanan, angin bertiup semakin dingin menerpa dan menusuk sampai tulang-tulangku. Rupanya awan kelabu telah menutup sinar matahari yang semestinya mengahangatkan. Gigi motor hanya berkisar antar dua dan satu karena jalan mulai menanjak tinggi dan jauh. Kali ini kami harus mengurangi kecepatan dan harus pandai-pandai bermanover, kalau tidak, tebing gunung yang curam dan dalam akan melahap tubuh kami tanpa sisa, sebab jalan yang berkelok tajam kadang tiba-tiba ada di depan kami tanpa diduga. Seringkali aku, Kang Arif,dan Lina, harus menghentikan motor di jalan yang cukup datar dan paling strategis untuk berhenti. menunggu Mas Karebet yang tertinggal jauh, karena motornya kurang gesit ditindih dua orang yang cukup besar menurut ukuran orang dewasa: Mas Karebet dan Pakdhe Hardho.

Momen itu selalu kami gunakan untuk menjeprat-jepretkan kamera yang gak seberapa harganya. Yang penting happy. Kami bergaya cover boy dan cover girl yang kejar job. Backgroundnya tak kalah indah; tebing gunung lawu yang terjal, tinggi dan menghijau. ditambah beberapa pepohonan yang tumbuh di tepi-tepi jalan melukiskan suatu yang tak dapat terlukiskan keindahannya. Mungkin gunung Lawu tak sepopuler gunung Einger, meru, atau gunung shivling yang terletak di utara india bagian puncak pegunungan Himalaya, tapi keindahan gunung Lawu tak kalah dari beberapa gunung tersebut. Hanya saja tempatnya agak jauh dari perkotaan. Ya, namanya saja gunung! :)

Angin tipis lagi-lagi berhembus menemani perjalanan kami. Ughhh ternyata lelah juga ya? Tapi menyenangkan. Lihat teman, ya, lihatlah ;sungguh pemandangan yang indahhhh… ternyata langit yang tadi menghitam, kini mulai berangsur cerah dan biru. Jauh di bawah sana tampak rumah-rumah kecil sekali, seperti ukuran jempol kaki. Di tengah perumahan terbentang jalan yang mungkin adalah jalan raya kota Ngawi. Jika aku horizontalkan pandangan, maka yang mendominasi penglihatan adalah birunya langit dan putihnya awan yang berarak. Yuhuuuu very nice. Rupanya kami sudah berada pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.

“kita sarapan dulu yuk?” ajak Kang Arif, setelah memarkir sepeda motor sebentar. “hahaha ini sudah sore tau! Kok ngajak sarapan?” jawab Lina Kelana disertai tawanya yang khas Babat, sambil melayangkan tinjunya ke bahu Kang Arif. Tapi tinju itu adalah tinju kasih sayang, sedikitpun takkan membuat Kang Arif meringis kesakitan. Karena diam-diam mereka sama-sama menaruh rasa. Benarkah? Lihat saja nanti. Hehe.

Seusai makan seadanya di warung yang tak begitu mewah, kami berlima mulai menapaki tangga-demi tangga Candi Cetho. Di sana sini orang-orang tarlihat dengan aktivitas yang berbeda. Ada yang berpose di depan kamera dengan gaya masing-masing. Ada yang sekedar dudu-duduk dengan temannya di pinggir Candi sambil ngobrol sesuatu yang tak kumengerti. Sebagian ada yang hanya jalan-jalan kesana- kemari sekedar menyaksikan keindahan arca-arca bisu terbuat dari batu. Sisa pemujaan ada di sana sini.

Pada tepi barat Candi, di halaman yang cukup luas tampak rombongan yang berpakaian semacam sekte, berjalan menuju gerbang luar.

Ah, biar saja lah mereka. Kita terus naik keatas yuk?

Setiba di candi paling atas, kami disambut oleh Dewi Saraswati dengan senyum paling manis.

Di sebelah kiri arah patung Dewi Saraswati berdiri, ada sebuah kulah yang airnya sangat jernih dan dinginnya hampir menyamai dinginnya es batu. Konon, kulah itu adalah tempat pemandian seorang putri. (entah aku tidak tahu detailnya).



Jakarta, 25 Sep 2010

2 comments:

  1. Kok foto-foto tempatnya bukan jepretan pribadi??? Ambil dari gugel

    ReplyDelete
  2. asli kok, cuma candi bagian depan dan tengah itu aja

    ReplyDelete