Oleh: Qur'anul Hidayat Idris
Salam Budaya!
Salam Suluh!
Hari itu (31/10/10) seluruh panitia benar-benar sumringah, walau salah seorang dari kami nyeletuk "Kita harus rela berdarah-darah hari ini!" ternyata benar, beberapa rintangan mulai berdatangan bahkan ketika satu hari menjelang acara. Mulai dari beberapa panitia yang bentrok dengan kegiatan organisasi sampai ketakutan-ketakutan ketidaksuksesan acara. Namun semua bernaung pada ikhtiar, walau pamflet dan informasi acara telah tersebar kami tetap siap melangsungkan acara walau tanpa tamu yang datang sekalipun.
Tidak banyak yang datang memang, namun tepuk tangan, senyum, keseriusan, kejelian, kekritisan, kenyentrikan dan kebawelan telah terwakili oleh segelintir yang hadir sampai seorang kawan berkata "Darah kita terlunasi ketika melihat akhir acara ini!" dan senyumpun mengembang dalam dendang musikalisasi penutup oleh tamu undangan Cie-Krip.
Berikut adalah catatan yang dipegang seluruh peserta Teras Sastra,
MENCARI AYAH BERSAMA RANGGA UMARA
“Saya menulis catatan kecil ini sekedar untuk membuka diskusi, sekedar untuk mencari penghubung berkenaan ‘apa yang perlu kita gali’ dari puisi dibawah. Bila ada kesalahan hasil penulisan, silahkan dikritik dan kita diskusikan bersama”
Puisi jika diposisikan sebagai objek berada sepenuhnya dibawah kendali pengarang, pemunculan dari kata ke kata, baris ke baris, bait ke bait merupakan otoritasi pengarang tanpa meninggalkan sedikitpun jeda baginya untuk tidak tahu dan mengerti apa yang akan ia tuliskan. Pengarang sepenuhnya berpikir bahkan kalau perlu membuka kamus untuk menemukan diksi yang semakin ‘menyedapkan’ aliran katanya.
Nah, bagaimana kalau puisi berbalik menjadi subjek yang mengobjekkan pengarang atau bahkan dirinya sendiri?
Puisi yang lahir sebagai ‘hasil ego’ dan yang lahir sebagai ‘hasil ilham’ memberikan dampak pada puisi dan pengarangnya sendiri. Hasil ego memberikan korelasi langsung antara pengarang dan puisi, murni hasil kedigdayaan akal pikiran pengarang. Lalu bagaimana dengan puisi yang dilahirkan dari ilham, kata lainnya dari ketaksadaran pengarang bahkan ketika ia menulis huruf per huruf yang membentuk puisinya, apakah ada korelasi langsung antara puisi dan pengarangnya?
Tidak mustahil bagi pengarang yang melahirkan karya dari hasil ilhamnya ikut terbengong-bengong setelah membaca ulang karyanya sendiri, ia bahkan tak menyangka bahwa kata yang ia ciptakan hidup dalam dunianya sendiri, meninggalkan dia yang menuliskan jauh dari untuk mengerti atau paham. Kerap pengarang baru menemukan ‘apa yang dipesankan puisinya’ jauh setelah ia menuliskannya, atau bisa jadi secara cepat dapat ditemukannya walau tetap bukanlah maksudnya menuliskan seperti itu.
Lalu,mari kita melihat sebuah karya hebat Rangga Umara (Bandung) berjudul Jeritan Anak Malang yang menjadi karya terpilih dari seluruh nusantara untuk dihadirkan pada diskusi Teras Sastra ‘Buka Lahan’. Pertanyaannya, jika kita ingin menebak lewat pendalaman pada puisi, apakah karya tersebut lahir dari kesadaran pengarangnya—Rangga Umara—atau memberikan celah pada kita untuk mengatakan TIDAK, bahwa karya ini lahir dari ketaksadaran pengarangnya. Dari sini akan diketahui seberapa besar pembaca sanggup berpindah-alih menjadi pengarang karya yang lahir dari orang lain.
Jeritan Anak Malang
Nyanyikan nina bobo yang paling merdu,ma
Aku ingin tidur
Kenapa diam,
Suaramu telah kering ya,ma?
Kamu masih seperti dulu,ma
Tetap tersenyum
Walau ribuan luka sering bermalam di balik dadamu
Masih memasak buat ayah, walau tahu ayah tak akan pulang
“Tuhan tidak adil ya,ma?”
