Ode Bagi Pakaian
Engkau, pakaian-pakaian yang
menanti setiap pagi, di atas kursi,
Engkau yang mengisi dirimu sendiri,
dengan kepongahanku, cinta kasihku,
harapanku, dan tentu dengan tubuhku.
Begitulah, setelah
bangkit dari lelap,
lalu kulepaskan air,
maka kumasuki lenganmu,
dan kakiku mencari di
lorong-lorong kakimu,
dan kemudian terangkul erat
dalam kesetiaan engkau yang tak berbatas
aku pun bangkit menjejaki rumput itu,
memasuki puisi,
meninjau ke saujana jendela,
ke semesta benda-benda,
para lelaki dan wanita-wanita,
seluruh tingkah dan segala pertarungan,
terus membentuk aku,
terus memaksaku menghadapi apapun
menggerakkan tanganku,
membelalakkan mataku,
mengangakan mulutku,
Dan wahai
pakaian-pakaian,
aku pun juga membentukmu,
memperlebar bagian sikumu,
merapikan benang jahitmu,
dan hidupmu pun mengembara,
hingga ke imaji hidupku.
Di angin
engkau kumal dan rantas
seperti engkaulah jiwaku,
di saat yang buruk,
engkau memagut erat
tulang-tulangku,
kosong, hingga malam,
kegelapan, kembali lelap
lalu datang mereka: hantu-hantu
sayapmu dan sayapku.
Kusangka,
kelak jika suatu hari
ada sebutir peluru
dari seorang musuh
akan membasahimu dengan darahku
lalu
engkau mati bersamaku.
Atau kelak di hari lainnya,
bukan dalam senyap
tapi begitu dramatik
dan sederhana,
engkau akan jatuh sakit,
wahai pakaian-pakaian,
sakit bersamaku,
menua bersamaku, bersama tubuhku
lalu kita menyatu
lalu kita memasuki
bumi.
Karena itu,
setiap hari
aku menyapamu
dengan sedalamnya hormatku, lalu
engkau erat memelukku, aku melupakanmu,
karena kita sesungguhnya satu
dan kita akan senantiasa
menantang angin, menantang malam,
di jalanan, dalam pertarungan,
tubuh yang tunggal,
hari yang tunggal, satu hari nanti, ketika hanya ada sunyi.
~Pablo Neruda
Pada setiap langkah yang terlepas, ingin kucipta jejak paling berarti bagimu, lalu, lahirlah hanya nama kita di waktu-waktu terasing sekali pun
Friday, June 10, 2011
Sunday, June 5, 2011
Penafsiran di Bawah Hujan
Di bawah hujan ini aku menafsir tentang banyak hal: Tentang malam yang tak pernah mampu menepikan sunyi, tentang awan yang tak lelah meretaskan hujan, tentang hujan yang menghidupi segala yang hidup, dan tentang jalan yang sampai kemana akan membawaku?
Di bawah hujan ini kususuri trotoar demi trotoar, lalu lorong-lorong gelap, yang tak pernah kutahu apakah secercah cahaya di ujung sana menantiku? Aku tak peduli apakah jalan ini menyesatkan aku dalam rahasianya. Yang kutahu adalah bagaimana membawa jiwaku pada rahasia yang tak pernah dijanjikan oleh Tuhan sekali pun. Seperti saat ini, aku tiba pada sebuah jembatan yang begitu sepi, gelap dan sunyi. jembatan yang tak pernah memetakan garis nasibku atau usiaku. Aku menangis diam-diam, ketika kanyataan menyodoriku satu nasib yang tak dapat kugali dalam rahasianya. Namun, haruskah kuratapi luka yang pernah dan akan singgah dalam hidup ini, sebab betapa banyak orang ingin meratap jika dengan meratap akan membuat orang lebih baik?
Karawang 05/06/ 2011
Di bawah hujan ini kususuri trotoar demi trotoar, lalu lorong-lorong gelap, yang tak pernah kutahu apakah secercah cahaya di ujung sana menantiku? Aku tak peduli apakah jalan ini menyesatkan aku dalam rahasianya. Yang kutahu adalah bagaimana membawa jiwaku pada rahasia yang tak pernah dijanjikan oleh Tuhan sekali pun. Seperti saat ini, aku tiba pada sebuah jembatan yang begitu sepi, gelap dan sunyi. jembatan yang tak pernah memetakan garis nasibku atau usiaku. Aku menangis diam-diam, ketika kanyataan menyodoriku satu nasib yang tak dapat kugali dalam rahasianya. Namun, haruskah kuratapi luka yang pernah dan akan singgah dalam hidup ini, sebab betapa banyak orang ingin meratap jika dengan meratap akan membuat orang lebih baik?
Karawang 05/06/ 2011
Wednesday, June 1, 2011
Bersulang di Tepi malam
Malam mengantar gelisah.
Di kaki langit gerhana bulan
Melantunkan lagu kengerian.
Di tepi malam ini mari bersulang
Di kaki langit gerhana bulan
Melantunkan lagu kengerian.
Di tepi malam ini mari bersulang
Sebelum resah itu benara-benar menulang.
Subscribe to:
Posts (Atom)