Wednesday, June 23, 2010

SURAT HUJAN

Surat Rini Widya Sumardi dan Rangga Umara

Engkau tahu?
Betapa berwaktu aku tersiksa. Di hujan yang tak lebat itu, sedetik pun aku tak mampu menyentuhnya. Hanya menatap rindu dari balik kaca. Hujan itu, hujan yang tak lebat itu betapa sendunya ia. Menari bersama ranting cemara. Sedetik. Aku ingin beranjak, mendekap. Merapat. Hujan itu, hujan yang entah berapa lama. Mengintip dari balik jendela, memanggilku. Hei, sungguh. Aku merasa ia berbicara padaku. Padaku saja. Hujan tak lebat itu. Milikku.

Rini Widya Sumardi 03 Juni 2010


Yah, aku tahu! Bahkan sangat tahu.
Dalam pertukaran waktu, dimana waktu lain membawa serpihan tubuhku tubuhmu pada celah jendela yang lama kita tinggalkan, kini hadir saat kita berdiri di bibir pagi. Menggenggam sepi, menyulang hujan yang retas pada sudut-sudut mata. Aku tak melebarkan kakiku karena aku hanya ingin tetap berdiri di sini, di beranda sunyi, menunggu malam membawamu pada cawan tua di punggung mejaku.
Aku tak pandai membuat danau untuk melelapkan hujan di rongga tanah kita. tapi aku punya sumur mungil yang dapat kita teguk setiap waktu, ketika kita dahaga karena rona senja tak selalu mewarnai kanvas hidup kita.

Di bibir jendela
aku menajamkan mata, mencari biduk sunyi yang pernah layarkan angan mengarungi langit, ketika awan menyajikan aroma hujan, katika matahari merayapi tubuhmu dari dekapku, akhirnya mataku hinggap kembali pada kedua kakiku yang berpijak. Aku menanti hujan kembali memekarkan bunga-bunga pagi, menukar kemarau jadi semi.

Rangga Umara 03 Juni 2010

No comments:

Post a Comment