“Tuhan sangat adil, nak…”
“Kenapa menukar senyum kita dengan air mata?”
“Kenapa aku harus menangis setiap pagi karena ayah tak pulang?”
“Sudahlah, jangan menangis lagi.
Tuhan memberi kita waktu untuk menangis lebih banyak
agar kita mengerti nikmatnya tawa.
Tuhan memberi kita waktu untuk belajar pada kehilangan
agar kita tahu apa arti kebersamaan.”
Nyanyikan nina bobo yang paling merdu, ma.
Aku ingin lelap
“tidurlah yang lelap, siapa tahu besok ayahmu pulang.”
Malam telah mati
Aku terus bernyanyi
Pergilah pergi
Di sini aku sendiri
Menyulam sepi
Bersama sunyi
Yang menemani
Tidur tidurlah
Lelap lelaplah, anakku
Nikmati mentari esok
Lebih pagi
Kota tua, 27 Sep 2010
Bila dilihat secara seksama, puisi ini jelas begitu kreatif memainkan suasana dengan imajinasi perjalanan alur yang memikat. Pertanyaan seorang anak kepada ibu—ma—memberikan letupan-letupan berwarna lugu, sederhana namun mencengkeram pertanyaan kita kuat-kuat, ‘ada apa dengan anak dan ibu itu?’
….
“Tuhan tidak adil ya,ma?”
“Tuhan sangat adil, nak…”
“Kenapa menukar senyum kita dengan air mata?”
“Kenapa aku harus menangis setiap pagi karena ayah tak pulang?”
Bagaimana posisi dialog dalam puisi, apakah ada indikasi puisi ini mendekati karya prosa? Bagaimana kita menjelaskan kilah kata yang dibikin sedemikian rupa oleh pengarangnya? Lalu bila ini dibenarkan, bagaimana jika puisi berisikan dialog semata?
Lalu kemanakah Ayah? Apakah ayah adalah simbolik ‘harapan’ yang tak kunjung menemui hasil, atau memang puisi ini mendeskripsikan secara sederhana ‘tokoh ayah’ tanpa bermaksud mengelabui pemaknaan pembaca.
….
“tidurlah yang lelap, siapa tahu besok ayahmu pulang.”
Kapankah Ayah pulang atau harapan yang tidak kembali. tentu ini menyimpan begitu banyak rahasia yang memberkas dibenak. Membaca sebuah karya memang sepatutnya kita memunculkan pertanyaan-pertanyaan karena dari sanalah kita akan menggali sedalam-dalamnya tanah yang diciptakan pengarang, walau secara sadar penggalian itu memakai metode dan cara masing-masing. Subjektifitas halal dalam hal ini.
Banyak bagian-bagian menarik dari puisi ini yang mungkin bisa disimak oleh pembaca sekalian, diantaranya adalah:
…
Kenapa diam,
Suaramu telah kering ya,ma?
Kamu masih seperti dulu,ma
Tetap tersenyum
Walau ribuan luka sering bermalam di balik dadamu
Masih memasak buat ayah, walau tahu ayah tak akan pulang
…
“Sudahlah, jangan menangis lagi.
Tuhan memberi kita waktu untuk menangis lebih banyak
agar kita mengerti nikmatnya tawa.
Tuhan memberi kita waktu untuk belajar pada kehilangan
agar kita tahu apa arti kebersamaan.”
…
Tidur tidurlah
Lelap lelaplah, anakku
Nikmati mentari esok
Lebih pagi
Apakah puisi ini menginginkan kita melupakan untuk besok menemui wajah ingatan baru?
Silahkan diteruskan dalam catatan menarik kawan-kawan semuanya
Semarang, 30 Oktober 2010
Qur'anul Hidayat Idris
NOTULENSI DISKUSI
'ngobrol santai tapi cerdas'
sesuai jadwal acara yang telah ditetapkan, acara dibuka tepat jam 14.00 (31/10/10). Hari memang mendung ketika itu, bahkan tak lama setelah Dissa--pembawa acara--membuka acara, gerimis tampak mulai membasuh dedaunan dan halaman DKJT (Dewan Kesenian Jawa Tengah). Peserta TeSt yang hadir dimintai untuk melingkar agar lebih dekat dan dapat mendengar jalannya diskusi dengan baik.
