Wednesday, October 13, 2010

Di Kota yang Luka

di luar jendela angin gaduh sekali membincangkan anak sungai yang tak mampu memetakan dirinya pada sebuah muara. “O, tidak! Ia akan pulang, sebab muara adalah rumah paling nyata”.Langit tak henti-henti menyerapahi genteng rumah dengan dengusan-dengusan angkuh membuat organ-organ tubuh tersalib sekian lama. ”O, malam yang kelam, begitu tajam garis nasib yang kau goreskan di tubuhku hingga aku lupa bertanya, berapa banyak bintang jatuh yang lupa kau ceritakan?”

Pada burung-burung aku belajar menyikapi hidup, karena hidup bukan sekedar dari tangan ke mulut.
pada karang di laut aku belajar kehilangan, karena setiap yang datang ia pasti berpulang.

Lalu kepadanya aku belajar kejam pada yang bernama kehilangan dan kekurangan.
Aku berdiri di tanah lain, di kota yang mulai luka,
tak melahirkan apa pun selain nama untuk mempertegas dirinya.

Jakarta, 14 Okt  2010

No comments:

Post a Comment