Friday, November 27, 2009

Apresiasi sastra oleh Jurnal Budaya/Hudan Hidayat (2)

 
lanjutan - penyair bertholt brecht, "bocah kecil membatik langit" rangga umara
* bertholt brecht di jerman
syaiful alim di sudan

**Asep Saefumillah
pernyataan bang hudan mengenai sajak ini, seperti rumus Einstein di ranah fisika. sederhana tapi mengena dan sangat tinggi maknanya. jadi bang hudan memang ilmuwan sastra.


Bagi saya medan bahasa bukan hanya tema, tapi bagaimana tema itu diselinapkan ke dalam suatu selang seling kenyataan dalam bahasa – bahasa puisi. Puisi memang lahir dari endapan hati. Dan sekali lagi, bukan semata datang dari otak diskursif. Ada suatu kualitas dalam bahasa yakni sifat musiknya, yang menggoda pembaca untuk lama lama menatapi bahasa. musik yang dirangkai oleh kesamaan bunyi akhir dari suatu larik puisi. Tapi kesamaan bunyi yang alpa dari pikiran, hanya menjadi sebuah bunyi yang kering: ia tak meneriakkan gebalau hidup.

Sebaliknya bahasa hendak meneriakkan gebalau hidup, dari manusia yang terjebak oleh suatu nasib buruk – keputusan yang tak bisa dihindari itu. Seolah semua terkunci, dikunci oleh apa yang dinamakan kaum beragama sebagai takdir, kaum rasional sebagai jalan buntu pemikiran (artinya suatu imposible kini menghadang langkah manusia yang rasional untuk berjalan terus).

Terus tak mungkin lagi kecuali berhenti, dan di sanalah hidup itu terkunci. Situasi seolah ada di papan catur – skak mat. Begitulah misalnya penyair rangga umara mengisyaratkan situasi terkunci ini dengan mencari padanan tokohnya dalam puisi – yakni seorang anak, anak kecil yang disebut oleh judul puisi sebagai “bocah kecil membatik langit”. Langit dibatik. Apakah itu? Konon tubuh puisi bisa kita kembalikan pada judul puisi. Langit dibatik, atau bocah kecil membatik langit.

Terbentanglah suatu dunia yang kontras dikotomik, dalam suatu permainan yang sungguh tak berimbang: anak kecil, anak yang tak berdaya, langit luas yang tak ada batasnya, dan di tengah langit tak terpermanai itulah sang anak kecil yang tak berdaya itu, melakukan kegiatan membatik, “menganyam kain”. Tapi kain ini adalah kain langit. Dan apakah lagi itu artinya kalau bukan nasib, di mana ketakterdugaan menjadi niscaya, di mana doa ada di antaranya.

Di mana harapan dan kenyataan bisa kandas walau sang anak telah berusaha – membatik langit itu, yang kelak terurai dalam tubuh puisi. Lalu kita tahu betapa dari sebuah judul puisi, kehidupan itu mengangakan lubang luasnya, dalam hidup manusia yang nampak kecil saja di tengah semesta. Lalu kita tahu membatik langit adalah sebuah kesia siaan. Tapi pun sia sia, toh manusia masih juga mengerjakannya (bukankah judul puisi yang gemilang ini menyiratkan aktivitas, aktivisme dari manusia yang memberikan efek tragis karena ia tak lebih hanyalah seorang bocah – bocah yang membatik langit)...
Ditulis sekitar 2 minggu yang lalu · · · Laporkan Catatan
Samsudin Adlawi
Samsudin Adlawi
siap mas huhi...
09 November jam 19:40
Jurnal Sastratuhan Hudan
Jurnal Sastratuhan Hudan
kirimlah buku puisimu sam, lewat bamby. aku mau menuliskannya dengan tangan untuk utik juga. pun buku pring. kordinasilah. beberapa orang meyakinkanku untuk sesekali membawa maya ke sana: media cetak. nah kita akan coba dengan produksi yang sudah ada. tapi kirim ke bamby aja agar sret cepat hehe
09 November jam 19:44
Samsudin Adlawi
Samsudin Adlawi
siap mas, segera kukirim besok.
09 November jam 19:48
Jurnal Sastratuhan Hudan
Jurnal Sastratuhan Hudan
ada inboxku untuk kalian, sam yang baik.
09 November jam 19:51
Samsudin Adlawi
09 November jam 19:54
Helena Adriany
Helena Adriany
got it! ... musik dalam bahasa ... terangkai oleh kesamaan bunyi akhir dari suatu larik puisi.
akan menjadi kering bila kesamaan bunyi alpa dari pikiran. understood!

membatik langit ... jeritan kehidupan yang dapat dinikmati - gambaran takdir yang mengunci kehidupan sehingga dibuat tak berdaya ... genius mymymy !
09 November jam 21:02
Fadjroel Rachman
Fadjroel Rachman
hudan yang sunyi, hudan yang sepi, hudan yang sufi
09 November jam 22:49
Galih Pandu Adi
Galih Pandu Adi
sajak rangga umara memang beda mas. yang jelas. aku suka dia.... udah baik, sajaknya bagus2.
ulasanmu ini rasanya memang sangat pantas buat kawan kita Rangga Umara.
10 November jam 3:32
Jurnal Sastratuhan Hudan
Jurnal Sastratuhan Hudan
belum selesai galih. banyak penyair hebat. kau pun beda dan hebat. dan di atasmu itu, kawan baikku: fajdroel rachman, juga hebat hehe.
10 November jam 5:19
Rangga Umara
Rangga Umara
Pandu, sruput ah, kopi lelet. hehehe
59 menit yang lalu · Hapus

No comments:

Post a Comment