Dissa meminta QHI selaku ketua umum Sanggar Suluh untuk menyampaikan sekapur sirih berkenaan terwujudnya cita-cita Suluh melangsungkan acara puncak TeSt 'Buka Lahan'. Dijelaskan bagaimana cikal bakal acara ini "Berawal dari cita-cita, keinginan yang besar dari seluruh pengurus Suluh untuk ikut andil di ranah perkembangan sastra Indonesia, kami mengerti bagaimana luasnya lautan sastra tersebut, walau hanya menjadi sampan dan mengayuh perlahan. Kami siap menempuh depa-depa itu!" ungkapnya bersemangat.
Sebagai tanda launching seluruh peserta diminta menundukkan kepala sejenak, berdo'a menurut kepercayaannya masing-masing. 'ngobrol santai tapi cerdas', Jargon acara ini kembali diulangi pembawa acara untuk mengingatkan bahwa TeSt tidak membatasi suara siapapun, pendapat sekecil apapun akan menjadi bernilai ketika dibahas bersama-sama. Sebelum diskusi grup musikalisasi yang diundang panitia, Cie-Krib menampilkan alunan puisi berjudul 'Risau Kerinduan' karya Angga yang merupakan salah satu personil grup. Semua yang ada disana menikmati kreasi mereka, cukup untuk semakin mencairkan suasana.
Pembawa acara membacakan catatan 'Mencari Ayah Bersama Rangga Umara' yang puisi 'Jeritan Anak Malang' dibacakan dua kali oleh peserta TeSt, pertama oleh Sri Deby Marpaung dan selanjutnya oleh Samodra. Pembacaan yang baik dari keduanya membuat tepuk tangan hadir memeriahkan acara. Samodra langsung angkat bicara, "Karya dari Rangga Umara ini sangat menyentuh dan pantas ditempatkan diposisi pertama, karya ini menjadi cerminan masyarakat Indonesia. Bagaimana kebersamaan itu mahal harganya. Bahkan saya jadi teringat dengan keluarga saya yang telah empat bulan saya tinggalkan, ah. Saya memang bukan ayah yang baik" pungkas Samodra dengan sorot kerinduan yang jelas terpancar.
QHI mengatakan, "banyak pertanyaan yang muncul ketika membaca puisi ini. Pertama, apakah Rangga mendapatkan aliran menulis dari ilham atau egonya? Kedua, Bagaimana penempatan dialog di puisi, apakah ini tidak mengindikasikan karya ini mendekati prosa? Ketiga, pertanyaan yang simpel, kemanakah Ayah?"
Angga angkat bicara, "Rangga mencoba berkomunikasi dengan Ibunya lewat bathin atau berdialog dengan dirinya sendiri karena sedang merasa kesepian dan butuh seorang teman. Antara prosa dan puisi sekarang perbedaannya sudah sangat tipis. Kalau pertanyaannya sah atau tidak dialog dalam puisi ini, jawabannya sah karena toh ini karya Rangga dan dan Rangga bebas menamai apa karyanya". Deby menegaskan, "dialog tersebut masih dalam ranah puisi, karena masih mengandung unsur puitiknya sebagai sifat dari puisi"
Samodra menuturkan, "ini mirip perbedaan antara gambar dan lukisan, jika unsur keduanya dominan maka dikategorikan salah satunya, seperti puisi dan prosa. Cara penuangannya prosa akan tetapi ketika dibawa dengan bahasa yang sederhanan namun menyentuh dan ada letupan seperti puisi. Untuk itulah kenapa seorang pembaca yang baik harus mampu memahami karya yang dibacanya"
Una, "Di dalam bait-baitnya ada kemarahan mengungkapkan bagaimana seorang Ayang yang tidak bertanggung jawab"
Desta, "Antara puisi dan prosa sulit untuk dibedakan. Pusi ini dapat dialami langsung oleh pengarangnya ataupun dengan melihat pengalaman orang lain, intinya tergantung sejauh mana kepekaannya. Masalah dialog, itu sebenarnya untuk lebih menekankan makna puisi. Sebenarnya apa perbedaan mengarang dengan hasil ego dan ilham?"
