Friday, October 28, 2011

Ketika Neogi dan Elain, Lalu Tertawa Bersama

Neogi Arur

Di sinikah labuhanya
Suara-suara merdu
Menyanyikan Rindu-Rindu sendu
Jawablah, sebab pencarianku telah dekati nisan
Seribu anak gembala yang di terjang banjir bandang petang tadi
Benarkah di sini

seseorang berbisik ketelinga batinku. samar-samar aku bisa mendengar suaranya. sembret tapi cukup menarik. dia ! yah dia. dia yang biasa disebut Nugi. profesinya sebagai penyair tlah membentuk karakter, tubuh; telinga, rambut, hidung, mata, dan organ tubuh lainnya seperti puisi. sehingga siapa pun yang dekat dengannya akan terbawa oleh pengaruh kepenyairannya. tak terkecuali denganku.


Rangga Umara Nh

ya, di sini !
Di sini tempat orang-orang menyesatkan diri dalam rahasia
Di sini tempat memfosilkan kata dari sang penyair, lalu
menjadi puisi ketika ia tak mempu memberi nama pada gelisahnya sendiri, Lalu
Menjaring lebih banyak kemungkinan realitas hidup
bagai kupu-kupu yang tak lagi kerap mengepak
Atau mengepak hanya sebatas sarang laba-laba

HA HA HA
Tertawalah setelah itu.

Jawabku melalui bahasa bathin pula. aku tidak tahu, saat itu aku sadar atau sedang tertidur ketika ngobrol dengannya. tapi peristiwa itu seolah nyata, dan disaksikan oleh diriku sendiri. ntah kenapa di sisi lain itu seolah tak pernah ada.


"so sweettt," seorang gadis berkrudung abu, senyam-senyum datang memuji dari keindahan bahasa yang barusaja dilontarkan oleh Neogi. namanya Elaine Firdausza
apakah kata-kataku tak cukup indah baginya? pikirku dalam hati. ah sudahlah!


"Pake gula sih, hehe," Neogi Arur menyambut Elain, dengan nada genit sambil membetulkan rambutnya yang krebu kayak bulu jagung jawa.

dari situ aku bisa menbak kalau mereka ternyata sedang fall in down, eh fall in love maksudku hehe


Elaine Firdausza
"wew, sang penyair ngumpul..duduk manis ah :d"

"monggo, tapi kopiku jok di ntekno yo? Hehe" jawabku

Elaine Firdausza
"jangan kwatir, kopinya buat kalian berdua. El ndak boleh minum kopi :d"

Neogi Arur
"Wkaka Rangga Ndak ngopi mba, coz dia udah ireng." timpal Nugi sembari mencibirkan bibirnya. sepertinya dia cemburu.


Neogi Arur
Ah, Ilalang belumpun Kering
Masih bersedekap dengan basah
Sedang suria keburu pergi
Terlalu berat kesedihan di tanah ini
Tempat Kita mengcangkul sawah
Serta menyemai benih

Lalu guliran waktu
Yang memasakkan keringat
Sampai panen tiba

ialah realitas membuat jenuh
Ketika tangkai ke tangkai bunga padi
Lebih memilih tanah merah
Anak-anak gembala yang terpendam


Rangga Umara Nh

Jadi ingat seorang wanita
Ia mematangkan tujuh matahari di lengannya.
Wajahnya sendu, matanya kelabu dengan bulubulu ranggas,
menatap tanah kelam sambil menunggu mimpi di kening anaknya
"tepi ini adalah tengah, tengah adalah tepi. berapa bintang yang harus kau ulangi hitung,nak.
tetap saja takkan benar."

Lalu anak gembala menanggalkan galah di tangannya ,"persetan dengan bintangbintang," umpatnya.
Lalu ia kembali membatik langit tanpa canting.


Neogi Arur

Lalu lelaki tua sebrang jembatan
Memilih membuang ingatanya
Ke kali-kali, suatu tempat yang amat di benci waktu
Sebab tubuhnya selalu bisa membendung
Daki, berak, sampah sampai mayat
Untuk sekedar menjamah moleknya lekuk tubuh gadis telanjang
Yang untuk kesekian kali di setubuhi
Oleh lelaki tua itu
Dan waktu selalu terpaksa berlari cepat
Bahkan untuk melambatpun tak sanggup

Sedang Kita masih termangu
Menanam kayu randu
Dari kebencian
Bukankah �a anaknya
Dua kebencian telah mengundang
Kesumat yang lain
Dan telinga
Kita telah tersumbat

aku tertawa terkekeh. Elain pun ikut terkekeh. disul oleh Nugi, lalu kami pun tertawa bersama
ha ha ha ha ha


Sunday, October 16, 2011

Segelas Kopi Hitam

Arter Panther Olii

mari pecahkan kopi hitam di gelas ini

asap rokok mengarak bongkahan-bongkahan kecil
dalam kepalaku

kukisahkan kisah kecil untukmu;
tentang kesetiaan, tentang anak burung yang lekas disapih,
pabrik-pabrik berkeliaran di otakku

belati apa yang sedang kau asah malam tadi?
ketika seluruh rasa belum siap kau tikam.

Sudahlah... itu hanya cloteh kecil.
kopi kita masih setengah. Mari teguk kembali

Setelah semua tiada, kita menangis lalu tertawa.

malamku mulai betina. kita setubuhi bersama sampai sekarat
berita apa yang lebih sadis nanti
Ketika loyalitas menjadi kesia-siaan?

Kapal Kecil dan Tentaranya

kau pergi

dengan sebongkah lara di hatimu

meninggalkan

tentara kecil di dermaga bisu

semoga tak ada yang sangsi dalam pelabuhanmu

berlayarlah kapal kecil...

menembus batas di mana tubuhmu menjadi bias

lalu hilang pada barisan terahir ombak

yang tak berhenti meriak

ada tentara kecil membirukan namamu

saat senja mulai hilang

barlayarlah kapal kecil...

inilah puisi terakhir

mengiringi pelayaranmu

dari dermaga yang pernah melarung

tangis dan tawamu.

tentara kecil merawat luka

dengan selayar kisah dan tawaku.