Aku mendengar suaramu
Sejak kau tiupkan diam-diam ketika aku masih merah
Aku mengenal wajahmu sejak Kau
merajam waktu hingga tanpa nama
dan ketika kau menyulam gelisah yang belum juga tunai
hingga kini
“menangislah! Menangislah yang kencang, biar suaramu cepat gelegar
kelak waktu-waktu akan menjemputmu lebih cepat
daripada uban yang berebut tumbuh di kepalamu,” katamu bu.
Ibu
Lihatlah, bu
Tak ada lagi genang embun
di sudut-sudut mataku
Seperti saat dulu
kau ganti air susuku dengan
dongeng pangeran berkuda putih
yang gagah mengangkat pedang
ke medan perang
Dari sanalah aku belajar jadi karang
Dan merawatnya diam-diam
Tak perlu kita bicarakan apa yang diberi
Dan apa yang harus ditagih
Sebab aku, bagian dari tubuhmu
Ibu
Kau yang tak pernah lelah membidangkan dadamu
Untukku rebah, lalu bercerita tentang hal yang sedikitpun tak ku mengerti,
: tentang kejamnya dunia ini
Ibu
Doa-doamu,
membuatku berjalan
dan berlari hingga hari ini
atau nanti.
Jakarta, 5 Nov 2010
No comments:
Post a Comment