QHI menjawab, "pengarang dalam posisi mencari, inginn menemukan apa yang akan dia tuliskan, sehingga ia dalam keadaan sadar menuangkan pikirannya dan dapat mencari referensi kata dari kamus. Sedangkan mengarang dengan hasil ilham ketika pengarang sendiri tidak mengerti apa yang telah ia tuliskan, ide dan aliran menulis muncul dalam ketidaksadarannya" setelah mendengar penjelasan tersebut, Desta kembali bicara, "kalau begitu saya memilih karya ini adalah hasil dari ego pengarangnya, karena ia menuliskannya setelah merefleksikan apa yang ia lihat dan dengar di sekitarnya"
Angga berbeda pendapat, "hilangnya sosok Ayah yang sudah meninggal dan sosok ibu yang bersedih ketika ditinggalkan, lalu berusaha untuk menenangkan diri. Untuk itu saya memilih karya ini dikarang berdasarkan ilham" Dissa sepakat dengan pendapara Angga, "Ayah disini adalah perlambangan harapan, ini diciptakan melalui hasil pertentangan bathin Rangga.
ditengah dua pendapat yang berbeda tersebut, Samodra masuk menengahi, "bisa jadi malah dua-duanya, karena dapat dilihat Rangga menulis dengan penuh kesadaran, dari pilihan katanya. Akan tetapi sisi ilhamnya juga ada. karya ini dirasakan punya tenaga untuk mengantarkan pembaca pada suasana yang diinginkannya, seolah-olah dia sendir yang mengalaminya. Puisi ini juga dapat lahir dari pengalamannya atau cerminan kehidupannya, bisa dimaksudkan benar-benar Ayah atau bisa cerminan keadaan Indonesia"
Desta, "puisi ini menggambarkan Ayah, sebagai klise dari harapan serta makna simbolik. Terlihat kesadaran penuh Rangga dalam menulis bila dilihat dari pemilihan diksinya. Memang, ketika puisi dibuat kita tidak dapat menetapkan secara pasti arah yang mau dibawanya kemana, sehingga kita tidak dapat men-judge maknanya!"
QHI, "namun, walaupun kita tidak bisa mendapatkan makna sesungguhnya, setidaknya kita telah mengalami penggalian untuk mencari sejauh mana karya ini mengusung sesuatu yang dapat kita jadikan landasan yang mendukung teori sastra, bukankah teori sastra muncul dari karya yang dikaji?"
Dissa, "tidak ada ketetapan yang hakiki memang, walaupun ada teori namun implementasinya dalam kenyataan tidaklah sama, sulit untuk menentukan titik makna, untuk melihat perkembangan sastra ini perbedaan dibenarkan. Teori juga lahir untuk menyampaikan inilah perkembangan sastra saat ini!"
Desta, "ada cara-cara tersendiri dan setiap teori ada tempatnya sendiri"
pembawa acara lalu menanyakan pendapat peserta yang belum memberikan pendapat ketika itu, lalu beberapa menjawab.
Cipto, "puisi ini bagus dengan adanya kata-kata yang menyentuh, tentang bagaimana seorang anak yang sudah kehilangan kasih sayang seorang Ayah"
Lia, "Pengarang pandai memainkan suasana sehingga pembaca dapat masuk kedalam suasana tersebut"
Deby, "Ibu di puisi adalah sosok yang tegar"
Dhini, "dalam mengarang puisi, adakalanya memang kita memperuntukkannya untuk ketenangan diri kita sendiri, ketika kita sedang bersedih, kita mencoba untuk mencari pelampiasan dari rasa sedih tersebut, begitu juga ketika kita dalam keadaan senang!"
Dissa, "menanggapi pernyataan Dhini, saya jadi teringat dari manfaat karya sastra itu sendiri, yaitu Katharsis, tentang bagaimana karya sastra dapat menjadi sarana pencucian bathin. selain itu ada juga manfaat lain, yaitu dulce et utile, berguna dan bermanfaat"
setelah pendapat-pendapat selesai, QHI melontarkan sebuah pertanyaan, "Bagaimana proses seorang pengarang dapat menciptakan karya yang pada umumnya dianggap bagus, bagaimana kita melihat proses kreatif yang harus dilakukan, terutama ketika melihat keberhasilan puisi Rangga Umara ini?"
beberapa jawaban bermunculan,
Angga, "pelaku seni harus bebas dalam berkarya, tidak boleh dalam tekanan dan batasan-batasan"
Dissa, "karya yang bagus harus diciptakan dengan hati, selain itu dalam menciptakan karya tidak boleh terburu-buru, hanya akan membuat karya tidak padat dan cermat. Juga bagaimana menunjukkan kebebasan hati yang bebas"
Deby, "mengungkapkan perasaan dengan puisi"
Desta, "jika dipaksakan tidak akan menjadi karya yang baik"
QHI bertanya lagi, "menanggapi jawaban dari Dissa yang mengatakan bahwa sebuah karya tidak boleh terburu-buru. Lalu bagaimana kita melihat pengarang yang mengejar produktifitas untuk memenuhi keharusan penerbitan yang telah dicanangkan berkala oleh penerbit. Karya mereka tidak ada lagi pengendapan, hanya terus mencari ide-ide yang terkadang terlihat mengejar waktu. Ini tentu gejala kapitalis dalam sastra, nah, bagaimana kawan-kawan melihat fenomena seperti ini?"
