pagi sekali aku segera berkemas, memasukkan semua baju-baju, laptop,
dan barang-barang kecil lainnya ke dalam tas ranselku. Sejenak kuamati
seluruh sudut kamar, semua seperti biasa, hanya terlihat beberapa
plastic kresek putih terserak begitu saja di bawah meja. Aku melangkah
dari tempat tidurku menuju kursi dan meja tempatku selama ini menulis,
net-an, dll, untuk singgah sekalilagi sebelum akhirnya meninggalkannya.
Berat sekali rasanya meninggalkan tempat ini walau setiap malam seluruh
tubuhku harus beraroma Autan, agar darahku tak habis dihisap oleh
nyamuk-nyamuk yang sepertinya sangat mencintaiku. namun aku bahagia di
sini.
Alarm ponsel berdenting tuk kesekian kali, kali ini
ia berbunyi pada settingan pukul 06 pagi, sengaja ku set berulang
berharap jika di alrm pertama aku masih terlelap, maka di alarm
berikutnya akan terbangun. Nyatanya, semalam penuh aku hanya bisa
tertdur tak lebih dari satu jam. Ntah kenapa.
Sekali lagi
kucoba menghubungi seseorang yang sudah janji akan menemuiku pagi-pagi
sekali di sebuah tempat ,di dekat masjid, yang aku lupa namanya.
lagi-lagi tak ada yang mengangkat poselnya. Sambil menunggu pukul 06:30,
aku ambil kembali laptop yang telah kumasukkan ke dalam ransel, dan
menulis sekenanya
: Pagi ini aku harus pergi,
meninggalkan kamar ini, meninggalkan jalan-jalan yang tiap hari ku
lewati, meninggalkan tawamu, cloteh manjamu, bahkan meninggalkan semua
pertemuan yang biasa. Setelah aku pergi, aku titip satu saja padamu;
jangan lupakan aku. Oh iya, aku akan selalu ingat yang kemarin; kita
duduk di kursi yang sama, sambil main gitar dan bernyanyi bersama pula.
Betapa lembut suaramu, ketika menyanyikanlagu ‘Matahariku’, lagu yang
pernah di populerkan oleh Agnes Mnica itu. kau terus bernyanyi sambil
menatapku yang masih berdarah-darah untuk menemukan Chord yang pas.
Sesekali kita terpingkal ketika aku salah memainkan gitar, dan saat itu
pula beberapa cubitan kecilmu mendarat di tubuhku. Lalu sebuah gerimis
datang menyapa kita yang semakin lama merubah namanya menjadi hujan.
Kita bingung, kemana kita harus berteduh? Namun akhirnya sebuah pohon
rindang menjadi alternatif terakhir sebagai pelindung tubuh kita dari
guyuran hujan yang sebetulnya tak begitu deras.
Tak
terasa ada butiran hangat bergulir di pipiku, kemudian menetes satu-satu
di keyboard laptopku. Ternyata aku cengeng sekali pagi ini, pikirku.
Aku menangis saat aku tak ingin mengeluarkan airmata untuk siapa pun.
ketika kecilku dulu, Ayahku berkata, “Nak, sepulang ayah nanti, ada
sepeda baru untukmu.” Aku tahu, itu hanya alasan Ayah agar aku tidak
bersedih, sebelum beliau pergi jauh dalam beberapa waktu yang sangat
lama. Nyatanya aku tetap sedih, namun tak ada sedikit pun air mata saat
itu. tak seperti saat ini.
Pagi ini aku pergi, sayang…
23 Maret 2011 pukul 14:45