Kulihat wajah malam begitu sayu
Tak ada suara
Hanya deru angin sesekali geriapi daun-daun di halaman rumahku. Kusandarkan punggung pada dinding kamar sambil menghirup nikmat sebatang rokok, dan coba menelan sisa tragedi tadi sore di televisi;
tentang bocah keciil yang merebut perutnya dari sepatu besi satpol pp. Bocah itu merengkungkan tubuh di sudut trotoar mendekap keranjang butut milik ibunya sambil menatap pahit tubuh angkuh satpol pp, yang tlah menjadikan sampah onde dan bala-bala dagangannya.
“Ma, jatah makan kita hari ini tlah habis,ma. Tapi aku takkan menangis ma, karena aku sudah lupa sejak kapan aku berhenti menangis, dan sejakkapan aku mulai tertawa”, lirihnya.
duh, begitu cadas garis hidup bocah kecil itu.
Hidup! Begitu rumit dan lelah untuk ditafsirkan.
Seperti mata angin setiap waktu melaju dari arah yang tak bisa ditentukan, atau awan yang dengan tiba-tiba menjadi hujan. Begitulah hidup dan nasib.
Semua orang ingin jadi yang terbaik, tapi tak semua orang bernasib baik.
Tak usah merutuki nasib,sebab, Tuhan yang menciptakan nasib dan meletakkannya di kedua tangan kita.
Detak jam menghantar malam pada peraduan
Sementara batang rokok masih melekat di sela-sela lentik jari
;hmm, jadi ingat lagi saat ketika berceloteh dengan teman-teman dulu, di beranda pesantren, seusai mengkaji beberapa kitab kuning, dan ketika berkisah peristiwa kampung yang selalu kami rindukan, lalu berbagi asap rokok di bibir masing-masing dari batang rokok yang sama. Membagi teguk kopi di tenggorokan masing-masing dari gelas yang sama.
Bandung, 14 June 2010