Samodra, "kapitalis memang telah merambah kemana-mana, yang dulunya hanya berada pada wadah perdagangan dan industri, sekarang telah masuk pada dunia seni bahkan sastra. Kita melihat bagaimana perubahan sikap dari banyak sastrawan atau seniman yang memaknai karyanya untuk sekedar menjual, melupakan idealis yang telah ia bangun dari dalam dirinya. Intinya fenomena ini menunjukkan bagaimana kapitalisme semakin menggusur idealisme. Lalu apakah seniman atau sastrawan harus terus berada pada idealisme, tidak juga, idealisme ditengah kapitalis akan menjebak pada ketidaksanggupan untuk bertahan, makanya perlu mencari celah-celah untuk bagaimana idealisme memanfaatkan kapitalisme, bukan sebaliknya!"
Andi, "intinya adalah bagaimana kita memaknai bahasa cinta, dengan cinta kita tahu apa yang sebenarnya kita inginkan, seni dan sastra sejati adalah yang timbul langsung dari dalam hati"
QHI, "celah sempit seperti apa yang Pak Samodra maksudkan?"
Samodra, "dunia mengalami percepatan dan itu mempengaruhi pada sitem yang ada. Intinya sebagai bagian dari percepatan dan sistem itu, kita tidak boleh menjadi boneka yang dipermainkan, kita harus menjadi pelaku yang sanggup melawan dan menjadi bagian penting sistem tersebut. Dengan begitu, kita tidak akan kehilangan idealisme kita sendiri!"
seluruh peserta tidak menyangka jalannya diskusi dapat berkembang sedemikian rupa sampai ada isu Antara idealisme dan kapitalis dapat dimunculkan. obrolan terus berlanjut membicarakan masalah tersebut. ketika jam menunjukkan 16.00, pembawa acara meminta Cie-Krib untuk kembali menampilkan musikalisasi puisi yang telah mereka siapkan. namun ada saran dari Samodra yang meminta Andi untuk memainkan gitar dan bernyanyi bersama. Seluruh peserta terkejut karena tidak tahu sebelumnya kalau Andi bisa bermain gitar.
"petikan demi petikan mengantarkan senyum seluruh peserta, beberapa orang yang hapal ikut melantunkan lagu Panggung Sandiwara dan Titip Rindu Buat Ayah"
Dissa menegaskan bahwa jargon TeSt 'ngobrol santai tapi cerdas' berhasil dengan baik, banyak pelajaran dan ilmu yang dapat dipetik, tidak sekedar obrolan biasa. Selanjutnya kesimpulan dari seluruh diskusi dibacakan, beberapa orang juga ikut menambahkan.
Acara kemudian ditutup dengan berdo'a dan bersalam-salaman dengan diiringi musikalisasi penutup dari Cie-Krip dengan puisi 'HAMBA' karya Angga. Semua yang hadir menjadi dekat dalam sejekap, ditambah dengan panitia yang memfoto setiap momen, ada juga yang narsis, hehehe
....................................
begitulah ringkasan notulen Teras Sastra (TeSt) 'Buka Lahan' yang dapat ditulis, walau memang tidak bisa mewakili suasana sebenarnya di tempat kejadian dan tidak semua omongan dapat ditulis. Semoga catatan singkat ini dapat memberikan gambaran kepada seluruh kawan TeSt jalannya acara puncak.
info pengiriman karya Teras Sastra (TeSt) Oase Kedua dapat dilihat dibawah,
http://www.facebook.com/notes/quranul-hidayat-idris/teras-sastra-test-oase-kedua-menampung-karya-anda-untuk-didiskusikan-dan-diterbi/10150291110275430
Pengurus mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada seluruh teman-teman di dunia maya maupun yang ada disekililing kami. Do'anya telah membuat acara ini berhasil...
:)
Salam Budaya!
Salam Suluh!
No comments:
Post a Comment