Monday, August 2, 2010

Cerita Kecilku ...

Kali ini aku ingin curhat. pada laptop yang menemaniku setiap waktu, atau pada sunyi yang selalu datang bila malam kembali.

Aku curhat tentang masa kecil dan perjalanan hidupku saja, yah? aku tahu kamu takkan pernah menolak atau protes dengan semua keluhku. Karena aku tahu kamu adalah teman terbaikku.

Teman, waktu kecil dulu aku sangat bahagia dan riang dalam asuhan kakek dan nenekku. Yah, aku memang tumbuh besar dalam asuhan kakek dan nenek yang juga pengasuh Pesantren itu. Besar alasan orang tuaku menitipkan aku pada mereka, biar aku bisa memahami apa itu agama, iman, dan islam, katanya. Benar saja, kakek dan nenekku selalu mendoktrinku dengan baik, bijak dan penuh kasih. Hampir tak ada sebaris kerutpun di wajah mereka dalam menghadapi semua tingkah laku termasuk juga kenakalanku.


Aku ingat di suatu sore, kala itu aku menarik narik baju kakekku karena tak lekas dibikinin layang-layang bulan, seperti banyak teman sebayaku memilikinya. Akhirnya walau beliau sedang sibuk, terpaksa memenuhi permintaanku yang nakal. Ternyata aku nakal ya? Hehe. Namun aku tak pernah dimarahi kecuali kalau tidak sekolah, ngaji, dan sembahyang.

Menginjak usiaku 10 tahun, kakekku wafat. Ketika itu mungkin aku belum begitu mengerti apa arti kesedihan, namun aku sangat merasa kehilangan. Dunia serasa sepi. Aku seperti hanya sendiri di dunia ini. Tak ada yang membuatkan layang-layang lagi, tak ada yang memberi hadiah uang recehan ketika aku bisa menghafal satu ayat surat al-baqarah, dan tak ada lagi yang mencabuti satu persatu rambutku. Karena sejak kecil aku paling suka dicabut rambut. Hehe aneh ya?


Siang begitu sepi

Malam begitu sunyi

Hari seakan tiada pernah berganti

Monoton. seolah tak ada resolusi berarti

Kakekku yang sangat kusayangi telah pergi.




Hari mulai berganti, begitu pun dengan minggu. Selera makanku 50% menurun dari quota sebelumnya. Aku mulai sering menyendiri. Berat badanku turun drastis. Hingga suatu hari aku jatuh sakit. Satu tahun aku hanya bisa makan bubur. Kata dokter, aku sakit tipes. Beruntung aku masih punya nenek yang juga sangat menyayangi aku seperti halnya kakek. Setiap jam 7 pagi menjelang, triakan dan tawa para santri yang akan memulai aktivitas belajarnya mulai berhamburan di telingaku. Aku tetap duduk di beranda sambil menyandarkan punggung ke dinding luar rumahku. Letak sekolah dan rumah kakekku cukup berdekatan. Hanya dibatasi oleh satu halaman yang sedikit luas. Mereka membungkuk setiap kali melintas di depanku, atau ketika aku melintas di depan mereka. Semakin lama, tingkah laku mereka membuatku jengah. Mengapa mereka memperlakukan aku seperti ini? Aku ingin sama dengan mereka. Ingin tertawa bersama, bermain bebas dengan mereka, berjingkrak girang jika aku berhasil mengalahkan mereka dalam bermain kelereng, dan sekali waktu ingin sekali terlelap bersama setelah berbagi dongeng dengan mereka. Aku haus. Aku benci istilah, ‘tuan dan hamba’. Sampai suatu waktu aku ingin sekali pergi dari rumah kake nenekku. tapi niatku itu selalu urung setiap kali nenek tersyang membujukku dan berkata," Nak, nenek sudah tua... apa kamu tak ingin melihat nenek jika suatu saat nenek melepas pelukan terakhir dunia ini?". sungguh gerimis hati ini setelah mendengar kata kata beliau yang seolah memohon. tak mungkin tega aku meninggalkan beliau. Namun, di sisi lain aku ingin melangkah seperti orang lain melangkah. Aku ingin hidup layaknya orang lain hidup. Tak ingin perlakuan istimewa.

Seiring berjalannya waktu, aku menginjak usia dewasa. Aku pindah ke pondok pesantren lain yang konon pengasuhnya masih ada hubungan famili dengan keluargaku---untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi. Ehya hampir lupa; bicara pendidikan, aku selalu berprestasi lho! Dalam kelas selalu ranking satu. Dalam berbagai lomba, selalu juara. Yah, walalu tak selamanya juara satu sihhh… hehe promosi dot com. Setiap liburan di pondok pesantren tempatku menimba ilmu, aku pulang ke rumah kakeku. Sekali waktu aku ikut ngajar di sekolah pesantren kakekku membantu paman. Sebetulnya sudah banyak guru lain yang mengajar di sana, tapi tetap saja paman memintaku untuk ikut mengajar. Itung itung ngetes kemampuanku, katany. Hehe

Bersambung ..........

No comments:

Post a Comment